ENDAPAN REFLEKSI KRITIS TENTANG MATERI FILSAFAT PASCA-SEKULAR
![]() |
Gambar Ilustrasi: Diambil dari Google Picture. |
Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, M.A.,
Dosen dan Peneliti Senior pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Catatan Pengantar Singkat
Hari ini, 21 November 2023, saya mengajar dalam kelas untuk mata kuliah Filsafat Pasca-sekular. Pada hari ini, mahasiswa yang bertugas untuk presentasi ialah saudara Herwanto Weya. Dalam kesempatan ini, Herwanto mau membahas tentang pemikiran filosofis-teologis dari filsuf Emanuel Levinas sebagaimana dipresentasikan oleh Phillip Blond. Dalam presentasinya dia menyebut beberapa nama filsuf besar selain Levinas. Nama-nama tersebut disebut sebagai latar belakang bagi pemikiran filosofis dan teologis Levinas. Tetapi kesan saya, justru karena bertumpuknya nama-nama itu maka para peserta kuliah, khususnya yang berasal dari jurusan matematika, tampak seperti kebingungan.
Oleh karena itu, di akhir kuliah, sebagai semacam simpulan seluruh proses kuliah itu, saya mencoba memetakan nama-nama yang muncul itu. Di papan tulis saya tulis nama LEVINAS dengan huruf besar. Lalu di sebelah kiri saya daftarkan nama-nama tadi. Ada nama Filsuf Franz Rosenzweig, dan Filsuf Martin Buber. Kedua nama ini adalah para filsuf Jerman keturunan Yahudi Jerman. Kedua nama besar ini menjadi salah satu latar belakang teologis-filosofis bagi pemikiran filosofis Levinas. Sesudah itu masih ada nama filsuf fenomenologi Edmund Husserl dan filsuf eksistensialis Martin Heidegger. Terkenallah sebuah kutipan dari ucapan Levinas pada suatu saat yang menjelaskan mengapa dia datang ke Freiburg. Kata Levinas: saya datang ke Freiburg untuk mencari Husserl, tetapi di sana saya menemukan Heidegger.
Para Filsuf di Sekitar Levinas
Sebelum membahas secara singkat tentang intisari pemikiran filosofis Levinas, saya harus menyebut nama-nama tadi dan pemikiran filosofis-teologis masing-masing. Saya mulai dengan Martin Buber (dan tidak menyinggung apa pun tentang Franz Rosenszweig; semoga masih bisa nanti dilakukan pada tempat dan kesempatan yang lain). Buber inilah yang telah mengilhami Levinas untuk masuk dan menukik ke dalam pemikiran filosofis tentang relasi intersubjektifitas (relasi antar pribadi).
Pada tahun 1923, Buber menulis sebuah buku yang kemudian menjadi sangat terkenal, dengan judul dalam bahasa Jerman, bahasa ibu dari Buber: Ich und Du. Dalam Bahasa Inggris judul itu diterjemahkan menjadi I and Thou. Sejauh saya ketahui, belum ada versi terjemahan ke dalam bahasa Indonesia. Semoga di masa yang akan datang, muncul juga penerjemah yang mau menerjemahkan karya agung ini.
Secara sangat singkat, menurut Buber, manusia dalam hidupnya mengembangkan dua macam relasi, yaitu relasi Aku-Engkau dan Aku-Itu (atau Ich und Du, dan Ich und Das Ding). Atau dalam Bahasa Inggris I and Thou dan I and It. Dalam penghayatan yang nyata, manusia bisa mengalami semacam kerancuan yaitu mencampur-adukkan antara kedua macam relasi itu. Atau lebih tragis lagi, menukar-balikkan kedua model dan bentuk relasi itu. Maksudnya, relasi Ich und Du, adalah relasi antara manusia dengan sesamanya, relasi intersubjektifitas, dan juga relasi dengan Tuhan Allah (dalam bingkai kesadaran akan intersubjektifitas tadi, antar pribadi, inter-person). Sedangkan relasi Ich und Ding (I and the Thing) adalah relasi manusia dengan benda-benda.
Tentu saja kedua macam relasi itu berbeda tingkatannya secara Rohani. Tetapi bisa saja terjadi, kata Buber, manusia mengubah relasi I-Thou menjadi relasi I-It. Atau bisa juga manusia bisa mencampur-adukkan antara relasi I-Thou dengan relasi I-It, atau relasi I-It diperlakukan sebagai relasi I-thou. Jika itu yang terjadi, dalam kasus pertama, itu adalah reifikasi, atau proses pembendaan manusia, dan itu adalah sebentuk dehumanisasi terhadap manusia dan bahkan Tuhan. Sedangkan dalam kasus yang kedua, itu adalah sebentuk praksis berhala, yaitu menjadi benda, Das Ding, menjadi dewa-dewa pujaan baru. Dalam hal ini justru manusia itu sendiri telah merusak dan merendahkan martabat kemanusiaannya dengan melakukan praksis berhala tadi.
Daya Ilham Pengaruh Husserl
Sekarang saya mau menyinggung relasi Levinas dengan filsuf Edmund Husserl. Dalam diri Husserl ini, kiranya Levinas menemukan sebuah wacana yang dapat dipakai untuk mengeritik pemikiran filosofis yang sangat dominan dari Descartes yang menempatkan kesadaran manusia sebagai pusat segala-galanya bahkan seperti menjadi penentu keberadaan segala sesuatu yang lain di dunia ini. Di hadapan hal itu, Husserl mengingatkan kita bahwa kesadaran manusia itu tidak pernah bersifat tertutup dalam dirinya sendiri, melainkan kesadaran itu selalu bersifat terbuka, bergerak ke arah keluar dari dirinya sendiri, dan hal itu berarti "kesadaran akan", "conscious of", sesuatu yang lain di luar sana, yang memang berada secara objektif.
Aku yang sadar selalu terarah kepada fenomena yang ada itu. Dan itulah yang disebut dengan ungkapan intensionalitas kesadaran manusia, bahwa kesadaran itu selalu terarah kepada yang lain, sadar akan, artinya kesadaran itu tidak pernah tertutup dalam dirinya sendiri, sebagaimana dibayangkan dalam rumusan cogito Cartesian itu. Kesadaran manusia selalu terarah keluar dari dirinya sendiri, karena ia selalu berarti "sadar akan." Kata "akan" inilah yang menyiratkan adanya keterarahan itu ke arah luar dari dirinya sendiri.
Menelusuri Pemikiran Filosofis Heidegger
Lalu ada Heidegger. Kiranya ada banyak hal yang menarik bagi Levinas dalam diri Heidegger ini. Salah satunya kiranya pandangan Heidegger yang tampaknya bercorak ateistik tentang manusia. Menurut Heidegger, manusia itu adalah Dasein. Kata Dasein itu sendiri adalah bentukan Heidegger yang terdiri atas dua akar kata, Da dan Sein, yang berarti, ada atau berada (Sein), dan Da (di sana). Da itu berarti berada di sana, yaitu di dalam dunia. Manusia adalah Dasein.
Tetapi mengapa dan bagaimana manusia sampai berada dalam dunia, Dasein itu? Heidegger menjelaskan tentang realitas Dasein itu bukannya dengan mengutip teori penciptaan, yaitu bahwa manusia berada dalam dunia karena ditempatkan oleh Tuhan di sana sesudah Tuhan menciptakan manusia, melainkan Heidegger memakai sebuah pemikiran filosofis yang lain sama sekali yang cenderung tidak mengandaikan paham teisme itu.
Dia mengatakan manusia menjadi Dasein karena manusia terlempar begitu saja ke dalam dunia. Kondisi keterlemparan itulah yang oleh Heidegger disebut dengan istilah Geworfenheit. Jadi, manusia berada di dunia, Dasein, Sein yang men-Da, karena manusia itu terlempar begitu saja ke dalam dunia, status Geworfenheit tadi. Levinas kiranya tidak dapat menerima dan membenarkan pemikiran filosofis-teologis seperti itu.
Menukik ke Dalam Diri Levinas Sendiri
Dan sekarang saya lebih masuk menukik ke dalam Catatan tentang Levinas. Tentang dia sebaiknya saya terlebih dahulu menyebut dua hal yang amat penting. Pertama, ialah Kitab Suci Perjanjian Lama (yang dalam buku dan presentasi Herwanto tadi disebut “Hebrew Bible”). Kedua, ialah drama tragedy dan tragis, Perang Dunia II.
Kita perlu ingat dan menyadari bahwa seluruh pemikiran filosofis Levinas itu mengalami masa-masa puncak kesuburannya dalam dan selama dan juga sesudah peristiwa ngeri Perang Dunia II itu sendiri. Dan dalam perang dunia II itu, nilai dan relasi intersubjektifitas manusia rusak parah separah-parahnya. Manusia mengalami perendahan, proses reifikasi yang teramat mengerikan. Untuk dapat memahami hal itu, saya menyinggung hubungan Levinas dengan Kitab Suci perjanjian lama.
Salah satu teks yang sangat mengilhami Levinas dari Perjanjian Lama ialah kisah tentang drama fratrisida itu, Kain membunuh Habel. Setelah Kain membunuh Habel, dikatakan bahwa Tuhan datang dan bertanya kepada Kain: “Kain, di mana adikmu?” Jawaban Kain ialah: “Apakah aku adalah penjaga adikku?”
Pemikiran Religius-Filosofis Levinas
Dalam ruang imajinasi religious Levinas, dibayangkan bahwa drama tragis kuno itu, saat ini, sedang terjadi lagi dalam Perang Dunia II di Eropa. Menurut Levinas, kehadiran dan terutama penampakan wajah orang lain di hadapan saya adalah sebuah peristiwa perwahyuan yang menuntut sebuah tanggung jawab etis dari saya untuk bertindak dan berbuat baik, menjadi penolong baginya. Kita atau aku ditantang untuk menjadi sesama baginya. Wajah yang tampak itu bukan lagi sekadar wajar biasa, melainkan menjadi medan perwahyuan yang menuntut saya untuk bertanggung-jawab dan berbuat baik.
Dalam arti itulah aku akan selalu menjadi tawanan, menjadi sandera yang selalu merasa bersalah di hadapan penampakan wajah tadi, yang memancarkan aura memohon cinta, belas-kasihan dan perhatian dari saya. Ia menuntut saya untuk berbuat baik. Semua kesadaran ini mengandaikan bahwa saya dan yang lain itu ada di bawah bayang-bayang jejak kehadiran dari sang Illety, sebuah kata bentukan Levinas dalam Bahasa Perancis, tetapi yang menurut saya merupakan jejak-jejak dari kesalehan Yahudi yang merasa tidak sanggup mengucapkan nama Tuhan dan karena itu memilih dua hal sebagai penggantinya, yaitu sikap tunduk, diam membisu, atau kalau terpaksa menyebutnya dengan bunyi suara, maka nama itu akan disebut dengan nama pengganti, Adonai, atau Illety tadi.
Kata Levinas lagi, Illety itu selalu hadir di latar belakang, sebagai latar belakang kesadaran etis bagi saya yang saat ini sedang berhadapan muka dengan wajah orang lain, wajah sesama, wajah yang menuntut saya untuk bertanggung-jawab, menuntut saya untuk selalu berbuat baik. Dan kewajiban itu selalu bersifat asymetris, artinya, hanya dari saya saja ada detakan panggilan untuk bertanggung-jawab dan berbuat baik itu. Saya sama sekali tidak punya hak untuk meminta atau menuntut bahwa pihak yang lain itu akan membalas perilaku etis saya itu pada suatu kesempatan lain. Tidak seperti itu kata Levinas.
Saya hanya wajib begitu saja di hadapan pewahyuan dan penampakan wajah yang menjadi peristiwa perwahyuan itu. Tentang pembalasan, itu bukan hak saya untuk menuntutnya. Bahkan tabu bagi saya untuk sekadar membayangkannya apalagi sampai mengharapkannya. Yang ada pada saya hanya sebuah kewajiban dan tuntutan etis untuk bertanggung jawab, untuk berbuat baik. Sang wajah yang hadir dan tampak itu seperti menuduh saya terus menerus dan saya pun dirundung rasa bersalah. Agar bisa bebas dari rasa itu, maka saya harus berbuat baik, menanggapi penampakan wajah itu secara etis. Hanya dengan cara itulah akan ada kedamaian dan ketenteraman.
Catatan Penutup
Sejujurnya catatan ini belum selesai, belum lengkap ataupun sempurna. Saya sungguh sadar akan hal itu. Oleh karena itu saya akan terus berusaha semaksimal mungkin merefleksikan hal ini dan berusaha menuliskan hasil refleksi itu dalam buku catatan buku harian pribadi. Memang pemikiran filosofis Levinas termasuk salah satu dari pemikiran yang tidak mudah untuk dipelajari dan juga untuk dibuatkan ringasannya. Tetapi apa yang sudah saya katakan di atas, semoga tetap berguna bagi para pembaca sekalian.
![]() |
Gambar Ilustrasi: Diambil dari Google Picture. |
Bandung, 21 November 2023.
Bapak Dr. Fransiskus Borgias, M.,
Komentar
Posting Komentar