DAWKINS DELUSION DAN DEUS EST CARITAS

Richard Dowkins. Dari: Google Search.



Oleh: Fransiskus Borgias 

Dosen dan Peneliti Senior Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

 

Pengantar Singkat

Beberapa waktu yang lalu saya mendapat sebuah video youtube yang sangat penting dan juga menarik. Sayangnya, saya sudah tidak ingat lagi judul video tersebut. Tetapi yang jelas ialah bahwa Video itu merekam dan menampilkan ceramah seorang ahli matematika Inggris (dari Oxford atau Cambridge). Sayang sekali juga bahwa saat ini saya tidak lagi ingat nama si ahli matematika itu. Nanti saya coba cari lagi video youtube itu. Yang jelas ialah bahwa dalam pembicaraan ceramahnya itu, sang matematikawan tadi mengulas tentang Allah.

Dengan dan melalui ceramah itu, sang matematikawan tadi berusaha menegaskan secara publik dan tanpa tedeng aling-aling bahwa dirinya percaya akan Allah. Sebuah pengakuan dan penegasan akan teisme yang lantang di ruang public akademik Inggris. Jika ia percaya akan Allah itu dengan sendirinya berarti dia mengakui bahwa Allah itu ada. Karena Allah itu ada maka Ia bisa dipercayai. Mustahil manusia percaya akan Allah jika Allah itu tidak ada. Dengan kata lain, iman akan Allah mutlak mengandaikan pengakuan fundamental akan keberadaan Allah itu sendiri.

 

Kehadiran Richard Dawkins dan Bayang-bayang God Delusion

Hal yang menarik dari video ceramah itu ialah bahwa di tengah-tengah para pendengarnya yang berjubel itu, ada seorang filsuf yang terkenal dari Inggris. Mungkin bagi kebanyakan orang hal itu mengejutkan, bahwa ia ikut hadir dan mendengarkan dengan sangat serius ceramah sang matematikawan tadi. Nama filsuf Inggris itu ialah Richard Dawkins. Dia ini adalah seorang yang tidak percaya akan Allah. Jadi, dia ini adalah seorang ateis, walaupun ia sendiri tidak mau memakai istilah ateis itu. Ia lebih suka memakai istilah Delusion. Itulah sebabnya ia menulis sebuah buku yang terkenal dan juga menjadi best-seller, dengan judul God Delusion. Bagi dia Allah itu hanyalah sebuah delusi belaka. Tidak lebih tidak kurang.

Dengan memakai kata delusi, ia sebenarnya mau dengan sadar dan sengaja menghindari kata ateisme, karena kata ateisme ini mutlak mengandaikan sebuah pengakuan (entah explisit maupun implisit) akan teisme. Maksudnya, harus diakui dulu bahwa theos itu ada, barulah orang bisa menyangkal ataupun menolak keberadaanNya. Jika theos itu tidak ada, bagaimana mungkin Ia bisa disangkal, atau ditolak? Bagaimana mungkin orang bisa menyangkal atau menolak sesuatu yang tidak ada? Itulah ambiguitas yang ada di balik kata ateisme itu.

Dan justru untuk menghindari debat metafisis seperti itulah, maka Richard Dawkins tidak mau memakai kata ateisme itu. Ia berusaha menghindarinya sedapat mungkin. Hingga kini, kita harus mengakui dengan jujur bahwa ada banyak pengikut dan pengagum Richard Dawkins tidak hanya di Inggris (negeri asalnya), melainkan juga di seluruh Eropa, di Amerika Serikat, bahkan mungkin juga di seluruh dunia (rasanya termasuk juga di Indonesia). Saya tidak mau membahas hal itu lebih lanjut di sini, karena saya belum sempat mengadakan riset ringan dan sederhana tentang kurikulum filsafat khususnya topik ateisme di Indonesia, apakah memang juga sudah memasukkan pandangan Richard Dawkins sebagai materi kuliahnya di kelas-kelas filsafat. Saya belum mendapat banyak informasi tentang hal itu.

 

Terpaan “The Dawkins Delusion?”

Karena itu saya mau lebih fokus pada para pengecamnya. Sebab memang ada banyak juga para pengeritik dan pengecamnya. Salah satunya ialah orang yang Bernama Alister McGrath, Bersama rekannya (isterinya?, co-author) Joanna Collicut McGrath. Dalam rangka mengecam atau mengeritik RD, kedua orang ini menulis buku yang berisi sebuah penolakan yang telak dan tegas terhadap Richard Dawkins dengan judul The Dawkins Delusion? Judul kecilnya juga penting dan menarik: Atheist Fundamentalism and the Denial of the Divine. Jika RD menempelkan kata delusi itu pada Allah, maka penulis ini menempelkan kata delusi itu pada Dawkins. Jadi, Dawkins adalah delusi itu sendiri, termasuk pikiran-pikirannya tentang God Delusion itu.

Mungkin Richard Dawkins tidak pernah membayangkan bahwa akan ada orang yang menulis buku seperti itu yang menganggap Dawkins dan pikiran-pikirannya hanyalah delusi saja, hanya khayalan belaka yang tidak perlu digubris, karena memang tidaklah penting-penting amat. Itu ada atau tidak ada, tidak sangat berpengaruh juga bagi hidup manusia secara keseluruhan. Saya menduga, mungkin karena itulah Richard Dawkins berusaha menghadiri dan datang mendengarkan ceramah sang ahli matematika itu. Ia menganggap ceramah sang matematikawan itu sangat serius dan penting, dan karena itu ia menghadirinya.

Bahkan ada juga yang menulis buku berjudul Atheist Delusion. The Christian Revolution and Its Fashionable Enemies (David Bentley Hart). Ada juga yang menulis (salah satunya Alister McGrath di atas tadi), bahwa pemikiran atheistic Dawkins itu bagaikan sebuah dorongan dan ajakan untuk kembali ke dalam iman dan memperdalam iman, sehingga di mata mereka Dawkins, pun bisa dipandang sebagai pewarta Injil itu sendiri. Hal itu mereka ungkapkan dalam buku berjudul menarik: Coming to Faith through Dawkins. 12 Essays on the Pathway from New Atheism to Christianity (Denis Alexander and Alister McGrath, editors).

Kiranya Richard Dawkins hadir di sana bisa dengan dua tujuan sebagai berikut. Pertama, ia hadir untuk mencari-cari celah di dalam alur pemikiran sang ahli matematika itu yang kiranya bisa mendukung tesisnya tentang God Delusion tadi. Atau kemungkinan yang kedua, ia hadir di sana, dalam rangka sebuah upaya pencarian dalam sebuah pengembaraan yang belum selesai. Mengapa saya mengatakan demikian? Karena di mata saya orang-orang ateis, dan orang-orang yang menganggap Allah sebagai delusi belaka, seperti halnya Richard Dawkins ini, adalah orang-orang yang sedang berada dalam perjalanan ziarah mencari-cari Allah itu dengan menempuh apa yang oleh Pseudo-Dyonisius disebut dengan istilah via negativa (jalan negatif, jalan penyangkalan, jalan penidakan) itu.

Jika anggapan ini benar, maka sesungguhnya ateisme yang dianut hanyalah sebuah via negativa saja untuk menjaga dan menegaskan keagungan dan kemuliaan serta kebesaran Allah. Mungkin saja Richard Dawkins berharap bisa menemukan jalan itu, sebuah jalan positif, via positiva, dalam alur wacana sang ahli matematika yang sedang berceramah tentang Allah yang ia imani dan ia yakini hidup dan berada. Kiranya itulah sebabnya Richard Dawkins hadir di sana dan menyimak ceramah itu dengan penuh perhatian.

Saya tidak mau menutup mata terhadap kemungkinan ini sebab, seperti sudah saya katakan sebelumnya, orang-orang ateis adalah para pengembara dan para pencari sejati, dan mereka mencari dengan melewati via negativa tadi, sambil berharap dan terbuka terhadap bentangan via positiva (jalan positif), untuk akhirnya masuk ke dalam via unitiva (jalan penyatuan, setelah sejenak sebelumnya melewati via purgativa, yaitu jalan pemurnian, jalan pembersihan noda-noda yang mungkin selama ini telah mengaburkan mata iman sehingga memunculkan kecenderungan deviasi, penyimpangan-penyimpangan sejenak).

 

Terpaan Pengalaman dan Keyakinan Ratzinger

Saat menulis penggalan ini dari catatan ini, saya tiba-tiba teringat akan wawancara yang dilakukan Peter Seewald terhadap Bapak Kardinal Joseph Ratzinger, yang kemudian menjadi Paus Benediktus XIV. Hasil wawancara itu dapat dibaca dalam buku yang berjudul sangat Panjang: “Joseph Cardinal Ratzinger. Salt of the Earth; The Church at the End of the Millenium. An Interview with Peter Seewald” (San Francisco: Ignatius Press, 1997). Salah satu poin pertanyaan Seewald dalam untaian wawancara Panjang itu adalah apakah anda tidak bosan omong dan memikirkan tentang Allah terus menerus?

Beginilah persisnya rumusan pertanyaan Seewald itu: “Isn’t it extremely wearing having to deal with God every day? Doesn’t one get sick and tired of it?” (versi terjemahan bebasnya kira-kira demikian: “Apakah tidak sangat membosankan untuk berinteraksi setiap hari dengan Allah? Apakah hal itu tidak menyebabkan orang bisa sakit dan menjadi letih karenanya?” (p.11). Dan inilah jawaban sang Kardinal itu, sebuah jawaban yang bagi saya sangat mengagumkan dan luar biasa.

Saya mengutip secara lengkap jawaban beliau di sini: “Dealing with God every day is a necessity for me. For just as we have to breathe every day, just as we need light every day and have to eat every day, just as we also need friendship every day and truly need certain people every day, dealing with God is one of the absolutely fundamental elements of life. If God suddenly disappeared, my soul wouldn’t be able to breathe properly. In that sense there is no boredom here. It can occur when it comes to certain pious practices, in relation to certain devotional readings, but not in relation to God as such.” (p.11).

Singkatnya, Allah itu laksana udara bagi kita. atau laksana air bagi ikan dalam air, dalam danau, dalam lautan. Kalau tidak ada udara, maka kita ini akan mati karena sesak nafas semuanya. Begitu juga dengan ikan, jika tidak ada air, maka mereka akan mati semua. Tentu saja, bagi saya ini adalah sebuah jawaban yang sangat luar biasa. Tetapi menurut saya pertanyaan Seewald itu keliru juga: memikirkan tentang Allah dan hidup Bersama dengan Allah dan hidup karena Allah itu adalah dua hal yang sangat berbeda. Tidak bisa disamakan begitu saja.

Sampai saat ini, saya masih mencari, apakah ada tanggapan dari Paus Benediktus XVI terhadap anggapan Richard Dawkins bahwa Allah itu hanyalah sebuah delusi saja. Mungkin Ratzinger juga tidak menganggap sangat penting untuk melakukan hal itu. Kiranya upaya seperti ini, apalagi sampai harus dilakukan oleh seorang tokoh sekaliber Paus Benediktus XVI, juga tidak perlu kiranya. Siapakah si Richard Dawkins itu sampai orang sekaliber Paus harus turun gunung untuk menanggapinya. Namun demikian kiranya dari jawaban bapak Kardinal terhadap pertanyaan Seewald sudah jelas bahwa Allah itu bukanlah sebuah delusi belaka, melainkan sungguh-sungguh ada. Ia landasan dan alas an keberadaan kita, raison d’etre kita sebagai manusia dan semua makhluk ciptaan yang ada di alam semesta ini.

 

Dinamika Perjalanan Orang-orang Beriman

Di tempat lain saya sudah pernah menulis tentang ini, yaitu bahwa wacana manusia tentang Allah, dari kacamata orang beriman telah melewati beberapa tahap. Tahap paling pertama (atau paling bawah jika disusun dengan pola dari bawah ke atas) ialah pertanyaan tentang KEBERADAAN. Inti pokok pertanyaannya ialah apakah Allah itu ADA ataukah TIADA? Bagi kaum beriman, Allah itu ADA. Dan hal itu sudah final. Tidak perlu didiskusikan lagi.

Tahap kedua sesudah tahap pertama ialah pertanyaan tentang KEBERAPAAN. Inti pokok pertanyaannya ialah apakah Allah itu SATU atau BANYAK (MONO ataukah POLI)? Jawaban kaum beriman ialah Allah itu SATU. Dari sini muncullah paham atau pandangan mototheisme itu.

Mungkin bagi kebanyakan kaum yang menganut paham monotheisme itu, mereka hanya mengajukan pertanyaan sampai pada tahap ini saja. Tetapi bagi beberapa aliran pemikiran teologis yang terpercik baik di dalam Perjanjian Lama maupun terutama dalam Perjanjian Baru, dan itu berarti bagi orang-orang Kristiani, masih ada pertanyaan lebih lanjut. Dan itu adalah tahap ketiga dari dinamika perjalanan refleksi teologi itu. Inti pokok pertanyaannya ialah tentang KEBAGAIMANAAN: Bagaimanakah misteri Allah yang satu itu? Apakah Ia berdiam dalam diriNya sendiri? Apakah ia tertudup dalam diriNya sendiri seperti konsep monade dari Leibnis dan Spinoza itu? Entahlah. Saya tidak mau menaruh kepedulian terhadap hal itu.

Saya menaruh kepedulian terhadap refleksi teologis lanjutan dari iman Kristen. Bagi orang Kristiani, Allah itu BERELASI dalam dan dengan diriNya sendiri. Itulah misteri Trinitas. Sebelum Allah berelasi keluar, dengan semua makhluk ciptaan (tentu saja termasuk manusia di dalamnya, tetapi tidak hanya manusia saja), secara abadi, artinya dari kekal hingga kekal, Allah itu berelasi dalam dengan diriNya sendiri, antara Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Inti daya dinamika relasi itu ialah cinta dan sifat dasar dari cinta ialah bahwa ia selalu mengalir dan memancar keluar dari dirinya sendiri dan menuju atau terarah kepada dia yang dicintai. Itulah misteri perichoresis di dalam Allah Tritunggal Mahakudus.

 

Penutup: Misteri Perichoresis Trinitatis

Tidak mudah menerjemahkan kata perichoresis itu. Dalam Bahasa Latin diterjemahkan dengan circumsensio atau menurut versi terjemahan Bonaventura circuminsesio. Dalam bahasa Inggris antara lain diterjemahkan dengan the mystery of mutual indwelling of the Most Holy Trinity. Kata ini misalnya dapat kita temukan dalam terjemahan karya-karya Rahner yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, juga karya dari Yves Congar yang bahas tentang Roh Kudus itu dan juga karya dari Leonardo Boff tentang misteri Trinitas itu. Juga tampak dalam terjemahan karya-karya Paus Yohanes Paulus II, yang dalam rangka menyongsong milenium ketiga, menulis tiga buku kecil mengenai misteri Trinitas Mahakudus itu (Bapa, Putera, dan Roh Kudus). Itu hanya sekadar menyebut beberapa contoh saja. Masih ada banyak contoh-contoh lain yang mengulas tentang misteri perichoresis itu.

Jadi, bagi kaum beriman, khususnya kaum beriman Kristen, kita tidak perlu berlelah-lelah lagi menelusuri tahap pertama (KEBERADAAN) dan kedua di atas tadi (KEBERAPAAN). Melainkan kita mulai menyibukkan diri dengan tahap ketiga itu (KEBAGAIMANAAN), yaitu senantiasa menyelami misteri Allah Tritunggal Mahakudus, Sanctissima Dei Trinitatis. Karena Allah adalah kasih, Deus est caritas, maka di dalam relasi internal, Allah itu menampakkan dan mementaskan daya cinta.

Daya cinta itu kemudian juga dipancarkan keluar tatkala Allah sudah menciptakan segala sesuatu, tidak hanya manusia melainkan juga semua makhluk ciptaan lain, termasuk saudara cacing (jika meminjam istilah dari Bapa Serafik, Fransiskus dari Assisi). Karena semuanya berada dalam ikatan dan pancaran cinta yang satu dan sama yang berasal dari Allah, sang sumber cinta itu, maka kita semua adalah saudara, Fratelli Tutti.

Tidak ada dan tidak boleh ada yang dibiarkan tercecer keluar dari aura kasih itu apalagi jika nasib keterceceran itu disebabkan oleh kesombongan dan egoisme manusia. Selamat tinggal delusi, selamat tinggal ateisme, selamat datang cinta, karena Allah adalah kasih, Deus est caritas, God is Love, Gott ist Liebe. Dalam hal cinta ini, Allah “tidak bisa” menyangkal diri-Nya sendiri. Jika demikian adanya, kita barulah bisa berbicara tentang paradoks Allah itu sendiri, yaitu bahwa Allah “tidak bisa” tidak mencinta. Ia “tidak bisa” menyangkal eksistensi-Nya sendiri, karena Dia adalah sang cinta itu sendiri. 


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO