MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO

Oleh: Fransiskus Borgias 

Dosen dan peneliti Fakultas Filsafat Unpar dan peneliti pada PSP UNPAR.


Sumber gambar: Google Search. 
                                                          

Sekelumit Pengantar

Dalam tulisan ini saya berusaha meneropong proses berpikir filosofis di dalam ruang-ruang imajinasi sosio-politis Soekarno dalam rangka mulai memikirkan dan merancang dasar sebuah hidup bersama. Dan kurun waktu yang coba saya teropong adalah pada tahun duapuluhan, tigapuluhan, dan awal empatpuluhan abad yang silam. Dengan kata lain, saya mencoba mengulik pergulatan pemikiran politis Soekarno saat ia masih cukup muda sebagai seorang pemikir, tetapi juga sudah sangat banyak bergulat dengan banyak aliran pemikiran besar dunia (seperti marxisme, kapitalisme, fascisme, eksistensialisme, dll).

Untuk tujuan itu saya memakai alat bantu analisis dari Ignas Kleden dalam bukunya yang berjudul Fragmen Sejarah Intelektual, Beberapa Profil Indonesia Merdeka (khususnya halaman 77-84 tentang Soekarno: Genesis Sebuah Sintesis dan halaman 85-88 tentang Soekarno, Pancasila, dan Sejarah Teks). Tentu ada juga alat bantu analisis yang lain, tetapi untuk saat ini saya merasa alat bantu yang dibentangkan Ignas Kleden itulah yang paling membantu saya untuk menelusuri perjalanan ke masa silam, ke dalam relung-relung pemikiran Soekarno dulu.

Tulisan singkat dan sederhana ini saya persembahkan sebagai sebuah refleksi historis personal saya mengenai Pancasila, dan coba saya kaitkan dengan Peringatan Hari Lahir Pancasila. Jika sekarang ini kita merayakan hari lahir Pancasila, maka menurut saya perlulah peringatan itu kita kaitkan juga secara imajinatif dengan pergulatan Soekarno sebagai seorang pemikir politis dan filosofis saat ia dulu mencoba merumuskan apa yang kini kita kenal sebagai Pancasila, Dasar negara kita.

sumber gambar: Google Search 

 

Alegori-Metafora Induk Ayam

Soekarno, selain seorang politikus, juga adalah seorang pemikir politik yang inklusif-plularis, yang dalam sikap dan pandangan politiknya, mencoba bersikap terbuka kepada semua dan merangkul semua. Dengan cara dan sikap itu, ia berusaha, dalam Bahasa Santo Paulus, menjadi semua dan menjadi segala-galanya untuk semua orang, dengan tujuan agar bisa memenangkan semakin banyak orang dan tidak ada yang tersingkirkan keluar karena pandangan dan sikap politik yang sempit, tertutup dan sectarian.

Beliau itu bagaikan induk ayam yang di kala sore hari dan malam sudah tiba, akan duduk dan mengembangkan sayapnya dengan selebar-lebarnya, agar semua anaknya bisa masuk dan menyelinap ke bawahnya menikmati kehangatan dan rasa aman di sana. Induk ayam itu belum akan bisa atau mau tidur (memejamkan mata) dengan tenang dan memejamkan mata, jika ia belum memastikan bahwa semua anaknya sudah mendapat ruang dan kehangatan di bawah naungan kepak sayapnya.

Rasanya Soekarno memerankan metafora induk ayam itu selama kurun waktu paling tidak dua dasawarsa antara tahun 1926 sampai dengan tahun 1945. Seperti seekor induk ayam, Soekarno berusaha keras bagaimana caranya bisa dan mampu menyediakan ruang dan kehangatan yang memadai di bawah naungan hangat dan aman sayap-sayapnya bagi semua anak-anaknya. Tentu saja hal itu tidak mudah untuk diwujudkan apalagi mengingat kenyataan bahwa anak-anak itu sangat banyak dan sangat beraneka-ragam latar belakangnya.

 

Lima Anak Ayam Utama: Metafora Anak Ayam Pertama, Trend Religi

Siapakah anak-anak itu bagi Soekarno sang induk ayam tadi? Paling tidak dalam medan percaturan diskusi dan perdebatan pemikiran filosofis-politis-religius masa-masa itu, setidaknya ada lima jenis anak ayam yang perlu dan harus ia rangkul semua seorang induk ayam. Ia tidak boleh membuang salah satu keluar dari ruang kehangatan naungan sayap-sayapnya. Dan mana saja alur pemikiran filosofis dan religius itu? Saya coba mendaftarkan hal-hal itu dalam bagian berikut ini.

Yang pertama, tentu saja aliran filosofis-religius yang menekankan arti penting dari kepercayaan religius tertentu. Pada umumnya orang mengira bahwa yang dipikirkan Soekarno di sini adalah aliran-aliran keagamaan dominan yang ada pada masa itu, yang secara kasat mata diwakili oleh partai-partai politik jaman itu yang berhaluan nafas dan warna keagamaan, antara lain seperti NU, Masyumi, Muhammadiyah.

Tentu saja hal itu tidak ada salahnya. Tetapi jangan sampai dilupakan bahwa Soekarno juga memikirkan tentang kepercayaan-kepercayaan asli yang ada dan hidup di Indonesia (Nusantara), yang juga pada dasarnya percaya akan prinsip dasar ketuhanan sebagai satu prinsip pada awal mula, prinsip ontologis dan arkeologis segala sesuatu yang ada. Agama-agama atau kepercayaan asli itu ada. Bahkan ada yang berpandangan bahwa tidak ada agama-agama modern yang tidak bertumbuh-kembang di atas basis-basis kesuburan humus agama-agama asli itu, yang pada umumnya juga memiliki intuisi kodrati akan adanya satu prinsip awali. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Soekarno sangat menaruh perhatian pada kelompok ini juga dan memperhitungkan keberadaan mereka, khususnya yang terwakili dalam kelompok-kelompok Islam yang vocal menyuarakan arah dasar ini.

Nah untuk mengadopsi dan merangkul arah dasar ini maka ada sila Ke-Tuhan-an, yang kelak menjadi silah Pertama dalam rumusan final Pancasila. Sebab tanpa ada kepastian eksistensi sila itu maka dapata dipastikan bahwa kelompok-kelompok arah dasar agama ini tidak akan mau mendukung eksistensi historis negara yang sedang dirancang dan dipikirkan Soekarno dan kawan-kawan, sebuah Masyarakat yang sedang dicita-citakan, yang dibayangkan, diangankan, the imagined society (dalam terminology dari orang seperti Benedict Anderson itu), yang pada awal tahun 20an, oleh Wage Rudolf Supratman, masih disebut dengan istilah “Di sana” yaitu di sebuah tempat dalam Impian, dalam angan-angan, sebuah utopia. Nah pada saat itulah Tuhanpun, setidaknya, nomina Tuhan, masuk dan berseliweran di dalam arena pasar politik. Pertama-tama sebagai ekspresi sebuah keyakinan religius-teologis tertentu, dan kedua juga sebagai ekspresi alat-alat perjuangan politik tertentu.

 

Metafora Anak Ayam Kedua: Trend Nasionalisme

Kemudian dalam alur berpikir dan permenungan meditative Soekarno, ia juga mempertimbangkan dan memperhitungkan kelompok-kelompok dengan arah dasar nasionalis (kebangsaan). Soekarno, setelah memutuskan untuk memberi ruang hati kepada kelompok religius, juga kini berusaha memberi ruang hati kepada kelompok nasionalis, agar kelompok ini tidak bersikap apatis terhadap perjuangan ini, dalam rangka membentuk the imagined society tadi, seperti kata Anderson tadi, yang kelak bernama Indonesia itu.

Kiranya Soekarno tidak dapat bermain-main dengan arah dasar ini, sebab kristalisasi politiknya sudah tampak jelas dalam PNI. Kiranya, Soekarno sendiri, ada dalam arah dasar nasionalisme ini. Pilihan politis ini kemudian tertuang dalam sila kebangssaan (nasionalisme). Sebagaimana halnya dengan Ketuhanan, kini kebangsaan juga masuk dalam arena pasar politik baik sebagai sebuah keyakinan dasar dan juga sebagai alat perjuangan politik.

Nasionalisme, khususnya dalam konteks Indonesia (atau Nusantara) pada waktu itu adalah kutub lain dari trend-trend keagamaan. Jika trend-trend keagamaan itu mau memakai agama sebagai alat perjuangan terutama sebagai alat dan daya pemersatu perjuangan, maka trend-trend nasionalisme memakai ide atau gagasan nasional (nation) sebagai alat dan daya pemersatu perjuangan. Yang terdahulu bercorak religius, yang lain bercorak kebangsaan (nationhood) terlepas dari apa pun agama yang dianut. Dengan kata lain, agama apa pun yang dianut, mereka diikat-satukan dan diberdayakan oleh gagasan nationhood, kebangsaan, nasionalisme itu.

 

Metafora Anak Ayam Ketiga: Demokrasi

Ruang hati yang berikutnya disediakan oleh Soekarno bagi aliran pemikiran lain yang sangat menaruh perhatian pada ide tentang demokrasi, dalam artian dasar dari kata itu, yaitu kuasa dan kedaulatan rakyat, bahwa kedua hal itu (kuasa dan daulat, kratos, kratein) ada pada dan berasal dari rakyat (Demos). Demos-lah yang memiliki kratos, kratein (kuasa, daulat), yang demi praktisnya diserahkan atau diwakilkan kepada para wakil-wakil tertentu yang sudah dengan cara dan mekanisme tertentu (dalam pemilihan umum) sudah ditentukan dan ditetapkan.

Soekarno juga harus sedapat mungkin berusaha memberi ruang hati kepada aliran pemikiran politik ini karena aliran ini juga sudah mengkristal dalam antara lain partai Murba, misalnya. Masih ada yang lain juga yang memiliki arah dasar yang sama, yaitu kelompok para pejuang demokrasi, sebagaimana tampak dalam diri Mohammad Hatta, dan juga para pengikutnya dalam PNI Baru.

Dengan cara ini gagasan besar tentang kerakyatan juga masuk ke dalam percaturan arena politik, sebagai idealisme dan juga sebagai alat perjuangan. Soekarno sangat sadar bahwa tanpa merangkul ide ini, kelompok pejuang demokrasi akan bersikap cuek (apatis) pada eksistensi the imagined society itu.

 

Metafora Anak Ayam Keempat: Kerakyatan

Kerakyatan, kebangsasan, tidak dapat dipikirkan tanpa perjuangan akan keadilan sosial. Bahkan ketuhanan pun akan menjadi sia-sia dan hampa makna tanpa wacana tentang keadilan. Tentu saja keadilan itu adalah sebuah persoalan yang menyangkut semua orang dan juga untuk semua orang. Tetapi sebagai sebuah perjuangan politik, ide keadilan sosial ini, terutama sekali menjadi pokok kepedulian dari partai-partai politik yang berhaluan kiri.

Mereka ini akan bersikap apatis dan tidak peduli jika ide keadilan itu tidak masuk dalam pertimbangan dalam rangka merancang bangun sebuah bangsa. Kiranya Soekarno juga berpikir bahwa gagasan-gagasan besar yang sebelumnya, isinya justru baru akan berbobot justru dengan perjuangan keadilan itu sendiri. Tanpa ada keadilan, tidak ada damai. Sebab damai itu adalah buah keadilan, ataupun seperti yang tampak dalam semboyan kepausan dari Paus Pius XII, opus iustitiae pax (pax est opus iustitae).

Dalam arah dasar pemikiran teologi Kristiani dan khususnya ajaran sosial gereja, ide keadilan ini adalah inti dari pewartaan dan perjuangan para nabi sepanjang masa. Tanda nabi sejati ialah perjuangan akan keadilan itu. Jika ia tidak memperjuangkan keadilan maka kiranya itu adalah pertanda bahwa seseorang itu bukan nabi sejati, melainkan nabi palsu, pseudo-prophetes, nabi lancung.

 

Metafora Anak Ayam Kelima: Kemanusiaan

Akhirnya, semua gagasan idealis itu harus bermuara pada kemanusiaan, yang konkretnya pada sikap penghormatan akan martabat manusia. Soekarno sadar bahwa ia tidak dapat dan tidak boleh mengabaikan hal itu karena jika ia abaikan maka ia abai dan lalai pada sebuah isu pokok, isu sentral yang diperjuangkan oleh kaum terpelajar sejaman, bahkan juga menjadi tanda pengenal mereka terutama kelompok-kelompok yang menjadikan modernitas sebagai cita-cita ideal mereka.

Arah dasar pikiran itu misalnya tampak jelas dalam subkultur PSI dan Masyumi. Semua yang lain, paling tidak tiga dari empat yang di atas tadi adalah demi kemanusiaan itu sendiri, demi hidupnya manusia, bukan hanya sekadar hidup melainkan hidup dengan baik, hidup dengan nyaman, hidup yang penuh makna, hidup yang bernilai lebih. Sebab jika tanpa makna, maka hidup manusia itu menjadi sia-sia dan hampa belaka.

 

sumber gambar: google search

Catatan Penutup

Jadi, itulah genealogi proses jadinya sebuah pemikiran filosofis, di dalam relung-relung budi Soekarno, dalam rangka memerankan fungsi analogis-metaforis induk ayam, yang merangkul semua, memberi perlindungan kepada semua, memberi kehangatan kepada semua. Dari segi proses permenungan meditatif Soekarno, Pancasila itu lahir sebagai pemaduan dan penyelarasan secara historis dan politis arus-arus pemikiran filosofis yang berbda, demi bisa dimulainya eksistensi satu bangsa, satu masyarakat yang dicita-citakan, dibayangkan, the imagined socity.

Masyarakat yang diimpikan itu harus berlandaskan pada kelima dasar pemikiran filosofis-teologis-religius itu, yang tanpa dasar itu, masyarakt impian tadi tetap menjadi sebuah utopia, dalam artian harafiah dari kata itu, sebuah u-topos, tidak ada (u) tempatnya (topos) di dalam realitas. Dengan kata lain, tidak bisa terwujud menjadi sebuah kenyataan historis.

Soekarno berpikir bahwa agar the imagined society itu bisa mulai berada maka kelima arus itu harus bisa disintesiskan, disinergikan pada satu energi, satu daya agar ia bisa mulai. Dan sekali sudah dimulai, satu energi dasar itu tetap menjadi sebuah dasar ilham abadi pemersatu. Jika tidak demikian, ia akan ambruk, hancur berantakan, punah menjadi tiada. 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT