MENELISIK ROMA 13:1-7 SEBAGAI TEKS POLITIK

Adveniat regnum tuum (Koleksi Pribadi)



Sebuah Catatan Singkat 

Oleh: Fransiskus Borgias 


Pengantar 

Salah satu teks politik yang sangat terkenal di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru ialah Roma 13:1-7. Teks dari Paulus itu merupakan salah satu dari empat teks Perjanjian Baru yang biasanya dikategorikan sebagai teks-teks politik. Jadi, di dalam Perjanjian Baru kita dapat menemukan teks-teks politik, yaitu wacana-wacana tentang tata perpolitikan, Perjanjian Baru sama sekali tidak tabu untuk membicarakan dan membahas tentang pandangan politik. Mana saja keempat teks politik tersebut? 

Yang pertama ialah dari injil Markus 12:17 dan teks paralelnya (dalam injil-injil sinoptik) yang berbicara tentang distingsi yang jelas antara hal "memberi kepada Kaisar" dan "memberi kepada Allah." Yang kedua diambil dari Injl Yohanes 18:36 yang berbicara tentang ucapan Yesus bahwa kerajaan-Ku bukan dari dunia ini (Ini mengandaikan sikap yang berjarak, sikap menjarak). Yang ketiga ialah Roma 13:1-7 (yang antara lain berbicara tentang pandangan bahwa kekuasaan di dunia ini ditetapkan dan dikehendaki oleh Allah dan karena itu kita harus mentaatinya, tidak boleh membangkang terhadapnya). Dan yang keempat ialah 1Petrus 2:13 yang kurang lebih menganjurkan agar orang Kristen itu demi nama Tuhan menerima dan tunduk pada setiap otoritas dari lembaga manusiawi yang ada. Teks ketiga yang akan didalami secara khusus di sini. Terkait dengan itu teks yang keempat juga nanti akan dilihat dalam kaitan dengan teks ketiga. 

Tetapi apakah yang dimaksud dengan teks politik itu? Teks politik itu maksudnya ialah teks kitab suci yang dengan satu dan lain cara dan rumusan berbicara tentang sikap dan pandangan politik orang-orang Kristen yang ada dan hidup di tengah dunia, konkretnya di tengah suatu tatanan sosio-politik tertentu. Itu adalah teks-teks yang memberikan petunjuk sikap praktis bagi orang-orang Kristen bagaimana harus menyikapi tatanan sosio-politik dalam mana mereka hidup dan berada. 

Jika di sini saya berbicara tentang teks politik, maka itu adalah pertanda yang sangat jelas bahwa dalam pandangan saya wacana teologi, wacana iman, wacana agama sama sekali tidak alergis terhadap wacana politik dan bahkan aktifitas berpolitik itu sendiri. Justru aktifitas berpolitik itu adalah sebuah panggilan etis yang suci untuk menguduskan dunia dalam rangka mewujudkan salah satu idealisme permohonan doa Bapa Kami, datanglah kerajaanMu di atas bumi seperti di dalam surga, Thy will be done on earth as it is in heaven (adveniat regnum tuum, sicut in caelo et in terra)


Pandangan Paulus 

Kita menukik secara khusus dalam pembahasan tentang teks Paulus dalam surat kepada Jemaat di Roma tadi. Memang jelas sekali bahwa teks yang disinggung di sini berbicara tentang sikap dan pandangan Paulus yang kurang lebih meminta agar semua orang Kristen itu hendaknya atau bahkan harus tunduk ataupun taat kepada para penguasa pemerintahan yang tertinggi. Kiranya hal ini bisa dipahami karena memang Paulus sedang memberi nasihat kepada jemaat yang ada dan hidup di pusat kekuasaan politik masa itu, yakni kota Roma. 

Tetapi persoalannya ialah mengapa orang-orang Kristen (khususnya Jemaat di kota Roma) harus taat kepada kekuasaan negara? Tentu saja ini adalah sebuah pertanyaan politik. Dan yang menariknya ialah bahwa terhadap pertanyaan politik seperti ini, Paulus memberikan sebuah jawaban teologis. Dan inilah jawaban teologis Paulus: bahwa menurut dia, kita harus taat dan tunduk kepada pemerintahan karena penguasa tertinggi itu bisa ada (bisa tegak dan berkuasa) justru karena kehendak Allah. Jadi menurut Paulus, pemerintahan yang ada dibentuk dan dikehendaki oleh Allah sendiri (Rom 13:1). Ini tentu saja sebuah argumentasi, legitimasi, justifikasi teologis terhadap sebuah tatanan politis. 

Tampaknya jalan argumentasi itu sangat mulus menuju kepada satu simpulan tertentu dan masuk akal. Sebab di dalam bingkai teologi penciptaan kita menerima bahwa Allah itu adalah sumber dan asal segala kuasa. Oleh karena itu, jelaslah bahwa semua jenis kuasa yang ada di bawah kolong langit ini adalah bagian dari kuasa Ilahi itu. Lalu lebih jauh lagi bisa ditarik sebuah penalaran religious seperti ini. Sebagaimana kita tunduk dan taat kepada kuasa Allah, demikianlah juga hendaknya kita harus taat dan tunduk kepada kuasa negara sebab kuasa negara ini berasal dari dan karena itu merupakan bagian utuh dari kuasa Ilahi. 

Oleh karena itu, adalah tidak patut dan juga tidak pada tempatnya jika kita mempersoalkan tata dan kekuasaan seperti itu. Mengapa demikian? karena kuasa itu sudah mendapatkan pembenaran dan legitimasi teologisnya yang paling kuat di dalam kuasa Allah itu sendiri. Jika kita tidak usah mempersoalkannya, maka kita juga tidak perlu mengurusnya, menaruh peduli padanya, sebentuk sikap dan apatisme politis begitu. sebuah jalan yang menjarak, sikap berjarak, bahkan menjauh, semacam idealisme fuga mundi dari para rahib gurun, eremit, di masa silam. 

Kiranya itulah sebabnya bahwa teks Rom 13 ini sepanjang sejarah Kekristenan itu sendiri telah menjadi sebuah teks kunci yang dipakai sebagai sebuah bukti oleh orang-orang Kristiani yang memandang keterlibatan politis itu bukan sebagai urusan dari gereja (jelasnya: orang-orang Kristen yang adalah warga gereja). Dengan kata lain sikap tunduk kepada kuasa negara tampaknya memiliki sebuah landasan biblis dan teologis yang kokoh. Sedemikian kuatnya sehingga bahkan bisa melahirkan semacam gejala alergi politik, apatisme politik, menjauh dan berjarak dari politik. 


Gema Lanjutan 1Petrus 

Rupanya Paulus dengan pandangan dan sikap politik seperti itu tidak sendirian dalam konteks Perjanjian Baru. Sebab pandangan teologi politik seperti ini kemudian digemakan kembali dalam sebuah teks yang lain di dalam Perjanjian Baru yaitu dalam 1Pet 2:13-17 (yaitu teks yang keempat yang sudah disebutkan di atas tadi). Di dalam teks ini pun kita menemukan gema dari perintah Paulus agar orang-orang Kristiani tunduk dan taat kepada pemerintahan duniawi yang ada. 

Menurut salah seorang ahli Perjanjian Baru, Oscar Cullmann, teks 1Pet 2:13-17 ini merupakan eksegese yang pertama atas teks Rom 13:1-7 itu. Saya membayangkannya demikian: Pandangan Paulus di atas tadi akhirnya semakin dikenal orang karena diperkenalkan atau diwartakan oleh para pengikut Paulus. Ketika para murid Paulus mewartakan pandangan Paulus di dalam kegiatan katekese mereka, rupanya ada jemaat yang bertanya tentang apa persis yang dimaksudkan Paulus dengan nasihat atau anjuran politis seperti itu. Dan terhadap pertanyaan kritis seperti itu, para pengikut Paulus lalu memberikan semacam komentar atau tafsiran lebih lanjut atas pandangan Paulus tadi. Dan salah satu pengikut itu ialah orang yang menghasilkan teks 1Petrus. 

Jika pandangan Oscar Cullmann ini benar, maka di sini kita menemukan salah satu contoh yang sangat jelas bagaimana teks-teks kitab suci (khususnya Perjanjian Baru) yang muncul belakangan dalam bentangan panggung sejarah muncul sebagai hasil dari proses pembacaan dan penafsiran ulang atas teks-teks yang sudah muncul pada waktu-waktu sebelumnya. Jadi, benarlah prinsip hermeneutic berikut ini yang mengatakan bahwa reading and rereading is process of reproducing and reconstructing meaning (atawa: aktifitas membaca dan membaca kembali, membaca ulang adalah aktifitas mereproduksi dan merekonstruksi makna). 

Ketika salah satu murid Petrus atau mungkin juga murid Paulus, membaca ulang dan membaca lagi teks surat Rom 13:1-7 itu, maka ia mencoba menggemakan kembali makna dasar dari teks itu di dalam produksi literernya sendiri berupa 1Pet 2:13-17. 

 

Sebuah Catatan dan Penilaian Kritis 

Tetapi apakah kita harus menerima begitu saja jalan argumentasi seperti itu yang diterima sebagai benar begitu saja oleh orang-orang Kristiani yang boleh disebut berhaluan “non-politis” (atau bahkan anti-politis) itu? Menurut pembacaan saya, cara pembacaan dan simpulan seperti itu merupakan suatu penyederhanaan yang berlebih-lebihan terhadap teologi Paulus tentang kekuasaan. Setidaknya saya tidak dapat menerima begitu saja jalan pikiran seperti di atas tadi, yaitu bahwa karena kuasa negara itu berasal dari Allah (yang memang secara teologis-penciptaan benar adanya), tetapi hal itu tidak lalu berarti ia harus ditaati secara buta tanpa sikap kritis sama sekali. 

Menurut saya sikap kritis itu tetap amat perlu. Mengapa? Ya karena factor manusiawi di balik si pemangku kekuasaan politis itu. Bagaimanapun juga si pemangku kekuasaan politis itu adalah manusia. Ia bukan Tuhan walaupun ada sebuah pembenaran teologis bahwa dirinya adalah wakil Tuhan, tetapi tetaplah dia itu seorang manusia saja. Dan sebagai manusia, selalu ada kemungkinan bahwa ia bisa keliru, errare humanum est (to err is human), bisa salah, bisa menipu, omnis homo mendax, omnis homo peccator. Walaupun secara teologis khususnya visi teologi penciptaan, kuasa pemerintahan itu didirikan, dikehendaki oleh Allah, tetapi karena ada factor manusiawi di sana, maka selalu ada kemungkinan bahwa si manusia itu bisa tersesat, keliru. 

Dalam sebuah tatanan politik kekeliruan itu bisa berwujud dalam sikap reaksioner, tiranik, bengis, kejam, dan bahkan ada juga kemungkinan kuasa politis manusiawi itu bisa menjadi sebentuk pembangkangan terhadap kuasa Allah itu sendiri. Dengan kata lain, jika demikian adanya, atau jika terjadi yang demikian, maka kekuasaan seperti itu bisa terjerumus ke dalam jurang ateisme juga (yaitu menyangkal sang sumber kekuasaan itu sendiri sebagai dasar legitimasi dan justifikasinya). Jadi, karena ada kemungkinan seperti itu, maka pandangan teologi Paulus tentang kekuasaan, tidak boleh diterima secara utuh dan bulat dan mentah-mentah begitu saja tanpa sikap historis kritis dengan mempertimbangkan factor manusiawi dalam diri yang mengemban kekuasaan itu. Itu yang pertama.

Selain itu, yang kedua, tetapi masih erat terkait dengan yang pertama tadi, simpulan latah dari orang-orang Kristiani non-politis (anti-politis) tadi tidak mengajukan pertanyaan kritis sebagai berikut: apa yang harus dilakukan oleh orang-orang Kristiani manakala para pemangku kekuasaan politis duniawi itu salah, keliru, tersesat, dan melakukan penindasan dan berlaku tidak adil kepada rakyatnya di dalam kesesatan dan kekeliruannya itu? Pertanyaan ini sangat penting sebagai salah satu titik tolak untuk mengkritisi pandangan Paulus tadi. Apakah orang Kristiani harus berdiam diri saja, menerima begitu saja semua keburukan dari si penguasa politis duniawi itu? 


Memperhitungkan Konteks Nyata 

Selain itu masih ada alasan ketiga bagi kita untuk bersikap kritis terhadap pandangan Paulus di atas tadi. Surat Paulus kepada jemaat di Roma adalah surat yang ditulis oleh Paulus kepada Jemaat yang tidak didirikannya. Paulus sebagai seorang pewarta ala back-packer berkeliling, harus benar-benar bijak di dalam menulis surat. Jangan sampai surat yang ia tulis kepada jemaat di Ibu kota itu akan menjadi bumerang bagi jemaat tersebut. Jadi, kita bisa membaca surat Paulus ini sebagai sebuah sikap ketundukan politis terhadap kekuasaan yang ada, yang sangat perkasa, yang jika disikapi secara salah bisa saja akan mendatangkan akibat yang fatal, bukan saja bagi Paulus, melainkan juga terutama bagi umat yang ada di kota Roma itu. 

Menurut saya sikap ketundukan yang diajarkan dan dianjurkan Paulus di sini adalah sebuah strategi sementara, bukan sebuah kebajikan abadi. Artinya, jika dalam sebuah konteks penguasanya adalah orang Kristen misalnya, dan sang penguasa itu lalim, maka harus dikecam, dikritik habis-habisan. Sedangkan dalam konteks Paulus dulu, ia tidak bisa dan tidak boleh bersikap kritis atau mengajarkan sikap kritis seperti itu karena kawatir akan dampak politik yang akan ditimbulkan. Oleh karena itu, adalah lebih bijak untuk mengambil sikap kompromi. 

Nah, menurut saya di sinilah dan pada titik inilah kita harus membuat sebuah distingsi yang jelas dan tegas antara kuasa Allah dan kuasa manusia. Saya sependapat dengan pandangan teologis yang mengatakan bahwa sebagai orang Kristen kita harus tunduk dan taat kepada kuasa Allah sebab memang Allah itu baik, penuh kasih, dan mendatangkan penebusan dan pembebasan bagi manusia. Bahkan Allah adalah kasih, Deus caritas est (kata Yohanes). 

Tetapi sikap tunduk dan taat yang suci (sacra oebedientia) seperti itu kepada Allah tidak mutlak mengandaikan bahwa orang-orang Kristiani harus taat seperti itu juga kepada para penguasa yang lalim dan kejam. Kesalehan kita di dalam relasi teologis dengan Allah tidak akan dirusakkan dan dicemarkan oleh sikap kritis dalam bentuk penolakan dan pembangkangan terhadap kuasa manusiawi yang kejam, sangat tidak adil. Bahkan jika orang Kristen bersikap diam saja terhadap ketidak-adilan dan kekerasan yang ditimbulkan oleh penguasa politis duniawi ini, maka hal itu bisa merupakan penodaan terhadap iman teologisnya akan Allah yang mahabaik dan mahakasih. Apatisme itu sendiri juga bisa menjadi sebentuk kejatuhan atau keterjeratan di dalam perangkap ateisme juga. Ngeri bukan? 


Catatan Penutup 

Lalu kita harus bagaimana? Sebagai orang Kristiani, saya harus bagaimana? Membangkang jangan. Tetapi taat buta juga tidak boleh. Menurut saya, bagaimanapun yang benar ialah menganut sebuah pandangan teologis sebagai berikut ini: bahwa yang berdosa itu bukanlah pembangkangan dan penolakan terhadap penguasa yang lalim. Yang berdosa ialah para penguasa lalim itu sendiri, di mana pun mereka itu berada, sebab mereka telah menodai niat baik Allah yang telah memberi mereka kuasa, jika kuasa itu dipandang dan diyakini sebagai berasal dari sumber yang satu dan sama yaitu Allah itu sendiri juga. 

Oleh karena itu, segala bentuk dan perwujudan dari sikap pembangkangan sipil dan penolakan terhadap kuasa politis sebuah tatanan pemerintahan duniawi, bukanlah dosa (apalagi dosa teologis, dosa di dalam bingkai relasi vertikal kita), melainkan sebuah kewajiban moral etis, yang kalau diabaikan, dilalaikan, justru akan menjadi dosa teologis itu sendiri yang sangat besar, karena kita melanggar secara langsung kasih dan kebaikan Allah. Kuncinya, sikap taat baik adanya. Tetapi tidak boleh taat buta. Perlu juga sikap kritis dan profetis. Saat-saat menghadapi dan menjelang pemilu seperti inilah kita ditantang untuk masuk ke dalam hati nurani kita sendiri untuk menilai sikap dan pandangan teologis dan etis kita masing-masing sebagai orang Kristiani yaitu orang yang percaya dan mengikuti Kristus. 


Ke rumput yang segar (koleksi pribadi) 


Taman Kopo Indah II, Bandung. 

01 Januari 2024. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO