MENGKRITISI TEOLOGI POLITIK PAULUS DALAM ROMA 13:1-7
Oleh: Fransiskus Borgias.
Dosen dan Peneliti pada Fakultas Filsafat UNIKA PARAHYANGAN, Bandung.
Pengantar Singkat
Filsafat dan teologi politik adalah sesuatu yang selalu sangat menarik perhatian para ahli di sepanjang sejarah gereja, sejarah filsafat, dan juga sejarah teologi. Hal itu tidak mengherankan karena seluruh hidup kita sebagai manusia dikonstruksi di dalam bingkai pandangan dan pemahaman filosofis dan teologis tertentu. Dan salah satu kesibukan para ahli yang menyibukkan diri dengan kegiatan memikirkan hal itu ialah mencari pendasaran teologis dan biblis untuk sikap dan pandangan politis seperti itu.
Mereka melakukan tugas mulia itu dengan memakai pedoman sebuah pertanyaan historis kritis: adakah dasar atau model tertentu di dalam teks-teks suci yang bisa dipakai sebagai dasar untuk menentukan sikap, arah, atau orientasi politis tertentu dalam hidup di tengah masyarakat di dunia ini? Pada umumnya para ahli itu berpendapat bahwa memang adalah teks-teks seperti itu. Tegasnya di dalam kitab suci, sebagai sebuah dokumen historis-teologis dari masa silam, kita bisa menemukan beberapa teks yang bisa dijadikan dasar atau model sikap politik.
Teks Roma 13:1-7
Nah, salah satu teks politik yang sangat terkenal di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru ialah Roma 13:1-7. Teks politik maksudnya ialah teks yang berbicara tentang sikap dan pandangan politik. Kebetulan, teks yang disinggung di sini berbicara tentang sikap dan pandangan Paulus yang kurang lebih meminta agar semua orang Kristen itu hendaknya atau bahkan harus tunduk ataupun taat kepada para penguasa pemerintahan yang tertinggi. Kiranya hal ini bisa dipahami karena memang Paulus sedang memberi nasihat kepada jemaat yang ada dan hidup di pusat kekuasaan politik masa itu, yakni kota Roma.
Tetapi persoalannya ialah mengapa orang harus taat kepada kekuasaan negara? Ini adalah sebuah pertanyaan politik. Dan terhadap pertanyaan politik ini, Paulus memberikan sebuah jawaban teologis. Dan inilah jawaban teologis Paulus: kita harus taat dan tunduk kepada pemerintahan karena penguasa tertinggi itu ada karena kehendak Allah. Jadi menurut Paulus, pemerintahan yang ada dibentuk oleh Allah sendiri (Rom 13:1).
Tampaknya jalan argumentasi itu sangat mulus menuju kepada satu simpulan tertentu dan masuk akal. Sebab di dalam bingkai teologi penciptaan kita menerima bahwa Allah itu adalah sumber segala kuasa, maka jelaslah bahwa semua jenis kuasa yang ada di bawah kolong langit ini adalah bagian dari kuasa Ilahi itu. Lalu lebih jauh lagi bisa ditarik sebuah penalaran religious seperti ini. Sebagaimana kita tunduk dan taat kepada kuasa Allah, demikianlah juga hendaknya kita harus taat dan tunduk kepada kuasa negara sebab kuasa negara ini berasal dari dan karena itu merupakan bagian utuh dari kuasa Ilahi.
Kiranya itulah sebabnya bahwa teks Rom 13 ini sepanjang sejarah Kekristenan itu sendiri telah menjadi sebuah teks kunci yang dipakai sebagai sebuah bukti oleh orang-orang Kristiani yang memandang keterlibatan politis itu bukan sebagai urusan dari gereja. Dengan kata lain sikap tunduk kepada kuasa negara tampaknya memiliki sebuah landasan biblis yang kokoh.
Eksegese Intertekstual Perjanjian Baru
Pandangan teologi politik seperti ini kemudian digemakan Kembali dalam sebuah teks yang lain di dalam Perjanjian Baru yaitu dalam 1Pet 2:13-17. Di dalam teks ini pun kita menemukan gema dari perintah Paulus agar orang-orang Kristiani tunduk dan taat kepada pemerintahan duniawi yang ada. Menurut salah seorang ahli Perjanjian Baru, Oscar Cullmann, teks 1Pet 2:13-17 ini merupakan eksegese yang pertama atas teks Rom 13:1-7 itu. Artinya, itulah upaya yang pertama, sejauh yang bisa kita telusuri, oleh orang-orang Kristen awal sendiri untuk mencoba menafsirkan dan memahami teks otoritatif dari Paulus.
Jika pandangan Cullmann ini benar, maka di sini kita menemukan salah satu contoh bagaimana teks-teks kitab suci (khususnya Perjanjian Baru) yang muncul belakangan dalam sejarah muncul sebagai hasil dari proses pembacaan dan penafsiran ulang atas teks-teks yang sudah muncul pada waktu-waktu sebelumnya. Sesungguhnya proses penafsiran seperti ini ada sangat banyak di dalam kitab suci. Dan salah satu contohnya di dalam Perjanjian Baru adalah teks dari 1Petrus ini.
Jadi, benarlah prinsip hermeneutic berikut
ini yang mengatakan bahwa "reading and rereading is process of reproducing and
reconstructing meaning." (Membaca dan membaca ulang adalah sebuah proses untuk mereproduksi dan merekonstruksi makna). Bagaimanakah hal itu terjadi. Kiranya hal itu dapat digambarkan demikian: Ketika salah satu murid Petrus atau mungkin juga murid
Paulus, membaca ulang dan membaca lagi teks surat Rom 13:1-7 itu, maka ia mencoba
menggemakan Kembali makna dasar dari teks itu di dalam produksi literernya
sendiri berupa 1Pet 2:13-17.
Mengkritisi Visi Teologi-Politik Paulus
Tetapi apakah kita harus menerima begitu saja jalan argumentasi seperti itu yang diterima sebagai benar begitu saja oleh orang-orang Kristiani yang boleh disebut berhaluan “nonpolitis” (antipolitis) itu? Menurut pembacaan saya, cara pembacaan dan simpulan seperti itu merupakan suatu penyederhanaan yang berlebih-lebihan terhadap teologi Paulus tentang kekuasaan. Setidaknya saya tidak dapat menerima begitu saja jalan pikiran seperti di atas tadi, yaitu bahwa karena kuasa negara itu berasal dari Allah (yang memang secara teologis-penciptaan benarnya), tetapi hal itu tidak lalu berarti ia harus ditaati tanpa sikap kritis.
Menurut saya sikap kritis itu tetap amat perlu. Mengapa? Ya karena factor manusiawi di balik si pemangku kekuasaan politis itu. Bagaimanapun juga si pemangku kekuasaan politis itu adalah manusia. Dan sebagai manusia, selalu ada kemungkinan bahwa ia bisa keliru, bisa salah, bisa menipu, omnis homo mendax, omnis homo peccator. Walaupun secara teologis khususnya visi teologi penciptaan, kuasa pemerintahan itu didirikan, dikehendaki oleh Allah, tetapi karena ada factor manusiawi di sana, maka selalu ada kemungkinan bahwa si manusia itu bisa tersesat, keliru.
Dalam sebuah tatanan politik kekeliruan itu bisa berwujud dalam sikap reaksioner, tiranik, bengis, kejam, dan bahkan ada juga kemungkinan kuasa politis manusiawi itu bisa menjadi sebentuk pembangkangan terhadap kuasa Allah itu sendiri, dengan kata lain, bisa terjerumus ke dalam jurang ateisme juga. Jadi, karena ada kemungkinan seperti itu, maka pandangan teologi Paulus tentang kekuasaan, tidak boleh diterima secara utuh dan bulat begitu saja tanpa sikap historis kritis dengan mempertimbangkan factor manusiawi dalam diri yang mengemban kekuasaan itu. Itu yang pertama.
Selain itu, yang kedua, tetapi masih erat terkait dengan yang pertama tadi, simpulan latah dari orang-orang Kristiani nonpolitis tadi tidak mengajukan pertanyaan kritis sebagai berikut: apa yang harus dilakukan oleh orang-orang Kristiani manakala para pemangku kekuasaan politis duniawi itu salah, tersesat, dan melakukan penindasan dan berlaku tidak adil kepada rakyatnya? Pertanyaan ini penting sebagai salah satu titik tolak untuk mengkritisi pandangan Paulus tadi. Apakah orang Kristiani harus berdiam diri saja, menerima begitu saja semua keburukan dari si penguasa politis duniawi itu?
Nah, menurut saya di sinilah dan pada titik inilah kita harus membuat sebuah distingsi yang jelas dan tegas antara kuasa Allah dan kuasa manusia. Saya sependapat dengan pandangan teologis yang mengatakan bahwa sebagai orang Kristen kita harus tunduk dan taat kepada kuasa Allah sebab memang Allah itu baik, penuh kasih, dan mendatangkan penebusan dan pembebasan bagi manusia. Tetapi sikap tunduk dan taat yang suci seperti itu kepada Allah tidak mutlak mengandaikan bahwa orang-orang Kristiani harus taat seperti itu juga kepada para penguasa yang lalim dan kejam.
Sebuah Catatan Penutup
Kesalehan kita di dalam relasi teologis dengan Allah tidak akan dirusakkan dan dicemarkan oleh sikap kritis dalam bentuk penolakan dan pembangkangan terhadap kuasa manusiawi yang kejam, sangat tidak adil. Bahkan jika orang Kristen diam saja terhadap ketidak-adilan dan kekerasan yang ditimbulkan oleh penguasa politis duniawi ini, maka hal itu bisa merupakan penodaan terhadap iman teologisnya akan Allah yang mahabaik.
Bagaimanapun yang benar ialah bahwa yang berdosa itu bukanlah
pembangkangan dan penolakan terhadap penguasa yang lalim. Yang berdosa ialah para
penguasa lalim itu sendiri, di mana pun mereka itu berada, sebab mereka telah
menodai niat baik Allah yang telah memberi mereka kuasa, jika kuasa itu
dipandang dan diyakini sebagai berasal dari sumber yang satu dan sama yaitu
Allah itu sendiri juga. Sikap pembangkangan sipil dan penolakan terhadap kuasa
politis sebuah tatanan pemerintahan duniawi, bukanlah dosa, melainkan sebuah kewajiban
moral etis, yang kalau diabaikan, dilalaikan, justru akan menjadi dosa teologis
itu sendiri yang sangat besar, karena kita melanggar secara langsung kebaikan
Allah.
Komentar
Posting Komentar