FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

picture: from google search


SEBUAH OBITUARI PENGENANGAN AKAN DIA

Oleh: Fransiskus Borgias

 

Pengantar:

Tanggal 08 Januari 2025 kemarin, teman saya, Hortensius Florimond Mandaru (Departemen Penerjemahan LAI), mengirim kabar duka lewat WA kepada saya. Isinya: berita duka tentang meninggalnya Romo Felix Wilfred di India, dalam usia 77 tahun. Jadi sudah melampaui perkiraan usia menurut Mzm 90 itu (umur manusia 70 tahun, atau 80 jika kuat). Hortensius memberi keterangan tentang dia, bahwa dia adalah teolog besar Asia. Ya, dia teolog besar Asia. Spontan saya bereaksi bahwa orang itu cerdas. Bacaannya luas, dan pemahamannya sangat mendalam. Tatkala mendengar kabar duka ini, saya ingat bahwa saya pernah menulis tentang dia. Lalu saya mencari tulisan itu dan mengolahnya agar cocok untuk catatan obituari tentang dia pada hari kelahirannya ke dalam kehidupan kekal di surga. Memang ada beberapa hal yang patut digaris-bawahi tentang teolog ini.

Felix Wilfred adalah nama besar dalam tradisi teologi Asia, khususnya teologi Kristiani di anak benua Asia, yaitu India. Sejak belajar filsafat dan teologi di STF Driyarkara dan di Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta, saya sudah sering mendengar dan membaca tokoh ini dan membaca artikelnya. Memang beliau adalah teolog yang sangat aktif dan produktif menulis di pelbagai jurnal ilmiah internasional. Saya pernah membaca tulisannya dalam Jurnal internasional Concilium.

Sekarang romo Felix Wilred merupakan salah satu anggota Board of redaction jurnal Concilium itu. Juga pernah membaca nama dan tulisannya dalam jurnal-jurnal teologi dari India yang dikelola pater Yesuit, Vidyajojti (semoga tidak salah menulis nama itu). Masih ada lagi sebuah jurnal teologi dari India yang sering memuat pemikiran teologisnya, Prajna. Kedua jurnal ini saya temukan di perpustakaan Kolsani, milik Yesuit di Yogyakarta, juga di perpustakaan STF Driyarkara, Jakarta. Walau sudah sering membaca tentang tokoh ini, tetapi sayangnya saya belum pernah bertemu muka secara langsung dengan beliau.

 

Perjumpaan yang tidak terduga-duga

Akhirnya kesempatan bertemu secara langsung itu pun tiba, secara tidak terduga-duga. Tanggal 1-2 Maret 2019, saya mengikuti konferensi internasional di Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta dengan mengambil tema, Doing Contextual Theology in Contemporary Indonesia, Dealing with Traditional Texts. Menurut ketetapan, sebuah konferensi baru bisa disebut bertaraf internasional kalau dihadiri sekurang-kurangnya oleh peserta dari empat negara. Konferensi itu memenuhi syarat tersebut. Sebab peserta yang hadir ada dari empat negara, yaitu India, Malaysia, Timor Leste, dan Indonesia.

Saya hadir karena makalah saya diterima untuk diajukan dalam konferensi tersebut. Karena itu saya hadir sebagai salah satu pemakalah dalam kelompok diskusi focus yang terdiri atas beberapa peserta yang menaruh minat pada tema yang kurang lebih sama. Saat itu saya membawakan paper saya tentang kajian mengenai warisan local-wisdom Manggarai yang bisa disumbangkan pada tradisi pemikiran filosofis dunia.

Keynote Speaker di dalam konferensi itu adalah pastor Felix Wilfred yang berasal dari India. Baru saat itulah saya tahu bahwa dia adalah pastor Katolik. Hingga saat itu saya berpikir bahwa dia itu, entah teolog awam, ataupun juga seorang Protestan. Dulu sempat saya menduga bahwa dia adalah teolog Yesuit. Ternyata semua dugaan itu meleset. Dia adalah imam praja, salah satu keuskupan di India. Dia adalah seorang teolog India yang mempunyai reputasi internasional.

Antara lain misalnya, dia mengepalai Jurnal Internasional Concilium, jurnal yang dikenal berkubu liberal (yang konon menjadi kubu tandingan dari sebuah jurnal konservatif dalam dunia Katolik. Sayangnya saat saya menulis artikel ini, saya tidak bisa lagi mengingat nama dari jurnal tersebut). Bahkan saat di Kentungan itu kemarin, ia juga mempromosikan sebuah jurnal baru yang ia rintis, Jurnal of Asian Theology. Beliau sendiri menjadi kepala dalam jurnal baru tersebut. Saya berjanji, untuk mengirim artikel ke Jurnal tersebut, tetapi hingga saat ini, belum kesampaian juga.

 

Teologi: Harus Membangun Jemaat

Dalam ceramah (Keynote speech-nya) yang sangat menarik dan penuh ilham itu, ada banyak percikan pemikiran yang cemerlang. Tetapi di sini saya hanya mau mencatat satu poin saja yang menurut saya amat penting untuk disebarkan ke ruang public, kepada para pembaca umum, khususnya di Indonesia.

Dia mengatakan bahwa sejatinya kegiatan berteologi dan teologi itu sendiri dimaksudkan pertama-tama dan terutama sekali untuk membangun hidup jemaat. Dengan kata lain, teologi itu harus bisa menghidupkan jemaat, membuat iman jemaat menjadi hidup karenanya. Kalau diterima bahwa semua teologi Kristiani itu bersumber dari dan berlandaskan pada teks-teks Kitab Suci, maka harus diterima juga bahwa pada dasarnya semua teks-teks Kitab Suci itu pada mulanya dimaksudkan untuk membangun jemaat beriman.

Kiranya tidak ada orang yang bisa dan mau menyangkal hal tersebut. Begitulah misalnya Paulus menulis surat-suratnya, khususnya surat kepada jemaat di Roma, yang oleh beberapa exegete modern (seperti Cousar misalnya) dianggap sebagai semacam teologi sistematik Paulus tentang dosa dan penyelamatan atau pembenaran (hamartia kai dikaiosune), ditulis pertama-tama untuk membangun dan membina iman sebuah jemaat yang nyata, dan dimaksudkan untuk dibaca bersama, dikaji, coba dipahami bersama-sama oleh jemaat pada tingkat yang paling bawah, pada tingkat akar rumput. Yang jelas ialah bahwa Paulus tidak menulis surat-suratnya dengan maksud untuk membangun sebuah istana teologi yang indah, megah, mewah, elit, dan eksklusif. Semua surat Paulus, semua teks Kitab Suci (PL dan PB) dimaksudkan untuk membina jemaat dan dibaca di tengah jemaat juga.

Oleh karena itu Romo Felix Wilfred mensinyalir dan sekaligus juga menyayangkan adanya sebuah paradox yang sangat kentara dalam dunia teologi dewasa ini, di dalam realitas perkembangannya baik di Timur dan terutama sekali di Barat. Misalnya, dengan sangat rendah hati dan lapang dada Romo Felix Wilfred mengakui bahwa di Barat (Eropa), teologi itu adalah sebuah disiplin ilmu ilmiah yang sangat luar biasa berkembang dan menjadi sangat canggih juga. Ada banyak buku-buku teologi yang keren dan mentereng yang dihasilkan oleh para teolog dari dunia barat hingga saat ini.

Tetapi sayangnya justru semakin banyak orang yang telah meninggalkan gereja. Teologi, yang hebat-hebat itu, ternyata sama tidak membantu orang untuk tetap di dalam gereja, melainkan telah membuat gereja itu semakin kosong. Gereja dalam artian gedung, menjadi gereja untuk para orang tua, atau mungkin juga gereja untuk para imigran yang datang dari Asia seperti dari Filipina ataupun Vietnam dan Indonesia ataupun negara-negara Asia lainnya. Tentu saja itu sebuah realitas paradoksal: teologi maju dan berkembang, tetapi gereja kosong. Orang meninggalkan gereja.

Sebaliknya di Timur, demikian menurut pengamatan Pater Felix Wilfred, teologi tidak atau belum semaju di dunia Barat, tetapi masih sangat jelas bahwa teologi itu tetap berguna untuk membangun dan membina jemaat dan terutama sekali tidak banyak umat yang meninggalkan ataupun keluar dari gereja sehingga gereja itu lalu menjadi sebuah tempat yang sunyi karena ditinggalkan orang seperti dikatakan dalam kitab Ratapan yang meratapi Yerusalem yang ditinggalkan orang dan menjadi sunyi-senyap, sebuah syair yang kini mengendap dalam lagu Adven itu: Datanglah Tuhan Allahku, slamatkanlah UmatMu. Di dalam salah satu ayatnya kita menemukan sebuah pelukisan tentang Yerusalem yang menjadi sunyi-sepi karena sudah ditinggalkan orang, karena semua orang sudah dibawa ke tempat pembuangan. Yerusalem yang tadinya adalah sebuah ibukota kerajaan dan pusat peribadatan, lalu tiba-tiba menjadi sunyi dan ditumbuhi rerumputan, ilalang dan onak serta duri. Sungguh sebuah keadaan tragis, dan amat menyedikan.

 

Ecclesia Semper Reformanda:

Saat mendengar ceramah beliau tentang fakta paradoksal tersebut, saya serta-merta teringat akan dua hal berikut ini. Pertama, saya teringat akan pengalaman saya sendiri dulu saat saya belajar teologi di Belanda, persisnya di Katholieke Universiteit Nijmegen (sekarang sudah berubah nama menjadi, Radboud Universiteit Nijmegen). Betapa saya terkejut bahwa di sana teologi itu diperlakukan sebagai sebuah disiplin ilmiah yang bisa dipelajari dan didekati seperti halnya matematika. Jadi, tanpa beriman pun, orang bisa mengajarkan teologi, hanya karena seseorang itu sudah mempelajari teologi itu sebagai sebuah disiplin ilmiah seperti halnya belajar matematika. Padahal saya selalu beranggapan bahwa kalau orang mau mengajarkan teologi, maka orang itu haruslah seorang yang beriman atau setidaknya orangnya menghayati teologi yang diajarkannya. Tetapi ternyata ada juga orang yang mengajarkan teologi tanpa harus berafiliasi pada gereja atau praksis iman Kristiani tersebut. Ada teolog yang mengajarkan teologi, tetapi tidak pernah lagi ke gereja. Bagi saya hal itu terasa sangat aneh sekali. Mungkin saya terlalu konservatif di dalam menilai cara orang menghayati agama dan imannya. Tetapi itulah fakta yang terjadi.

Kedua, saya juga langsung teringat akan teolog Yesuit pada akhir abad kesembilanbelas, yang bernama Alfred Loisy, yang juga hingga saat ini namanya masih belum dipulihkan karena terkena dalam kutuk Syllabus Errorum itu karena dianggap berhaluan modernisme. Loisy dikenal di dalam sejarah teologi karena konon ia pernah mengucapkan sebuah kalimat provokatif berikut ini: “Yesus mewartakan Kerajaan Allah, tetapi yang muncul adalah gereja.” Pernyataan ini bisa ditafsirkan dengan pelbagai macam cara. Misalnya ada yang mengatakan bahwa menurut pernyataan ini gereja itu sama sekali tidak dimaksudkan oleh Yesus, ia hanya sebuah by-product saja dari aktifitas pewartaan Yesus Kristus. Atau bisa juga dikatakan bahwa ada kesenjangan yang besar dan hampir tidak terjembatani antara Kerajaan Allah yang diwartakan Yesus dan Gereja, atau jelasnya, gereja itu bukanlah perwujudan nyata dari kerajaan Allah di muka bumi ini.

Menurut saya, kedua tafsir dan pemahaman itu mungkin terlalu berlebih-lebihan juga. Tidak seluruhnya benar. Bagaimana pun juga gereja adalah buah dari pewartaan iman, buah dari pewartaan sabda. Ada orang yang menjadi percaya akan pewartaan sabda itu lalu ia menjadi beriman, dan kumpulan orang beriman akan sabda yang diwartakan itulah yang disebut gereja. Jadi ada kontinyuitas juga betapa pun mungkin hal itu tidak selalu tampak kentara dan eksplisit. Kalau ada orang yang, dalam perkembangan sejarah, akhirnya memutuskan untuk keluar dari gereja, yah al itu mungkin saja terjadi, dan mungkin hal itu disebabkan karena gereja itu sudah terlalu sumpek. Mungkin itulah saatnya gereja itu membutuhkan sebuah pembaharuan. Sebab dalam hidup gereja, tetap berlaku adagium historis ini: ecclesia semper reformanda.

Orang bisa bertanya: “Kiranya perkembangan seperti itu bisa diterima. Mungkin gereja (terutama sebagai gedung) dianggap tidak perlu lagi. Bukankah orang ke gereja untuk berdoa? Berdoa bisa dilakukan di mana-mana, bahkan bisa dilakukan di ruang privat. Jadi, untuk apa ke gereja?” Itu adalah catatan dan pertanyaan kritis. Menurut saya, secara historis gereja adalah kumpulan orang yang percaya akan pewartaan Yesus Kristus. Gereja adalah kumpulan orang yang menjadi satu karena ikatan benang merah, yaitu iman akan tokoh utama, Yesus Kristus.

Gereja sebagai “gedung” kiranya muncul rada belakangan dalam sejarah. Tatkala ada banyak orang percaya akan Yesus Kristus, mereka tidak bisa lagi “ditampung” dalam sinagoga Yahudi (asal-usul mereka). Karena itu, mereka pun keluar dari Tempat Suci. Kira-kira seperti Yesus yang mewartakan pengajaranNya di tempat terbuka, di bukit, di tepi danau, di lembah, dll. Bahkan Yesus juga mengajarkan tentang alam yang terbuka lebar, memakai banyak perumpamaan yang diambil dari alam dan dunia pertanian.

 

Penyataan dan Pewujudan Iman

Saat umat semakin banyak jumlahnya, maka orang membutuhkan “gedung” (bangunan fisik) sebagai ekspresi atau penampakan social dari persekutuan iman itu. Dinamika perkembangan historis seperti itu tidak terhindarkan, walaupun ada yang menyayangkan perkembangan itu. Bagaimanapun juga aktifitas dalam dan di sekitar Gereja sebagai sebuah gedung (bangunan fisik) adalah penyataan dan perwujudan iman yang tidak terhindarkan.

Dalam Gereja orang bisa menampakkan penghayatan dan perwujudan iman secara bersama-sama. Iman tidak hanya urusan personal walaupun ia pasti berangkat dari putusan personal. Tetapi akhirnya, iman juga membutuhkan ekspresi social-komunal. Hal itu dapat dilakukan di gereja dan di tengah masyarakat. Penyataan iman dipentaskan di altar. Dengan “penyataan iman” saya maksudkan semua kegiatan yang dengan sangat jelas dan eksplisit memperlihatkan imannya. Misalnya, pergi berdoa pada hari Minggu ke gereja bagi orang Kristiani.

Sedangkan “penghayatan iman” adalah setiap perbuatan apa saja tetapi yang dilakukan dengan dasar dan motivasi iman walaupun tidak harus selalu ditampakkan secara eksplisit. Misalnya, keharusan untuk bersikap jujur, adil, kasih di tengah hidup bermasyarakt. Seorang Kristiani melakukan nilai-nilai itu karena didorong, digerakkan, diilhami oleh iman Kristianinya. “Penghayatan iman” itu dipentaskan di pasar atau di tengah masyarakat. Dengan itu altar bisa mengilhami dan mentransformasi pasar. Hal itu penting agar pasar tidak lagi sekadar menjadi medan pertunjukan homo homini lupus, tetapi bisa menjadi sarana keselamatan, sebab outside of the market no salvation. Pasar jangan sampai mencelakakan.

 

Penutup: Dari “Invisible Religion” ke “Invincible Religion”

Jadi, berdasarkan wacana di atas tadi kiranya menjadi jelas bahwa gereja sebagai sebuah gedung, sebagai perkumpulan jemaat, tetap mutlak perlu. Dalam hati, ia menjadi invisible religion, dalam gereja ia menjadi visible religion. Di dalam kebersamaan, agama bisa menjadi invincible religion, yaitu agama yang kuat, agama yang perkasa, agama yang tidak terkalahkan, agama yang tidak bisa ditenggelamkan, agama yang berdaya mendatangkan perubahan dan perbaikan, yang bersifat membangun persaudaraan dan kemanusiaan.

Memang agama tidak dapat dihapus dari kehidupan manusia. Agama itu sendiri adalah pelembagaan dari intuisi dasar manusia akan adanya yang transenden, yang melampaui eksistensi manusia itu sendiri. Dalam artian ini, agama akan tetap dan terus ada dalam hidup masyarakat manusia. Agama itu bisa mempunyai sumbangan yang positif terhadap manusia. Ia tidak lagi hanya sekadar pembawa daya-daya destruktif, melainkan juga daya-daya konstruktif bagi manusia dan kemanusiaan. Agama harus selalu membawa kabar suka dan bukan kabar duka, apalagi bencana.

 

Penulis: Dosen teologi dan peneliti senior pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci, Santo Hieronimus, Keuskupan Bandung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO