IN MEMORIAM BAPAK IGNAS KLEDEN

Foto: Hasil Google Search. 


Sebuah Catatan Pengenalan 

Oleh: Fransiskus Borgias 


Pengantar Singkat 

Bagi saya nama Ignas Kleden bukan sebuah nama yang asing sama sekali. Saya sudah membaca nama itu sejak saya masih duduk di bangku SMP Seminari Pius XII Kisol Manggarai Timur. Saya membaca nama itu dalam beberapa majalah yang masuk ke ruang baca kami di Seminari. Ada majalah bulanan Rohani, ada juga majalah bulanan Basis. Dan ada juga majalah Vox. Kalau dua majalah terdahulu adalah terbitan dari Yogyakarta (asuhan para Romo Yesuit), maka yang terakhir itu adalah majalah asuhan para Frater dari Seminari Tinggi Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. 

Melalui majalah-majalah itu, tentu tidak hanya beliau saja yang saya lihat dan baca. Masih ada banyak nama-nama lain juga baik para imam maupun kaum awam. Khusus dari majalah Vox saya akhirnya bisa mengenal cukup banyak nama para penulis cerdas dan berbakat (berkharisma) yang muncul di sana. Selain nama Bapak Ignas ini, saya juga mengenal nama Hendri Daros, Guido Tisera, Michel de Fretes, Don Sermada, dan penerjemah (saya lupa namanya, semoga nanti bisa muncul) buku To Thi Anh yang diterbitkan oleh penerbit Gramedia, Jakarta. 


Seorang Penekun Teologi dan Spiritualitas Juga 

Secara khusus dari majalah Vox itu saya akhirnya mengenal Ignas Kleden sebagai seorang penulis dan pembelajar filsafat yang sangat tekun dengan daya eksplorasi hermeneutik yang luar biasa. Bangunan logis kalimat-kalimat dia juga bagi saya sangat memukau, tidak hanya pada waktu itu, bahkan sampai sekarang ini. Saya belajar sangat banyak dari dia, baik mengenai konten pemikiran filosofis, maupun terkait sekadar rumusan kalimat analitik dan argumentatif yang terbangun dengan sangat jelas, sehingga bangunan-bangunan kalimat itu bisa menampung hasil pemikiran yang sangat jelas dan terang benderang, clara et distincta. 

Dari majalah Rohani, saya juga mengenal dia sebagai seorang pembelajar dan penekun teologi yang mumpuni. Saya pernah mencoba mencari dan mengumpulkan tulisan-tulisan dia khusus yang dimuat dalam majalah Rohani. Tujuan saya ialah agar saya bisa menerbitkannya dan dengan cara itu saya bisa 
"menampilkan" sosok pemikiran Ignas Kleden sebagai seorang yang digembleng oleh Serikat Sabda Allah dan kiranya sebagai seorang Katolik sejati, kiranya hanyut juga di dalam pemikiran reflektif, meditatif tentang sang Firman yang menjelma menjadi daging itu, verbum caro factum est. Sayangnya, catatan saya tentang judul-judul tulisan rohani dalam majalah Rohani itu, belum saya temukan di dalam tumpukan catatan BH (Baca: Buku Harian) saya. 


Pengenalan Lebih Lanjut di STF Driyarkara 

Pengenalan lebih lanjut akan tokoh pemikir yang satu ini terus berlanjut setelah (melewati masa postulan dan novisiat) saya masuk dan menjadi Mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta pada awal tahun 80an. Sejauh saya ingat, lebih dari tiga kali saya mendengar ceramah dan seminar beliau di lingkungan STF Driyarkara. Sebagai mahasiswa muda yang belajar filsafat dan juga teologi, saya mengagumi sukses dan pencapaian beliau, yang pada saat itu baru saja menyelesaikan studi Masternya dalam bidang Sosiologi di Jerman. 

Saya tidak ingat apa-apa lagi sesuatu dari "perjumpaan" di Driyarkara itu, mungkin karena beliau tidak pernah menjadi dosen atau pengajar kami di sana. Tetapi pengenalan saya akan beliau semakin kuat dan mendalam karena membaca pelbagai tulisan ilmiah dia yang terbit di pelbagai media. Ada yang terbit di rubrik opini Kompas, ada yang terbit di opini Majalah Mingguan Tempo, dan tentu saja dalam Majalah Prisma, dan tentu saja Basis. Benar-benar luar biasa. Begitu juga halnya dengan tulisan-tulisan dia untuk "mengantar" buku tertentu, karena beliau misalnya bertugas sebagai editor. Secara samar-samar, rasanya ulasan dia tentang sastra juga muncul dalam majalah bulanan sastra Horizon. 


Perjumpaan di Fakultas Filsafat UNPAR 

Setelah saya bekerja sebagai pengajar filsafat dan terutama teologi pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung, saya juga ingat bahwa Fakultas kami pernah mengundang Bapak Ignas Kleden untuk menjadi narasumber atau pembicara dalam beberapa seminar nasional yang diadakan. Tentu saja tema yang ia angkat erat terkait dengan bidang kritik sastra dan kritik sosial politik. Saya tidak ingat lagi, entah dalam forum apa lagi saya masih bisa berinteraksi dengan beliau secara langsung, tentu saja selain interaksi lewat pembacaan akan pelbagai tulisan dia yang muncul di mana-mana, karena memang dia adalah seorang penulis dan pemikir yang sangat produktif. 

Di sini saya harus menyebut nama seorang adik saya, Adek Bona Beding. Kami sebenarnya sudah lama saling berkenalan, tetapi akhirnya kami baru bisa bertemu muka satu sama lain pada bulan Juli atau Agustus tahun 2009. Adek Bona ini adalah tokoh pegiat dunia perbukuan dan bahkan mengelola penerbit sendiri, Penerbit Lamalera yang sudah menerbitkan banyak buku penting dan bermutu. Pada tahun 2009 itu, saya pernah mengirim naskah buku, kumpulan karangan pastor Yan Sunyata OSC, yang saya kumpulkan dan terbit pada Penerbit Lamalera, dengan judul Terobosan Baru Cara Berteologi. Sejak perkenalan dan interaksi itu, saya dan Ade Bona ini sering sekali berkontak secara intensif dan membahas macam-macam hal terkait dunia pemikiran filsafat dan teologi, sastra, dan dunia perbukuan, dunia penerbitan. 

Dalam konteks itulah saya akhirnya tahu bahwa Ade Bona ini, karena hubungan keluarga, mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Bapak Ignas Kleden. Dari Ade Bona inilah saya sering sekali mendapat kiriman percikan tulisan analitik beliau. Ada yang muncul sebagai pengantar buku di bidang Sosiologi yang diterbitkan oleh LIPI. Bahkan chapter pengantar itu pun sudah panjang sekali, sehingga bisa menjadi buku tersendiri. Luar biasa. Singkat cerita, pengenalan saya akan pemikiran-pemikiran Ignas Kleden semakin diperdalam dan diperluas berkat bantuan Adek yang satu ini. Luar biasa. 


Mendengarkan Ignas Kleden 

Sejak Covid 19 awal tahun 2020 kemarin, tidak terasa sudah empat tahun yang lalu, beberapa kali saya diajak Adek Bona untuk mendengarkan ceramah Ignas Kleden. Karena itu saya memberi judul untuk bagian ini dengan judul "Mendengarkan Ignas Kleden." Pada saat itu Ignas Kleden berceramah di suatu tempat di Jakarta. Saya mengikutinya melalui zoom yang dibagikan Adekku Bona. Dari ceramah itu saya mencatat beberapa hal penting, dan itulah yang akan saya bagikan di sini kepada para pembaca sekalian. 

Sejauh yang saya ingat dan catat pada saat itu, Ignas Kleden membeberkan hasil pengamatan dan analisisnya tentang apa yang akhirnya saya sebut "keajaiban kultural" dalam relasi Jerman Timur dan Barat. Mengapa disebut begitu? Semoga nanti menjadi jelas di dalam proses pencatatan dan ingatan saya ini. Begini: Ignas Kleden mengamati bahwa ada sebuah keajaiban dalam relasi antara Jerman Timur dan Jerman Barat. Kita tahu bahwa setelah tragedi Perang Dunia II, mereka berdua (Jerman Timur dan Barat) berpisah, terpisah selama sekira empat-puluh tahunan. Hal itu terjadi sebagai akibat dari kekalahan Jerman dari Sekutu. Jerman dibagi dua: Jerman Timur di bawah Russia, dan Jerman Barat di bawah kontrol Sekutu, khususnya dalam hal ini Amerika Serikat, rival utama Russia (USSR) pada waktu itu. 

Dalam kondisi "okupasi" itu bahkan Russia pun sangat berambisi untuk menjadikan Jerman Timur itu sebagai daerah yang berkultur Russia. Hal itu menjadi program besar Russia yang juga diupayakan dengan sangat serius. Tetapi, kata Ignas Kleden, ambisi teritorial-kultural-politis Russia itu gagal. Russia tidak bisa mewujudkan impiannya, menjadikan Jerman Timur itu menjadi wilayah dengan kultur Russia. Jadi, proyek ambisius politik dan kultural, mengalami kegagalan total. Tetapi, pertanyaannya mengapa gagal? 


Daya Kohesi Dari Warisan Kultural-Intelektual 

Nah, kata Ignas Kleden, kegagalan itu terjadi karena kedua Jerman itu tetap mempunyai warisan kultural dan intelektual yang kurang lebih sama. Mereka boleh berbeda secara ideologi-politik dan juga kemajuan di bidang ekonomi dan inovasi di bidang teknologi dan industri (sebab Jerman Barat dalam hal ini lebih maju dan progresif), tetapi kata Ignas Kleden, mereka tetap sama secara kultural, dalam hal warisan intelektual dan kesenian. Kedua wilayah itu, yang berbeda secara politik dan ideologis, masih tetap membaca tradisi karya sastra yang sama (misalnya Goethe, dkk), dan juga membaca dan menggandrungi Filsafat yang sama (terutama Kant, dan para filsuf Aufklaerung). 

Upaya Russia untuk melakukan semacam "sovietisasi" (istilah yang saya dengar dari beliau juga dalam zoominar itu) atas Jerman Timur, mengalami kegagalan total. Alih-alih membaca sastra dan Filsafat Russia (yang sesungguhnya tidak kalah juga dalam hal mutu kedalaman dan jumlah), ternyata orang-orang Jerman Timur itu tetap saja membaca sastra dan filsafat Jerman. Kata IK, itulah yang  bisa menjelaskan mengapa, setelah berpisah selama empatpuluh tahun, mereka bisa dengan sangat mudah menyatu kembali, blended lagi, tanpa kesulitan yang sangat berarti. Dan pasca drama penyatuan kembali kedua Jerman itu, maka kata IK, tidak ada lagi bekas-bekas dan bau-bau Russia sedikit pun di bekas wilayah Jerman Timur. Semuanya otomatis kembali menjadi "Jerman" dalam artian yang sesungguhnya. 

Setelah mendengar paparan itu saya dalam hati berpikir bahwa bagi saya hal itu adalah sebuah mukjizat yang luar biasa. Saya katakan itu mukjizat atau keajaiban, karena terjadi hampir secara mulus. Dan hal seperti itu belum atau tidak terjadi di Korea misalnya. Padahal secara kultural, bahasa, Korea Utara dan Korea Selatan itu sama, tetapi sekarang ini, mereka tidak atau belum bisa bersatu karena orientasi ideologis yang berbeda, bertentangan. Perbedaan itu membekas sangat dalam di dalam ingatan historis kedua korea itu hingga saat ini. Drama tragis seperti itu tidak ada, tidak terjadi di Jerman. Puji Tuhan, kata IK, mukjizat penyatuan itu juga mulai terjadi di Vietnam, walau tidak semulus di Jerman. 


Siapa Itu Intelektual 

Rasanya di Jerman itu, kata IK, ada peranan warisan intelektual-kultural yang bisa menyatukan semua dengan erat secara blended. Maka pertanyaan "siapa itu intelektual" menjadi sangat penting dan mendesak untuk ditanyakan. Apa peranan yang bisa mereka mainkan? Untuk itu IK membeberkan tiga pertanyaan filosofis besar yang diajukan Immanuel Kant di dalam salah satu pemikiran filosofisnya. Pertama, apa yang dapat saya ketahui? Kedua, apa yang dapat saya lakukan? Ketiga, apa yang boleh kita harapkan. 

Pertanyaan pertama adalah pertanyaan epistemologis. Dan ini merupakan tugas dari para ilmuwan, yaitu untuk mengumpulkan pengetahuan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan etis, yaitu menyangkut apa yang dapat dan harus kita lakukan. Di sini dan terkait dengan ini ada sebuah kewajiban etis yang harus dilakukan, diingat agar orang tidak lalai. Tampaknya kata "lalai" itu seperti sepele saja, tetapi tidak demikian. "Lalai" itu adalah sebuah kegagalan di dalam menjalankan sebuah kewajiban etis, yang kita tahu harus dilakukan, tetapi tidak kita lakukan. Itu sebabnya "Lalai" juga masuk daftar dosa yang harus diakukan dalam Confiteor di awal perayaan Ekaristi itu. 

Pertanyaan ketiga, adalah pertanyaan eskatologis, yaitu pertanyaan yang mengarah ke masa yang akan datang, pertanyaan yang mengarahkan pandangan dan perhatian kita ke sebuah rentang di masa depan. Selanjutnya, kata IK, pada umumnya tugas dan peranan kaum intelektual ialah menerima pengetahuan itu dari para ilmuwan yang lalu dipergunakannya untuk tujuan dan kepentingan-kepentingannya. Ia melakukan hal ini terutama dalam rangka menjawab pertanyaan nomor dua di atas tadi. Dengan kata lain, intelektual berkomitmen pada pertanyaan etis itu. Bagi intelektual, ilmu itu bukan tujuan dalam dirinya sendiri (seperti halnya bagi ilmuwan), melainkan sebagai alat atau sarana, atau fasilitas untuk menuju satu tujuan tertentu yang mulia di masa depan. 


Catatan Penutup 

Saya ingat, pada saat itu, IK seperti membiarkan untaian refleksi itu berakhir terbuka atau bahkan terkesan menggantung. Tetapi secara pribadi saya mencoba mengakhirinya dengan sebuah refleksi terkait dengan indonesia dan keindonesiaan kita. Adakah faktor warisan kultural dan intelektual kita sebagai indonesia dan keindonesiaan yang bisa menyatukan kita, entah apa pun daya kekuatan eksternal (ideologi, agama) yang mau merusak, mengacak-acak kita? Bisakah kita menyatu kembali, seperti kiambang bertaut setelah biduk berlalu, seperti halnya kiambang Jerman bisa bersatu lagi, setelah biduk Russia dan sekutu berlalu? 

Terus terang saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Saya ingin sekali mencari jawaban atas pertanyaan itu kepada Bapak IK, tetapi sayangnya, sampai akhir, kesempatan itu belum datang juga, dan akhirnya ia pergi. Mungkin itu bahasa isyarat dari semesta, bahwa kita tidak perlu bergantung pada pemikir sekaliber IK sekalipun untuk sebuah eksperimen hidup berbangsa. Sebab kita sendirilah sekarng ini yang menjadi pelaku-pelakunya. 


Sekian dan terima kasih. 

Taman Kopo Indah II. 


NB: Masih ada satu bagian lagi dengan judul MEMBACA IGNAS KLEDEN. Tetapi saya belum menemukan catatannya dalam BH saya. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO