KATA BENDA ABSTRAK, SEBUAH CATATAN KECIL

Sumber gambar: Google Search 


Oleh: Fransiskus Borgias 


Pengantar Singkat 

Kata benda, atau noun (nomina), adalah sesuatu yang sangat penting untuk menyusun sebuah kalimat. Kata benda itu akan menjadi subjek, juga bisa menjadi objek di dalam konstruksi kalimat tadi. Ada banyak kata benda (noun) dalam pelbagai bahasa di dunia ini. Terutama sekali kata benda kongkret. Misalnya, batu, manusia, kayu, rumah, orang, kuda, babi, dst.dst. Ada dan kehadiran kata benda kongkret ini amat memudahkan orang untuk menyusun sebuah kalimat dengan konstruksi yang biasa yaitu SPOK (Subjek, Predikat, Objek, Keterangan). 

Dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dulu saya mengenal hal ini lewat beberapa buku tata bahasa indonesia yang ditulis terutama sekali oleh orang seperti Sutan Takdir Alisyahbana (STA). Itu terutama pada masa-masa di SMP. Setelah di SMA, buku tata Bahasa Indonesia yang paling berpengaruh dalam hidup saya ialah buku yang disusun oleh Bapak Dr.Goris Keraf dari Universitas Indonesia. Memang beberapa buku dia kemudian sangat banyak membentuk logika berbahasa saya.

Kembali ke STA tadi. Dalam hal ini STA sangat dipengaruhi oleh struktur bahasa-bahasa Barat. Memang beberapa bahasa Barat yang saya pelajari sejak SMP dulu (Inggris, Latin, dan kemudian juga Jerman) sangat menekankan struktur seperti itu. Struktur ini terutama penting dan berguna untuk bahasa-bahasa tertulis. Sedangkan mungkin untuk bahasa Lisan, bahasa pergaulan (yang dikenal dengan sebutan pragmatik/a itu) susunan "kalimat" sesungguhnya tidak harus selalu seperti itu, SPOK. Perintah orangtua kepada anaknya: "Sini," bahkan dalam konteks pragmatika, sudah sangat "lengkap" sebagai kalimat dan bisa berdiri sendiri, di dalam kepenuhan makna dan fungsinya untuk berkomunikasi. 

Contoh Dalam Beberapa Bahasa 

Selain kata benda kongkret, ilmu bahasa juga mengenal sebuah kategori yang lain, ayitu kata benda abstrak. Misalnya kata-kata seperti kebaikan, keadilan, kejahatan, dan keindahan. dalam kasus keempat conto hyang diberikan di sini, kata benda abstrak itu dibentuk dari kata sifat yang diberi awalan ke dan akhiran an. Begitulah proses pembentukan kata benda abstrak itu dalam bahasa Indonesia. dalam bahasa-bahasa barat pada umumnya, sudah kata benda abstrak itu sendiri, yang memang dengan satu dan lain cara terhubung dengan kata sifat tertentu atau bahkan mungkin dibentuk dari akar kata atau kata dasar tertentu. 

Ada beberapa contoh yang bisa diambil dari Bahasa Inggris. Misalnya ada kata benda abstrak beauty (keindahan, kecantikan); lalu dari sana dibentuk atau ada kata sifat beautiful. Jadi, kesannya, sebuah kata benda diberi keterangan ful di belakangnyalah muncul kata sifat. Tetapi ada juga contoh yang berbeda, yang memberi kita kesan bahwa yang ada lebih dulu adalah kata sifat, baru kemudian dibentuk kata benda. Contohnya menurut saya ialah good, yang merupakan kata sifat. Dari kata ini lalu di dalam pemakaian menjadi kata benda abstrak, goodness (kebaikan). Jadi, dalam contoh kasus ini, kata sifat good dibubuhi dengan ness saja, maka terbentuklah kata benda. 

Universalitas Kata Benda Abstrak 

Menurut pengamatan saya, kiranya tidak semua bahasa yang dipakai oleh sekelompok anak manusia di dunia ini mengenal konsep kata benda abstrak itu. Ada bahasa yang tidak memilikinya, mungkin karena memang tidak membutuhkannya juga. Konstruksi bahasa dan pemakaian bahasa sehari-hari sepertinya tidak membutuhkan ada dan kehadiran kata benda abstrak seperti itu. 

Saya pernah mendapat proyek kerja terjemahan dari Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) pada tahun 2007 sampai tahun 2009. Pada saat itu saya diminta untuk membentuk sebuah tim kecil penerjemah bahasa Manggarai, untuk kemudian bertugas menerjemahkan sebuah buku yang berisi cerita-cerita Alkitab yang dilengkapi dengan gambar-gambar ilustrasi yang indah-indah. Cerita-cerita bergambar ilustrasi itu dimaksudkan untuk anak-anak. Buku itu sendiri sudah tersedia dalam bahasa Indonesia. Aslinya tersedia dalam bahasa Inggris. Nah, saya dan kelompok kecil itu bertugas untuk menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Manggarai. Sebenarnya tugas saya lebih pada menjadi semacam koordinator penerjemah, tetapi akhirnya juga secara aktif membantu proses penerjemahan itu sendiri dengan cara berdiskusi dengan para penerjemah yang ada. 

Setelah mulai bekerja di dalam tim itulah, saya atau kami semua baru menyadari bahwa susah juga sebenarnya mencari atau menemukan kata benda abstrak dalam bahasa Manggarai. Bahkan saya sendiri pun sampai pada sebuah simpulan yang tegas dan berani bahwa memang bahasa Manggarai tidak memiliki (tidak membutuhkan) kata benda abstrak. Mungkin eksistensi dan fungsi bahasa itu sebagai alat komunikasi hidup memang tidak membutuhkan ada dan kehadiran kata benda abstrak tadi. Misalnya, kata-kata benda abstrak seperti kebaikan, kejujuran, keindahan, keadilan. Pada saat itu saya pun mencatat bahwa memang tidak ada kata benda abstrak seperti itu di dalam bahasa Manggarai. 

Berusaha Keluar Dari Jalan Buntu Bahasa 

Tetapi soalnya ialah, terjemahan harus ada, harus dihasilkan. Dan jelas itu bukan suatu pekerjaan yang mudah. Namun demikian kami tetap berusaha mencari jalan keluar dari jalan buntu di dalam konstruksi bahasa tersebut. Sebagai jalan keluarnya, kami memutuskan demikian: konsep-konsep kata benda abstrak itu dikonstruksikan sedemikian rupa secara deskriptif yang bisa melukiskan kwalifikasi atau sifatnya. Saya menyebutnya dalam tulisan ini, konsruksi deskriptif. Maksudnya ialah konsep kata benda abstrak itu dilukiskan (deskripsi) dalam sebuah konstruksi kalimat pendek. Dalam keadaan seperti itu, hasilnya bukan lagi sebuah kata benda abstrak, melainkan yang muncul ialah sebuah kalimat yang dinamis yang mencoba melukiskan inti pokok maksudnya. 

Pengalaman itu, tiba-tiba sempat membuat saya dan tim bingung juga. Saya dan tim merasa bahwa Bahasa Manggarai itu (setidaknya kosa kotanya) tidak "lengkap." Biasanya apa yang tidak lengkap, karena ada sesuatu yang tidak ada, ada yang kurang, yang belum ada, pasti akan menimbulkan kesulitan tertentu. Tetapi faktnya orang Manggarai selama ini dan juga dari dulu tidak mengalami kesulitan sama sekali di dalam berkomunikasi. Mereka tetap memakai konstruksi bahasa seperti itu juga walaupun tanpa kata benda abstrak. 

Orang Manggarai tetap bisa bertahan hidup dengan dan dalam bahasanya tersebut. Mereka tidak mengalami situasi deadlock di dalam berbahasa dan berkomunikasi hanya karena suatu "kekurangan" seperti itu. Hal itu bagi saya membuktikan bahwa bahasa itu (Bahasa Manggarai maksudnya) tetap kaya dan tetap sangat memadai sebagai alat komunikasi, alat pemaknaan, yang memungkinkan sekelompok manusia bisa hidup dan berada secara bermakna dalam panggung sejarah kehidupan ini. 

Nah, dengan cara berpikir seperti itu saya masih tetap bisa mengapresiasi bahasa Manggarai, dan bahkan masih tetap bisa memakai bahasa itu untuk komunikasi, juga tanpa kata benda abstrak. Bahkan saya pun tergoda untuk berpikir bahwa mungkin saja dalam satu bahasa tidak harus selalu ada kata benda abstrak. Tetapi hal itu bukanlah sebuah kekurangan. Bukan sebuah kelemahan. Bukan sebuah cacat. Bahkan mungkin itu adalah sebuah bentuk "kekayaan" atau setidaknya sebuah "keunikan" yang tidak ada pada bahasa-bahasa yang lain. Mengapa saya sampai pada suatu simpulan dan pemahaman seperti itu? Adakah dasarnya? 

sumber gambar: google search


Mencari "Bantuan" Dalam Filsafat Levinas 

Di sini saya teringat akan sekelumit filsafat bahasa yang pernah dilontarkan oleh Emanuel Levinas tatkala mengembangkan filsafat dasarnya yaitu Etika,yang dianggapnya lebih penting dan lebih mendasar jika dibandingkan dengan ontologi. Antara lain di dalam upaya konstruksi itu, Levinas pernah membuat sebuah pembedaan (distingsi) antara apa yang ia sebut (dalam bahasa Perancis) le dire dan le dit

Le dire itu adalah sebuah proses dinamis, yang artinya "berujar" atau "ujar" (tanpa akhiran an). Menurut Levinas, itu adalah sebuah proses dinamis yang tidak beku, tidak membeku, diam, berhenti, menjadi kaku di dalam sebuah konstruksi kata benda; ia (kata le dire itu tadi) memang mengutarakan (mengungkapkan, menyatakan) "yang lain" tetapi "yang lain" itu sedemikian rupa tidak dikerangkeng di dalam sebuah kata yang statis, yang mati. Hal itu berbeda dari kata le dit. Itu adalah sebuah kata benda, ujaran, dan sebagai sebuah kata benda ia memberi kesan sudah tiba pada satu titik statis, titik final, dan tidak bakal bergerak lagi. Dalam artian itu ia sudah mati. Ia sudah tiba pada titik simpul, yaitu titik yang mengikat, dan karena itu ia mati, dalam artian tidak bisa bergerak lagi. Ia berada dalam ruang henti (stop). 

Dalam filsafatnya tentang etika, Levinas memang menonjolkan sang aku yang memakai "le dire", ujar, berujar, untuk menyatakan sikapnya yang mau memikul tanggung-jawab etis akan "yang lain." Ujar atau berujar itu selalu adalah sebuah proses yang hidup, yang dinamis, yang selalu terbuka, tetap mengalir dan berhembus dalam sebuah dinamika. Levinas merasa bahwa di hadapan yang lain itu, aku tidak boleh memakai le dit. Sang aku hanya boleh memakai le dire saja dan dengan cara itu sang aku pun membiarkan (atau memberi peluang dan kemungkinan kepada) yang lain untuk ada, berada, dan hidup di dalam keber-lain-annya itu. Dengan le dire, aku tidak menjajah yang lain. Justru sebaliknya, yang lain itu seperti sedang "mendikte" sang aku untuk selalu memakai le dire itu. 

Atau dalam bahasa ungkapan Prof.Aleks Lanur, salah satu pakar Levinas yang ada di Indonesia (NB: saya coba menangkap saripati pemikiran beliau melalui beberapa artikelnya dulu tentang Levinas dan terutama melalui pidato pengukuhan beliau sebagai Guru Besar Filsafat di STF Driyarkara, Jakarta, beberapa tahun yang lalu), aku seakan-akan menjadi tawanan dari yang lain karena tampakan wajah yang lain itu seperti sedang dan selalu memanggil dan menantang aku utnuk berbuat baik, untuk bertanggung-jawab atas nasibnya. Di hadapan yang lain itu saya tidak bisa berdiam diri, saya tidak boleh mengambil sikap apatis. Harus berempati. Dalam hal ini apatisme Kain adalah sesuatu yang tidak mungkin di dalam bingkai filsafat etika Levinas. Bagaimana pun juga aku hidup, ada, dan dipanggil untuk bertanggung-jawab akan yang lain. Aku dipanggil untuk menaruh peduli. 

Penutup: Prospek Bahasa Manggarai Sendiri 

Sekarang kembali lagi ke fenomena bahasa Manggarai tadi. Mungkin saja bahasa Manggarai itu mempunyai sebuah intuisi dasar untuk memprioritaskan le dire daripada le dit. Dengan dasar pertimbangan itulah maka, di dalam pengalaman deadlock proses terjemahan yang sudah saya sebutkan di atas tadi, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan sebuah terobosan yang saya sebut konstruksi deskriptif tadi. Dan hal itulah yang menurut saya lebih tepat bagi bahasa Manggarai, karena bahasa Manggarai di dalam pemahaman saya lebih dinamis dan tidak statis. 

Saya sendiri bukan seorang ahli bahasa apalagi ahli bahasa Manggarai misalnya. Saya ini hanya seorang penutur yang biasa dari hari ke hari. Walaupun saya saat ini tidak lagi hidup dan tinggal di Manggarai, saya masih tetap berusaha memakai bahasa itu dalam hidup dan pergaulan saya. Saya juga pernah mengupayakan terjemahan teks-teks bacaan liturgis Hari Minggu ke dalam bahasa Manggarai. 

Dalam konteks dinamis seperti itu, saya tergoda untuk berpikir dan mengusulkan untuk membentuk kata jadian, kata bentukan (derivatif) untuk dijadikan kata benda abstrak sebagaimana yang ada dalam bahasa Indonesia. Toh dalam bahasa Manggarai ada petunjuk-petunjuk yang memungkinkan dibukanya perkembangan ke arah sana. Semoga bisa terwujud. Amin. 


Taman Kopo Indah II, Bandung, 29 Mei 2022 (diketik 21 Agustus 2022). 

Dr. Fransiskus Borgias, MA. 



Komentar

  1. Salut,,, walau tak lagi tinggal di Manggarai tapi masih peduli.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih banyak frater... ada sebuah pepatah dalam bahasa Manggarai... NEKA OKE KUNI AGU KALO... Jangan melupakan SARANG yang kau bawa dulu saat lahir dan sudah dikuburkan di tanah kelahiranmu... hehehehe... SARANG itu dalam beberapa ungkapan bahasa Manggarai disebut entah sebagai adik atau kakak dari dia yang lahir itu... hehehehe... jadi jangan lupakan adik atau kakakmu itu pada awal mula...

      Hapus
  2. Levinas, " etika lebih penting dari pada ontologi". Bergerak dari cogito ergo sum menuju respondeo ergo sum"

    Sedikit keluar dari konfeks Levinas, beberapa hari belakangan ini saya mencoba transliterasi lagu lagu ordinarium misa kita 2 yang agung itu ke dalam bahasa Manggarai tanpa meninggalkan nadanya.
    Saya menemukan dari usaha sederhana itu bahwa Bahasa Manggarai sejauh dipahami dalam banyak dialeknya kita menemukan banyak kata yang cocok.
    Saya ambil kata benda Abstrak "kemuliaan" untuk lagu Gloria. Ada kata Naring ada kata Hiang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih banyak atas komentar ini... pertama, mengenai ingat akan pergeseran dari COGITO ke RESPONDEO... dan itu penting dan sangat menarik... kedua, mengenai pengalaman transliterasi itu... wah sebuah usaha yang sangat bagus... semoga nanti bisa menghasilkan suatu adaptasi yang indah... tabe ga...

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO