NTIENG, INJIT-INJIT SEMUT DAN BIRAHI KEKUASAAN

PEMANDANGAN INDAH PERMAI


Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA

Dosen dan Peneliti Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung

 

Pengantar

Di mana-mana di dunia ini pasti ada permainan anak-anak. Dan permainan anak-anak biasanya juga terkesan seperti serba ringan dan enteng, remeh-temeh. Tetapi tidak. Permainan anak-anak adalah hasil sebuah “kurikulum sekolah kehidupan.” Ada yang mau disasar dengan sadar dalam sebuah rencana dan pemikiran jangka panjang bagi sikap dan mentalitas hidup anak-anak yang terlibat atau dilibatkan di dalam permainan itu. Permainan adalah “sekolah kehidupan” (schola vitae). Permainan adalah ruang pendidikan informal tempat anak-anak dibentuk, di-formasi. Sebuah komunitas, secara anonim, telah menyediakan sarana dan prasarana berupa ruang virtual bagi mereka untuk mendidik diri sendiri demi kehidupan mereka kelak di masa yang akan datang.

Oleh karena itu, sejak saya mulai menaruh perhatian saya pada permainan anak-anak di Manggarai, saya sudah mulai memandang secara sangat serius terhadap setiap permainan itu. Dalam khasanah kehidupan tradisional orang Manggarai, sebagaimana juga dalam pelbagai kehidupan masyarakat lainnya di dunia ini, terdapat banyak sekali permainan anak-anak, semacam wahana yang secara spontan disediakan oleh komunitas itu sendiri sebagai ruang dalam mana anak-anak mereka dapat berinteraksi dan terutama sekali dapat belajar (mencerap pelajaran) tentang nilai-nilai kehidupan. Oleh karena itu, tidaklah berlebih-lebihan jika dikatakan bahwa permainan anak-anak adalah semacam ruang sekolah tempat anak-anak itu ditempa dalam berbagai segi kehidupan.

Dalam tulisan ini saya mau memusatkan perhatian saya pada permainan yang menurut istilah di masa kecil saya disebut ntieng.


Nge-rap “Ntieng”

Entah mengapa, tiba-tiba saat ini saya teringat akan sebuah permainan anak-anak di Manggarai pada masa kecilku. Sejauh saya ingat, kami biasanya menyebut nama permainan itu, Ntieng; entahlah bagaimana di bagian lain dari Manggarai permainan ini diberi nama. Mungkin saja permainan anak-anak sebagaimana yang saya maksudkan di sini ada di seluruh Indonesia. Tentu saja dengan nama atau sebutan yang berbeda-beda. Di Jawa, atau mungkin lebih tepatnya di Jakarta, nama permainan anak-anak itu disebut “Injit-injit Semut.Permainan ini ada lagunya dalam rupa sebuah pantun ataupun pepatah tradisional. (Tentang lagu ini akan ada uraian dan penjelasan khusus di bagian lain dari tulisan ini).

Lalu bagaimana persisnya permainan yang disebut Ntieng itu? Sejauh yang saya ketahui dari pengalaman masa kecilku, beginilah praksis permainan itu dilakukan oleh anak-anak. Biasanya anak-anak duduk atau berdiri membentuk lingkaran (lonto wengke/leok). Lalu anak-anak saling memberikan bagian punggung dari kedua tangannya ke teman yang ada di depannya, ke bagian tengah lingkaran dan menjadi satu di dalam lingkaran itu. Punggung tangan paling bawah dipegang dengan cara dicubit (makanya disebut ntieng) oleh tangan lain di atasnya, dan begitu seterusnya sampai beberapa tingkat, tergantung jumlah anak yang berpartisipasi di dalam permainan itu. Dengan tangan yang saling menyambung itu, mereka menggerakkannya turun naik (ke atas dan ke bawah) sambil menyanyikan lagu Ntieng itu. Tangan harus diselang-selingi oleh tangan teman yang lain. Jadi, saya tidak boleh mencubit punggung tangan saya sendiri. Saya mencubit punggung tangan teman dan punggung telapak tangan harus saya relakan untuk dicubit oleh teman yang lain.

Mereka harus secara bersama-sama menggerakkan secara turun naik semua tangan itu dan gerakan turun naik itu harus bersamaan agar tangan-tangan itu tidak terlepas dari satu sama lain. Tangan-tangan itu harus terus mencubit satu sama lain. Sementara itu mereka menyanyikan lagu yang bergaya nge-rap. Jadi, jauh sebelum gaya nge-rap dewasa ini berkembang pesat dan sangat popular, mula-mula di Amerika Serikat di kalangan orang-orang Afro-Americans, lalu dari sana berkembang ke seluruh dunia, saya bersama-sama dengan teman-teman sudah nge-rap dalam sejumlah permainan anak-anak kami di Manggarai. Bahkan boleh saya katakan bahwa sebagian besar permainan anak-anak di Manggarai diiringi dengan lagu bergaya nge-rap tadi. Semoga nanti saya bisa menulis tentang permainan-permainan yang lain dengan lagu-lagu nge-rap-nya sendiri. Saya memahami music rap itu dengan cara berikut ini: lagu-lagu yang memang memiliki kata-kata tetapi belum tentu selalu mempunyai nada-nada tertentu, namun yang jelas ia memiliki irama-irama yang kuat. Jadi, music atau lagu ngerap itu menekankan pada kata dan irama. Pada umumnya mereka memainkan daya kekuatan mereka pada kata dan irama itu. Memang pada beberapa orang, kita masih bisa menemukan sedikit nada itu pada bagian yang boleh disebut refrain dalam lagu tersebut. Tetapi pada umumnya, kemunculan jejak-jejak nada tidak sangat diperlukan dalam lagu nge-rap sebab mereka hanya mau menekankan kekuatan mereka pada kata-kata dan irama. Dan memang dalam kedua hal itu, lagu-lagu rap itu sangat kuat dan indah. Daya eksplorasi mereka pada misteri kekuatan kata dan irama itu sungguh luar biasa dan mengagumkan.

Sekarang saya mau kembali lagi ke permainan anak-anak di Manggarai tadi. Bagaimanakah gambaran lagu pengiring permainan anak-anak itu yang saya katakan tadi bergaya rap? Di atas tadi saya sudah memberi deskripsi permainan itu. Sekarang saya mau melukiskan lagu rap yang mengiringinya. Beginilah versi lagu yang saya ingat dari masa kecilku: “Ntieng o, ntieng e, ntieng lime kinde ye, tangke rogang lele mbokang nggelak…..” Demikianlah kata-kata lagu rap Manggarai itu. Lagunya sangat pendek. Jadi, permainan itu pun sangat pendek juga. Yang panjang dan lama ialah mengajak teman-teman untuk datang berkumpul dan duduk melingkar (lonto wengke-leok) di atas tanah lalu mengulurkan tangan ke depan (tengah) dan membiarkan punggung telapak tangan itu dicubit oleh temannya dan ia juga mencubit punggung telapak tangan temannya yang lain sebagaimana sudah dilukiskan di atas tadi. Yang juga lama ialah bagian sesudah semua anak membalikkan tangan mereka secara serentak dan ditumpuk satu di atas yang lain. Itulah yang segera saya uraikan dalam bagian berikut ini.


Mengarah dan Bermuara Kepada Perjamuan

Lalu, begitu mereka selesai mengucapkan kata nggelak dalam lagu nge-rap di atas tadi, tangan-tangan anak-anak yang terlibat dalam permainan itu, ditumpuk di atas satu sama lain dengan telapak ke atas (nggelak). Posisi nggelak itu adalah posisi siap untuk menerima, atau bahkan juga bisa diartikan sebagai posisi siap untuk secara aktif meminta sesuatu, dan mengharapkan sesuatu. Lalu anak yang tertua di antara anak-anak itu akan menusuk tegak lurus dari atas dengan jari telunjuknya di tengah-tengah telapak tangan yang paling atas di antara jemari tangan teman-temannya, sambil bertanya dengan nada berlagu rap juga: Mame hang wa ko? (Har., Apakah makanan di bawah sana sudah matang?) Biasanya, dalam untaian pertanyaan pertama, pada umumnya dijawab “toe di”? (Belum). Lalu si penanya (interrogator) melanjutkan pertanyaan berikut yang mencoba menyelidiki kesiapan bahan makanan yang lain juga dengan gaya rap: Mame ute wa ko? (Har: Apakah sayur di bawah sudah matang?”). Ini juga dijawab dengan gaya rap: Toe di (belum). Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan tentang bahan perjamuan yang lain, lagi-lagi dengan gaya rap juga: Mame nuru wa ko? (Har: Apakah daging di bawah sana sudah matang?”) dan dijawab dengan rap juga: Toe di? Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan lain: Mame nakeng/ikang wa ko? (Har. Apakah ikan di bawah sana sudah matang?”). Dan dijawab juga dengan: Toe di. Jadi singkatnya, untaian pertanyaan pertama dijawab secara negatif, toe di.” Itu artinya, makanan untuk perjamuan imajinatif bersama (communal) itu belum tersedia, belum siap untuk dimakan bersama-sama. Jadi perjamuan communal belum bisa dilaksanakan.

Sesudah ronde pertama itu selesai, maka diulang lagi untaian pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya. Tetapi kali ini akan semua pertanyaan tentang bahan makanan di dalam perjamuan imajinatif-komunal itu dijawab secara afirmatif-positif. Jadi, pertanyaan, Mame hang wa ko?, akan dijawab secara beramai-ramai oleh anak-anak: mame ga. (Sudah matang). Mame ute (sayur) wa ko? Jawab: Mame ga. Lalu, Mame nuru (daging) wa ko? Dijawab: Mame ga. Lalu, Mame ikang/nakeng wa ko? Dijawab: Mame ga. Karena semuanya sudah mame (matang, tanak), maka si anak tertua pun memerintahkan agar tangan-tangan tadi yang nggelak tetapi bersatu agar dipisahkan dan masing-masing anak-anak akan nggelak untuk dirinya sendiri. Sesudah itu si anak tertua tadi (pemimpin permainan) mulai membagi-bagi makanan tersebut ke masing-masing tangan anak-anak yang terbuka siap menerima jatah pembagian makanan imajinatif. Semua mendapat jatah makanan lengkap dengan lauk-pauknya di atas tangan mereka masing-masing. Sekali lagi, semuanya ini adalah makanan imajinatif, makanan di dalam bayang-bayang mereka saja. Tidak ada makanan secara fisik di sana. Setelah semua mendapat jatah pembagian makanan, maka mereka pun mulai makan bersama secara beramai-ramai, dengan cara memasukkan makanan itu ke dalam mulut mereka sambil berbunyi lagi-lagi dengan gaya rap: naum-naum-naum-naum (onomatope untuk kegiatan makan dan menelan makanan itu). Dan dengan ritual makan bersama itu permainan pun selesai, permainan itu sudah mencapai titik puncaknya. Lalu ada tertawa ramai yang lepas seperti ada kelegaan yang tidak terjelaskan di sana.

Meminjam Bahasa dramaturgi Aristoteles, di sana ada atau terjadi apa yang disebut katarsis. Atau dalam Bahasa adaptasi pastor Frans Mido SVD, guru Bahasa Indonesia dan Dramaturgi saya dulu di Seminari Pius XII, Kisol, katarsis itu disebut peleraian, yang artinya kira-kira sesuatu yang tegang dan rumit lagi kusut mulai direnggangkan dari ketegangan dan kekusutannya, dan dengan demikian terjadi proses pendinginan, proses cooling down. Biasanya dalam proses cooling down seperti itu orang merasakan suatu kelegaan yang luar biasa dan hal itu pada gilirannya mendatangkan rasa bahagia dan pembebasan (semacam emansipasi psikologis). Mungkin hal seperti itu yang dialami anak-anak saat mencapai titik puncak permainan itu. Sebagai orang yang pernah terlibat dalam permainan seperti itu, saya pun bisa bersaksi bahwa memang pengalaman rohani dan psikologis kelegaan, katarsis, seperti itulah yang dialami anak-anak.

 

Apa Makna Permainan ini?

Menurut saya permainan itu sebenarnya mengajarkan beberapa nilai penting kepada anak-anak terutama yang ikut serta ambil bagian di dalam permainan itu. Mana atau apa saja nilai-nilai tersebut?

Pertama, permainan itu mengajarkan nilai solidaritas sosial kepada mereka (anak-anak) yang terlibat (ikut ambil bagian) di dalam permainan itu. Memang harus selalu disadari bahwa sesungguhnya tidak ada permainan anak-anak yang tidak mempunyai nilai dan tujuan socio-didaktis. Setiap permainan anak-anak di manapun di dunia ini, pasti mengandung nilai dan tujuan socio-didaktis itu.

Kedua, dalam konteks permainan Ntieng ini, anak-anak berusaha menahan dan merasakan berada pada bagian paling bawah. Di sana tidak ada lagi kemungkinan untuk mencubit yang lain, selain hanya berusaha untuk pasrah saja, membiarkan diri dicubit, disakiti, merasakan pengalaman penderitaan, juga yang disengaja dan direncanakan, didesain walaupun sekadar dalam rangka sebuah permainan anak-anak belaka. Setelah beberapa saat lamanya, yang paling bawah itu bisa melepaskan diri dan naik ke puncak paling atas, sebab hanya bagian atas itulah yang bisa dimasuki, sebab tangan-tangan yang lain-lain masih menyatu dalam mata rantai saling mencubit punggung tangan tadi.

Ketiga, di atas tadi sudah dikatakan bahwa permainan anak-anak ini bermuara pada aksi menadahkan tangan atau nggelak dalam Bahasa Manggarai. Memang dalam konteks permainan anak-anak Manggarai, permainan itu ada akhirnya. Dan itu berakhir pada Nggelak, membuka tangan dalam posisi siap menerima. Jadi, permainan itu bukanlah suatu roda atau mata rantai menyakiti dan disakiti terus menerus, melainkan berakhir pada nggelak. Apa nggelak itu? Nggelak berarti membuka tangan-tangan lebar-lebar (satu atau dua tangan, sama saja), untuk siap menerima sesuatu, bukan untuk meminta sesuatu (seperti mengemis; di sini saya garisbawahi perbedaan antara menerima dan meminta). Pada saat nggelak itu, tangan-tangan anak-anak tadi lagi-lagi ditumpuk menjadi satu, tetapi semuanya dalam posisi terbuka ke atas, alias nggelak. Dari kenyataan ini saya untuk sementara waktu mau menyimpulkan bahwa permainan ini adalah permainan anak-anak untuk melewatkan waktu sambil menunggu masakan orang tua mereka di dapur matang dan siap untuk disantap bersama dalam perjamuan keluarga. Jadi ini adalah the art of killing time in order to wait for the time to have a family or communal dinner or supper.

 

Injit-injit Semut dan Birahi Kekuasaan

Lalu dari situ ada lagu “Injit-injit semut,yang tiba-tiba saya ingat saat saya menulis artikel ini. Bunyi lengkapnya ialah sbb: “Injit-injit semut, kalau sakit naik di atas, injit-injit semut walau sakit jangan dilepas.” Lagu ini menjadi populer karena pernah diangkat menjadi sebuah lagu pop bergaya Betawi pada tahun 70an. Jadi, menurut lagu ini, kalau mengalami kesakitan karena dicubit, maka si orang yang mempunyai tangan itu mempunyai hak untuk membebaskan diri lalu naik ke atas, ke puncak tertinggi dan mencubit dari atas. Dia yang tadinya berada paling bawah, langsung berubah posisinya menjadi paling atas. Dia yang tadinya hanya dicubit tanpa bisa mencubit, sekarang ia, untuk sementara waktu berada pada posisi hanya mencubit, tanpa dicubit. Permainan itu akan berakhir sampai anak-anak bosan lalu mengganti dengan permainan lain.

Yang menjadi soal bagi saya ialah, penggal kedua dari nasihat itu: “Walau sakit jangan dilepas.” Ada permainan kontras antara kalau dan walau di sini. Dalam pengamatan saya, ada sedikit mentalitas nerimo yang terkandung di sini. Menerima saja apa adanya biarpun sakit. Jangan protes, ataupun memberontak. Sikap dan mentalitas itu perlu demi tetap menjaga keutuhan totalitas dan keseimbangan permainan itu sendiri. Hal ini memang perlu demi solidaritas dalam permainan. Totalitas dan solidaritas itu perlu untuk keberlanjutan permainan itu sendiri. Tetapi, ini juga bisa menjadi pembenaran untuk terus menerus disakiti, menerima saja kondisi disakiti, demi totalitas dan solidaritas. Kalau sudah sampai ke tingkat seperti itu, tentu saja hal itu bisa menjadi sesuatu yang berbahaya.

Saya kira inilah poin perbedaannya dengan permainan yang sama dalam konteks anak-anak Manggarai. Injit-injit semut ini, dalam bahasa Manggarai disebut Ntieng sebagaimana yang sudah saya kutipkan di atas tadi. Dalam permainan Ntieng anak-anak Manggarai, semua berakhir dalam sebuah perjamuan bersama (communal meal). Sedangkan dalam “injit-injit semut” orang seperti sedang memamerkan birahi kuasa tanpa akhir. Sebab permainan itu, sejauh yang saya ketahui dari sebuah penetilian kecil dan singkat, ternyata tidak berakhir, meelainkan terus menerus berlanjut dengan drama saling mencubit. Jika sudah kesakitan karena berada paling bawah, orang bisa naik ke atas dan mencubit (menyakiti) dari atas. Jelas itu adalah aksi balas dendam setelah birahi kekuasaan (berada paling atas, di puncak) bisa tercapai. Kedua permainan di dalam konteks budaya yang berbeda itu dapat dibandingkan dalam sebuah table singkat di bawah ini.

 

TABEL PERBANDINGAN

No

NTIENG

INJIT-INJIL SEMUT

01

Berakhir dalam perjamuan

Seperti tidak ada akhir

02

Ada akhir bagi sebuah sakit dan derita

Ambisi naik ke atas kalau sakit

03

Tidak ada alusi pada sakit dan derita

Mengalusi pada sakit dan derita

04

Tidak ada nerimo

Terkesan “nerimo”

05

Sadar: ini hanya permainan belaka

Sadar: ini hanya permainan belaka

 

Penutup: Tentang Moral dan Peranan Pemimpin

Permainan dalam untaian pertanyaan ini bisa diperpanjang dengan cara mula-mula menjawab toe di (artinya belum), untuk setiap pertanyaan itu. Tetapi akan tiba saatnya, pertanyaan-pertanyaan tadi dijawab secara afirmatif, yaitu bahwa sudah siap, sudah matang: mame ga. Kalau sudah matang dan sudah siap, barulah si pemimpin permainan secara simbolis membagi-bagikan makanan khayali tadi ke masing-masing tangan yang sudah nggelak tadi, sama rata dan sama rasa, setiap orang mendapat semua jatah masakan yang disebut dalam pertanyaan. Kalau semua sudah mendapat jatah, yaitu semua tangan yang nggelak sudah disentuh oleh tangan yang membagi dari si pemimpin permainan, semua anak-anak akan secara serempak memperagakan aktifitas memakan semua hidangan itu dengan lahap, karena makan itu harus dilakukan dengan memainkan bunyi-bunyi tertentu dalam mulut. Misalnya, ujung lidah menendang-nendang ruang antara bibir bawah dan gigi bawah sehingga menimbulkan efek bunyi tertentu yang sulit dideskripsikan secara verbal di sini.

Jika analisis saya ini benar, maka permainan itu berakhir dalam sebuah perjamuan, perjamuan yang harus dirayakan bersama, sebuah imaginary communal meal, yang dinantikan bersama dengan sabar dalam sebuah penantian panjang, dan juga dalam solidaritas. Tidak ada lagi yang disakiti, hanya ada satu pemimpin, itu pun ia memimpin sebagai fasilitator, memimpin dengan melayani, pemimpin pelayan, agar semua berjalan lancar. Itulah peranan pemimpin: bukan lagi untuk menguasai, dan menindas, dan menghimpit, melainkan untuk melayani, membagi sama rata. Dan menariknya lagi, ia harus terlebih dahulu membagi bagi tangan-tangan lain, dan terakhir ia baru membagi bagi dirinya sendiri. Seorang pemimpin tidak terlebih dahulu menumpuk bagi dirinya sendiri, melainkan terlebih dahulu membagi kepada yang dipimpinnya. Setelah ia memastikan bahwa semua orang sudah mendapat jatah, barulah ia secara moral dapat dibenarkan untuk memberi perhatian kepada dirinya sendiri. Hanya dengan cara itu, ia juga secara moral dapat dibenarkan ikut bersukacita dalam perjamuan bersama itu, walaupun hanya perjamuan komunal fiktif belaka. Itulah nilai dan makna didaktis yang tersembunyi di balik permainan anak-anak ini.

 

Bandung, Mei 2009

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO