PERARAKAN FENOMENAL KEBANGSAAN DI TASIK MALAYA, JAWA BARAT

foto: Koleksi Pribadi.
Di sebuah tempat ziarah. 


Oleh: Fransiskus Borgias


Pengantar

Beberapa hari terakhir ini ada sebuah video yang sangat viral di medsos kita. Itu tidak lain adalah video yang merekam sebuah kirab kebangsaan di Tasik Malaya, Jawa Barat yang menampilkan kelompok-kelompok Masyarakat. Salah satu kelompok yang tampil di dalam perarakan itu ialah kelompok dari orang-orang Katolik. Mereka membawa salib-salib dengan tiang pancang  yang tinggi, gambar-gambar berukuran besar yang digantung pada tiang, dan terutama sekali, mereka juga mengusung Patung Bunda Maria di atas sebuah tandu. Nah inilah yang sangat menarik, karena selain diusung oleh para imam muda atau mungkin para frater, juga diusung oleh kelompok yang berasal dari BANSER Tasik Malaya. Hal itu dapat diidentifikasi dari seragam yang mereka kenakan.

Nah, seorang teman di media sosial (facebook), setelah melihat video ini, menulis sebuah komentar yang menurut saya sangat penting dan juga sangat menarik. Teman itu kurang lebih mengatakan begini: “Jika dulu ada Simon dari Kirene yang diminta (dipaksa?) untuk membantu memikul salib Yesus menuju ke Golgota, maka di Tasik Malaya sekarang ini, ada sekelompok pemuda dari Banser (dari NU) yang ikut membantu memikul tandu sang Bunda Maria, mengelilingi beberapa jalan utama di Kota Tasik Malaya, kota yang dikenal dengan sebutan kota Santri itu.”

 

Berusaha Bangun di Atas Reruntuhan

Peristiwa ini menjadi sangat menarik perhatian kita sebagai umat Katolik, karena dan berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, pertimbangan historis. Dulu pada tahun 1996, terjadi kerusuhan sara yang besar di kota ini. Dan salah satu tempat yang menjadi korban dari kerusuhan itu ialah Gereja Katolik, gereja paroki yang terletak di kota Tasik Malaya itu. Tentu banyak pihak, termasuk pihak gereja Katolik yang menjadi salah satu korban, tidak akan bisa melupakan begitu saja peristiwa itu. Bukan karena apa-apa. Tetapi karena memang melupakan itu bukan sesuatu yang mudah. Seperti kata sebuah pepatah orang Inggris: I can forgive, but I cannot forget (Saya bisa mengampuni, tetapi saya tidak bisa melupakan). Tentu saja terjemahan ini tidak bisa sepenuhnya mencerminkan makna permainan kata di dalam bahasa Inggris, yaitu permainan antara kata FORE-GIVE dan FORE-GET. Tetapi saya tidak mau melanjutkan terus uraian saya tentang hal itu. Saya kembali lagi ke persoalan: pokoknya, kerusuhan sara tahun 1996 itu tetap berbekas sebagai sebuah luka di dalam ingatan dan kenangan kita semua.

Entah kebetulan ataukah sebuah penyelenggaraan, atau sebuah coincidentia ataukah providentia, yang jelas sesudah peristiwa itu memang dilakukan sangat banyak upaya sosial dan bersama untuk memulihkan keadaan. Ada banyak pihak yang terlibat dan melibatkan diri dalam upaya itu. Tetapi akhirnya, sekali lagi, entah kebetulan ataukah sebuah penyelenggaraan tadi, dalam rentang waktu sepuluh sampai limabelas tahunan, pantai selatan jawa barat, itu dilanda beberapa kali peristiwa bencana alam yang dahsyat, terjadi gempa bumi yang memporak-porandakan kota-kota. Tasik Malaya sendiri digoncang gempa hebat pada tahun 2006 dan masih beberapa kali sesudahnya juga. Pangandaraan dilanda Tsunami. Tasik Malaya hancur oleh gempa.

 

Kohesi Sosial Sebagai Modal Dasar

Dan semuanya itu akhirnya memunculkan sebuah aksi dan solidaritas sosial yang benar-benar membuat rasa kemanusiaan itu seperti rekat kembali pasca terluka oleh kerusuhan. Secara perlahan-lahan, semua itu, maksud saya bencana alam itu, seperti menjadi sebuah terapi dan sekaligus obat bagi kebencian sosial lalu menjadi solidaritas sosial, yang dilandaskan pada social charity.

Kedua, Tasik-Malaya juga antara lain dikenal sebagai sebuah kota Santri yang umumnya berbasiskan NU. Di sana ada juga organisasi-organi sasi kepemudaan berbasis NU, seperti BANSER NU yang di kalangan gereja-gereja, terutama gereja Katolik sudah sangat akrab kita kenal. Citra ke-santri-an ini juga turut coba diangkat kembali sebagai sebuah daya kekuatan sosial untuk membangun kohesi sosial (social cohesion) pasca pelbagai kerusuhan yang sudah terjadi.

Dalam kaca mata saya, kerusuhan sosial itu pada dasarnya adalah efek dari permainan dan persaingan politik, terutama politik perebutan daya pengaruh, perebutan kekuasaan, antara status quo dan yang menolak status quo. Sehingga boleh juga saya katakan bahwa politik itu memecah-belah. Tetapi apa yang sudah dirusak oleh politik, seperti dipersatukan dan dipulihkan kembali oleh daya-daya solidaritas pasca bencana alam. Alam dengan dayanya yang dahsat sepertinya sedang mengajar kita manusia bahwa kekerasan karena politik atau demi politik adalah tidak berguna sama sekali. Bencana alam itu seperti mengajarkan kita akan sebuah nilai luhur kemanusiaan, yaitu solidaritas, cinta kasih, dan saling perhatian terhadap satu sama lain.

Perhatikan kata "per-hati-an" itu. Di sana ada kata "HATI". Jadi, ini perkara memberi hati, melihat, merasakan, mendengarkan dengan hati. Nah, setelah melewati semua krisis kemanusiaan itu, dan terutama setelah upaya pemulihan kemanusiaan itu dalam dan melalui krisis kemanusiaan akibat bencana alam, muncul sebuah kohesi sosial baru. Menurut saya, kohesi sosial baru inilah yang bisa menjelaskan mengapa bisa terjadi perarakan mulia seperti itu di kota santri Tasik Malaya. Sesuatu yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya. Saya yakin ada banyak sekali pihak yang bekerja di bawah permukaan, di belakang layar yang memungkinkan hal ini bisa terjadi.

Jika ini bisa dilakukan, bukan tidak mungkin bahwa perarakan Patung Bunda Maria ini, bisa menjadi sebuah ikon pariwisata di kota santri tersebut yang pasti akan mendatangkan efek lanjutan yang tidak bakal terduga sama sekali secara ekonomi, sosial, dan politik. Saya melihat semua wajah tersenyum menyaksikan hal itu. Saya kira itu adalah sebuah pertanda yang baik.

 

Mengharapkan Netralitas Pemerintah

Sekarang saya mau kembali ke catatan si teman tadi tentang simon kirene tadi. Bagi dia, keterlibatan BANSER NU di Tasik Malaya untuk memikul tandu sang Bunda Maria, adalah sosok Simon Kirena masa kini. Ketika memikirkan dan merenungkan hal ini, terbersitlah beberapa pemikiran dalam diri saya. Pertama, saya mau mengatakan bahwa di dalam dan di tengah krisis penderitaan, si subjek penderitaan itu tidak berdaya. Paling-paling ia hanya bisa memancarkan wajah memelas kepada orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia takut untuk meminta bantuan, sebab mungkin akan ditolak mentah-mentah atau bahkan mungkin akan diolok-olok lebih lanjut lagi.

Bukannya tidak ada orang yang berbaik hati dan menaruh iba di sekitar situ. Pasti ada orang seperti itu. Tetapi mereka tidak berani untuk tampil ke muka seperti Veronika itu. Oleh karena itu, bagi saya, agar orang-orang yang berbela-rasa seperti itu bisa berani tampil ke muka, maka pemegang otoritas haruslah berani bersikap tegas. Dalam kasus Simon Kirene dulu, kira-kira begini. Ketika penguasa, yang diwakilkan oleh para serdadu, melihat bahwa Yesus sudah tidak berdaya, padahal bukit penyaliban masih jauh, maka penguasa itu memutuskan untuk mencari bantuan. Tetapi hal itu juga tidak mudah. Sebab bisa saja ada yang mau bantu, tetapi takut akan penilaian dan pengadilan sosial.

Oleh karena itu, sang pemangku kekuasaanlah yang harus menjamin dan memastikan bahwa Simon mau membantu, tetapi juga melindungi dia agar dia tidak menjadi korban persekusi berikutnya. Saya kira itulah peran dari pemegang kekuasaan. Memang kekuasaan itulah yang telah menyebabkan Yesus dihukum mati, tetapi kita mau melihatnya secara minimalis saja, yaitu kekuasaan jangan sampai menjadi alat untuk memperlebar dan memperparah eskalasi kekerasan sosial terhadap korban-korban piramida sosial jika meminjam istilah dari sosiolog kondang, Peter L. Berger. Dan para serdadu di sekitar Yesus saya kira sudah melakukan hal itu dengan baik.

 

Memulihkan Kemanusiaan

Hasilnya sangat jelas: Simon bisa menampilkan rasa solidaritas kemanusiaan dengan leluasa. Yesus bisa sejenak beristirahat dari kelelahan memikul salib. Saya berpikir bahwa peran netralitas seperti itulah yang harus dimainkan oleh penguasa, pemerintah. Pemerintah harus netral di dalam memperlakukan para warganya, agar para warganya, terutama yang termasuk kategori kelompok rentan karena minoritas, tidak terus menerus menjadi korban persekusi. Pemangku kekuasaan harus berusaha sedemikian rupa, memainkan dan memerankan kekuasaan itu agar bisa dirasakan dampak positifnya secara proporsional oleh semua warga masyarakat.

Terus terang, saya melihat sebuah pancaran kemanusiaan yang luar biasa cerah yang tampak dan terbit dari peristiwa Tasik Malaya itu, justru karena sudah terjadi sebuah kohesi sosial yang luar biasa. Kohesi sosial itulah yang bisa menjelaskan ada dan terjadinya peristiwa itu secara aman dan sentosa. Bayangkan. Di tengah kentalnya keyakinan religius muslim yang memiliki pandangan yang lain dan berbeda tentang patung dan gambar, justru kemarin, kita lihat dalam pawai itu, ada patung, dan ada gambar. Dan sepertinya orang merasa tidak apa-apa dengan itu semua. Seakan-akan peristiwa itu memancarkan fakta bahwa perbedaan agama, perbedaan visi teologis, tidak usah harus merusak rasa kemanusiaan kita. Bahwa ada BANSER NU yang ikut memikul tandu Patung Bunda Maria, bagi saya itu adalah bantuan kemanusiaan yang luar biasa, sebuah terobosan yang sangat menarik dan penting.

 

Catatan Penutup 

Di akhir catatan ini saya hanya berharap bahwa semoga peristiwa itu, bisa membangkitkan sebuah daya kekuatan sosial baru dari Tasik Malaya yang bisa mengilhami secara nasional. Diam-diam saya juga berharap agar apa yang sudah dimulai di Tasik Malaya, bisa juga terjadi di Bandung nantinya. Ya Bandung, pusat keuskupan, pusat pemerintahan. 

Dari mana datangnya optimisme saya itu? Sederhana saja? Begini. Kalau tingkat pemerintahan kota Tasik Malaya saja bisa mengatur peristiwa sosial teologis itu secara meriah dan sukses, masa' pemerintah tingkat propinsi tidak bisa melakukannya. Ibarat adik kakak... adik saja bisa... masak kakak tidak bisa.... malu dong ah... hehehehe... semoga... 


Taman Kopo Indah II, Bandung. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO