Budaya "Cepat-cepat Buang"



Mentalitas Berbahaya 

Judul tulisan di atas sebenarnya adalah sebuah versi terjemahan saya untuk sebuah ungkapan yang sudah lama dipakai dalam pelbagai wacana budaya manusia, tetapi yang beberapa tahun belakangan ini menjadi populer kembali karena ungkapan itu dipakai oleh Paus Fransiskus dalam ensikliknya pada tahun 2015, tentang lingkungan hidup. Judul ensiklik itu ialah Laudato Si' (Terpujilah Engkau). Ungkapan itu sendiri tidak lain ialah "throw away culture." Ungkapan inilah yang saya terjemahkan menjadi "budaya cepat-cepat membuang." Bisa juga diganti misalnya dengan "budaya cepat-cepat ganti." Hal itu terjadi, karena orang merasa bosan, orang merasa bahwa kegunaan dari sesuatu itu sudah tidak ada lagi. 

Pada bulan April yang silam, tepatnya pada tanggal 8, saya mengikuti Seminar I, seminar proposal Tesis dari salah seorang mahasiswa kami pada program Magister ilmu teologi UNPAR, Bandung. Di dalam proposal tesis itu, dan terutama di dalam presentasinya, mahasiswa tersebut menyinggung tentang fenomena throw-away culture yang sudah menjadi semacam mentalitas manusia. Sebagaimana sudah dikatakan di atas tadi, mentalitas ini adalah mentalitas yang terkait dengan sikap manusia yang disinggung Paus Fransiskus dalam ensikliknya. 

Budaya Hedonis Konsumtif 

Di dalam ensiklik itu Bapa Suci menyinggung fakta bahwa salah satu penyebab dari terjadinya krisis ekologi yang melanda bumi (lingkungan hidup dan rumah kita bersama ini, bahkan ibunda kita, ibunda bumi) ialah kultur atau mentalitas cepat-cepat buang itu. Apa-apa saja yang pernah dimiliki, diraih, dibeli manusia, jika ia sudah bosan maka, ia akan membuangnya, tidak lagi mempedulikannya, tidak lagi menaruh per-hati-an kepadanya. Hatinya sudah tidak ada lagi di sana. Hasilnya jelas, yaitu ada banyak sampah yang dihasilkan oleh manusia. Di mana-mana ada sampah di seluruh dunia. Kita manusia dikelilingi oleh sampah yang kita hasilkan sendiri. 

Tidak hanya sampah sisa-sisa pakaian, sisa-sisa kertas, sisa proses produksi dalam industri atau pabrik, sampah atau limbah kimia, limbah dari rumah sakit. Yah, tidak hanya itu saja. Melainkan ada juga sampah sisa-sisa makanan yang tidak habis dimakan oleh manusia. Makanan yang sudah dibeli, hanya disentuh sedikit saja, lalu sisanya dibuang begitu saja. 

Kiranya itu adalah dampak dari gaya hidup serba konsumtif dan hedonis, hanya mencari kepuasan, hanya mengupayakan kenikmatan sesaat saja, kenikmatan mulut. Memang bagi sebagian orang, makanan itu adalah untuk mulut. Padahal untuk sebagian besar manusia yang lain di dunia ini, makanan adalah untuk perut. Yang terdahulu berlaku bagi para pemburu kenikmatan. Yang kemudian berlaku bagi orang-orang yang miskin dan kelaparan. Bagi kelompok yang terdahulu, seakan-akan berlaku hukum seperti berikut ini: Kalau saya tidak suka lagi, maka saya pun membuangnya. Atau kalau saya sudah tidak suka lagi, saya boleh dengan gampang membuangnya. Tanpa rasa bersalah, tanpa rasa berdosa sedikitpun. Tanpa rasa malu juga. 

Reifikasi Ngeri 

Ya, itulah model yang mendominasi dan menandai relasi kita manusia dengan barang, dengan benda. Para pemikir menyebutnya proses reifikasi, proses pembendaan. Orang memperlakukan sesuatu sekadar sebagai barang atau benda saja. Memang benda sih. Tetapi benda itu seharusnya istimewa karena faedahnya bagi hidup manusia itu. Ada sebuah bahaya besar bahwa model relasi kita dengan barang atau benda itu bisa menular kepada relasi fundamentalkita dengan orang, dengan sesama manusia. Jika hal itu terjadi, maka sesama diperlakukan sebagai barang, sesama diperlakukan sebagai benda. Jika hal itu terjadi, maka di sana terjadi apa yang disebut depersonalisasi, dan dehumanisasi itu. Jika hal ini sudah terjadi, maka manusia sebenarnya di hadapan sesamanya, sudah "berhenti" menjadi manusia. Sebab pada saat itu juga sesama manusia itu sudah menjadi "benda", sudah menjadi "barang." Dehumanisasi, depersonalisasi, sangat merusakkan martabat manusia. 

Jika kita meminjam bahasa filosofis Martin Buber, filsuf Yahudi Jerman itu, relasi I-It, menggerogoti relasi I-Thou. Thou dijadikan sebagai It, ia menjadi sebagai benda, sebagai barang. Itulah yang disebut proses pembendaan orang, pembendaan person, pembendaan pribadi, reifikasi terhadap manusia. Jika hal ini terjadi, maka, dalam bingkai kacamata filosofis Buber tadi, relasi I-Thou sudah mengalami kemerosotan yang teramat mengerikan. Relasi yang sebenarnya sangat agung itu, terperosok ke dalam tataran relasi I-It. Apa yang menjadi masalah di sini? Soalnya ialah bahwa Thou atau Du (dalam bahasa Jerman) itu bisa dan biasanya dipakai untuk menyebut manusia dan Tuhan. Jika Thou itu diperosotkan (direduksi) menjadi It, itu berarti relasi dengan Tuhanpun bisa mengalami pemerosotan yang sama, proses reifikasi yang sama. Tentu saja secara teologis hal itu sangat mengerikan. 

Mengancam Kemanusiaan 

Sekarang saya kembali kepada tesis mahasiswa tadi. Saya sungguh berharap bahwa penyebutan konsep itu muncul juga dalam uraian dan studi dia selanjutnya. Hal itu amat saya harapkan dan amat saya tekankan, sebab memang hal itu adalah sesuatu hal yang teramat penting dan sangat nyata menggejala dalam hidup dan relasi manusia sekarang-sekarang ini. Mentalitas cepat-cepat buang itu bisa menggerogoti sendi-sendi dasar karya cinta kasih kepada orang kecil dan lemah dan tersingkir. Mengapa saya ingatkan hal ini? Karena mereka-mereka ini dengan mudah bisa dianggap tidak lagi "berguna." Pendekatan fungsionalisme dan pragmatisme bisa sangat mengancam manusia dan kemanusiaan kita. 

Jika mereka sudah dianggap tidak lagi berguna, maka dalam perspektif fungsionalisme, mereka akan dibuang begitu saja, sebagai barang usang yang tidak perlu, dan bahkan dianggap mengganggu juga jika masih ada dan dipertahankan. Mereka ini dengan mudah bisa dianggap sampah dan karena itu dibaung saja. Tentu saja hal itu amat mengerikan. 

Sukacita Kehidupan 

Dalam dokumen Evangelium Vitae (Injil atau Kabar Baik Kehidupan), Paus Yohanes Paulus II pernah menyinggung tentang the culture of death. Ada pihak yang mudah dibuang saja, mudah dikorbankan, tanpa bisa membela diri sama sekali. Misalnya embrio dan janin dalam kandungan manusia. Ilmu Pengetahuan dan teknologi masa kini condong ke arah eugenetika, dan dengan cara itu justru akan menyingkirkan yang cacat. Orang atau masyarakat seakan-akan berprinsip (seperti di dalam proses produksi dalam industri atau pabrik), bahwa harus bisa menghasilkan produk yang unggul. Tanpa cacat. Tanpa cela. 

Hal ini sangat berbahaya secara moral. Mengapa demikian? Sebab seluruh sendiri-sendi moral kita akan menjadi goyah dan bahkan runtuh jika kita mudah bersikap seperti di atas tadi. Sebab jika sikap dan pandangan seperti itu dibiarkan berkembang dan merajalela, maka tidak lama lagi orang-orang jompo, juga akan dengan mudah disingkirkan dan dibuang. Sebab mereka dianggap tidak lagi berguna, tidak lagi dapat berfungsi maksimal di dalam seluruh sistem dan mekanisme yang ada. Itu adalah pendekatan fungsional, pendekatan utilitarian, pendekatan berdasarkan kegunaan. 

Menyuburkan Misericordia 

Jika hal itu terjadi, betapa mengerikan. Ngeri, karena itu adalah detik-detik awal keruntuhan kemanusiaan, keruntuhan peradaban. Selama ini peradaban manusia dan seluruh kemanusiaan itu sendiri menjadi kokoh karena ada cinta kasih dan sikap penuh perhatian kepada yang paling lemah dan paling tidak berdaya di dalam masyarakat. Sendi kehidupan manusia menjadi kokoh karena cinta dan per-hati-an itu, karena menaruh hati, karena memiliki hati yang mudah tergerak oleh belas kasihan, atau hati yang mudah ikut merasakan perih dan pedihnya duka akibat tiada cinta. 

Mungkin baik juga jika saya ingatkan kata bahasa Latin tentang hal ini, misericordia. Secara etimologis kata misericordia ini terdiri atas dua akar kata, miser, miseri, dan cor (cordia). Cor itu hati (jantung). Miser itu pedih, perih, sedih. Perpaduan keduanya menjadi misericordia, berarti hati yang mudah tersentuh oleh rasa pedih, perih, sedih karena ada sesuatu yang tidak beres. Ya, mungkin karena faktor misericordia inilah maka di dalam seluruh tradisi liturgis Yudeo-Kristen orang sangat menekankan juga cinta dan perhatian terhadap yang miskin, lemah, dan tersingkir itu. 

Sekadar Catatan Penutup

Untuk menutup tulisan ini, saya mau mengutip sebuah lagu yang dalam konteks menggereja tertentu biasanya dinyanyikan sekali setahun dalam Novena Roh Kudus, Novena Pentakosta. Teksnya berbunyi demikian: "Perhatikanlah yatim piatu; jagalah yang melarat, tudung yang telanjang; rawatilah yang sakit dan lemah; tuntunlah yang lumpuh; bimbinglah yang buta terhadap cahayaku." Memang Roh Kudus, adalah Roh yang menggerakkan cinta, dan menghidupkan cinta, karena Roh Kudus itu adalah Roh Cinta Bapa dan Putera. 


Bandung, Taman Kopo Indah II. 

Fransiskus Borgias. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO