WAJAH TUHAN YESUS DALAM PERJUANGAN
SEBUAH CATATAN KECIL
Oleh: Fransiskus Borgias
PENGANTAR SINGKAT
Seperti biasa setiap tahun, pada Hari Jumat Agung, kita pasti akan selalu mendengarkan Kisah Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus menurut Yohanes (Passio Iesu Christi). Dalam PASSIO sore hari Jumat kemarin di Gereja Paroki kami di St.Martinus Bandung, ada sesuatu yang sangat penting dan relevan untuk saya catatkan di sini. Kita semua sudah tahu dan sudah sering mendengar Passio itu, karena kita rutin mendengarnya setiap tahun yang dibawakan dengan cara seperti itu oleh para narrator, ataupun karena kita rutin membacanya sebagai permenungan pribadi dalam hidup sehari-hari.
Tetapi entah kenapa, sore hari Jumat kemarin, saat saya fokus mendengarkan lantunan PASSIO IESU CHRISTI itu, tiba-tiba saya merasa sangat tertarik dan juga tersentuh dengan adegan detik-detik terakhir sebelum Yesus menyerahkan Roh-Nya di kayu salib dengan ucapan terkenal itu: Consumatum est, Selesailah sudah, Sudahlah selesai. Rasanya ada sesuatu yang menggelitik saya untuk saya renungkan lebih dalam dan harus saya tuliskan sebagai sebuah refleksi kritis dan etis. Itulah sebabnya saya menulisnya lagi di sini (setelah sebelumnya saya tulis catatan ini secara sangat spontan dalam sebuah dialog dan percakapan dalam sebuah WAG kami).
AKU HAUS: SEBUAH SERUAN ETIS
Sebagaimana yang sudah kita ketahui semuanya, sesaat sebelum menyerahkan roh-Nya, begitu istilah penginjil Yohanes untuk melukiskan drama kematian Yesus, Ia berseru dari atas salib itu: "Aku Haus." Dan ini adalah salah satu dari ketujuh kata-kata terakhir Yesus dari atas salib. Entah kenapa, ketika si pelantun (Narrator) PASSIO itu mengucapkan kalimat itu "AKU HAUS" tiba-tiba saya teringat lagi akan sebuah tulisan saya pada tahun 2006an di majalah tribulanan Lembaga Biblika Indonesia, "Wacana Biblika". Judul tulisan itu ialah "AKU HAUS: AIR SEBAGAI SEBUAH PERSOALAN TEOLOGIS."
Tetapi dalam tulisan ini saya tidak bermaksud menulis ulang artikel itu. Bahkan saya juga tidak bermaksud mengolah kembali tulisan itu dalam sebuah rumusan baru, dalam sebuah parafrase baru, setelah sekian tahun berjarak dari padanya, sebab dalam tradisi hermeneutik, jarak (distansi) itu merupakan ruang untuk muncul atau terciptanya sebuah makna dan proses pemaknaan baru. Tentu saja hal itu ada terjadi dengan diri saya dalam kaitan dengan artikel tadi. Tetapi kali ini saya tidak sedang mengakrabi ruang yang tercipta karena proses distansiasi itu (menurut istilah Paul Ricoeur itu). Saya mau menulis sesuatu yang lain sama sekali.
Secara kebetulan sebelum kami berangkat ke Gereja Siang Hari Jumat Kemarin, saya mendapat kiriman sebuah gambar yang sangat indah dan menarik dari seorang teman. Para pembaca sekalian bisa melihatnya dalam ilustrasi awal tulisan ini. Gambar itu adalah lukisan Wajah Tuhan Yesus yang menderita. Sebuah lukisan yang sangat indah dan luar biasa mengagumkan. Ya memang demikian adanya. Mengagumkan karena, seperti kata catch-words-nya itu, ketika kita menyorotinya secara lebih dekat, ternyata lukisan itu tidak lain terdiri atas kumpulan orang-orang yang sedang berjuang (the struggling people, bahkan seperti the struggling humanity), entah berjuang untuk apa dan mengapa?
Tetapi karena di kepala gambar itu ada mahkota duri, yang kalau disoroti dari dekat, ternyata seperti kayu-kayu besar, seperti akar-akar pohon raksasa yang melingkari bumi dan di atasnya ada hutan, yang memang hijau, tetapi sudah mulai menipis. Serta-merta saya teringat akan penggundulan hutan, akan drama tragedi deforestasi dahsyat yang menimpa negeri kita sudah beberapa dekade belakangan ini. Dari fakta itulah mengalir imajinasi saya untuk memikirkan kembali tentang air sebagai sebuah persoalan etis dan pada akhirnya juga sebagai sebuah persoalan teologis. Mengapa begitu?
HUTAN MEMANEN HUJAN BAGI KITA
Hal itu tidak lain karena dua fakta cara penjelasan atau cara berpikir etis dan teologis berikut ini. Pertama, tatkala hutan sudah mulai gundul (karena dibabat habis oleh ulah manusia), maka cepat atau lambat stok air di dalam tanah akan semakin menipis dan berkurang, karena sudah tidak ada lagi hutan yang selama sekian juta tahun telah mencoba MEMANEN dan MENYIMPAN PANENAN AIR HUJAN ITU di dalam lumbung-lumbung perut dan rahim bumi. Lalu sekarang, ketika hutan-hutan itu dibabat habis, maka sebuah bencana ekologis sedang mengancam kita. Sebagaimana yang belakangan ini disoroti oleh netizen terkait kondisi Bandung utara yang sudah mulai memutih karena penggundulan (deforestasi ngeri) besar-besaran, sehingga orang meramalkan Bandung akan segera dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi akan mengalami erosi, banjir bandang karena tidak ada lagi cagar-cagar alam penahan air hujan itu. Itu baru satu titik yaitu di Bandung utara.
Jika kita memperluas jangkauan teropong kita, maka kita akan melihat betapa hutan-hutan di Kalimantan itu sudah banyak gundul dan rusak, begitu juga hutan di Sumatera, di Maluku, di Papua, di Sulawesi, dst...dst. Belum lagi pulau-pulau yang kecil-kecil yang tidak atau belum berpenghuni (yang karena itu telah menyimpan dan melestarikan hutan purba dari masa silam yang teramat jauh). Jika kita percaya bahwa Hutan itu adalah paru-paru dunia maka paru-paru rumah kita itu sedang kropos sangat parah dan mengerikan. Jika kita percaya bahwa Hutan itu adalah PEMANEN dan PENYIMPAN PANENAN HUJAN selama Jutaan tahun, maka tatkala hutan itu dibabat habis, maka tinggal sesaat lagi kita akan mengalami krisis air tanah yang mengerikan.
Kembali lagi ke Bandung, yang jika kita melihat dari ketinggian di utara Bandung, akan tampak seperti sebuah danau purba yang mengering, tetapi di dalam tanahnya tersimpan banyak air sejak jauh-jauh dari masa purba, sehingga bahkan ada daerah yang disebut Cimahi yang konon artinya ialah "air yang mengucur, memancur limpah dan deras..." Kiranya toponimi itu, nama tempat, diberikan oleh para leluhur di masa silam berdasarkan pengamatan atas apa yang ada dalam alam, apa yang diberikan secara sangat kasat mata oleh alam kepada manusia. Manusia tentu saja harus bersyukur atas karunia alam itu.
Tetapi entah sampai kapan keadaan itu awet dan lestari. Entah sampai kapan keadaan ci-mahi, air yang memancar dengan melimpah itu akan lestari. Jangan-jangan hanya akan tinggal nama saja, Cimahi, sedangkan realitasnya, air itu sudah menipis, berkurang, dan bahkan mengering. Saya pernah mendengar cerita bahwa di tengah kota Bandung dulu bahkan ada danau, yang pada jaman kolonial dulu, masih didayungi perahu, sebagai tempat rekreasinya orang-orang Belanda. Sekarang sudah tidak berbekas lagi. Sungguh menyedihkan. Sangat memilukan.
![]() |
Gambar: Dari Google Search, Lumut, penjasa mulia. |
AIR, KOMODITAS REBUTAN
Jika hal itu terjadi, yaitu Cimahi tidak lagi menjadi Ci-mahi, melainkan hanya tinggal nama sebagai warisan rekaman bahasa dari masa silam belaka, maka di sana akan muncul persoalan sosial, yaitu orang akan mulai merebut air karena ketersediaannya makin langka. Bahkan peperangan akan muncul karena persoalan air. Orang tidak lagi berperang karena bahan bakar (minyak, bahan bakar berbasis fosil), melainkan orang berperang karena masalah air. Hal itu sudah tergambar dalam gambar di atas tadi, orang sedang berebut, sedang berjuang, sedang bertarung. Di tengah hal itu, pasti akan ada yang tersingkir, tidak bisa lagi mendapatkan air yang bersih, sehat, untuk diminum.
Jika hal itu terjadi, maka suara dari atas salib itu, AKU HAUS, akan semakin lantang dan santer terdengar di sekitar kita. Jika dalam Upacara Jumat Agung kemarin, hanya Yesus seorang diri yang menyerukan kepedihan itu karena tiada air, maka sekarang ini pekik itu akan diucapkan oleh semakin banyak orang dan mungkin juga oleh semua orang. Karena krisis air, sebagaimana halnya krisis energi dulu, akan menjadi masalah yang menyangkut hidup dan matinya semua orang. Dan jika itu terjadi, maka kelangkaan air, yang tadinya sekadar menjadi persoalan sosial, sekarang berubah menjadi, PERSOALAN ETIS, persoalan yang menyangkut relasi antar manusia.
Mungkin para pembaca sulit membayangkan hal itu. Tetapi marilah kita bayangkan dengan cara seperti berikut ini. Sudah sedemikian banyaknya perusahaan air minum kemasan sekarang ini, yang mulai memonopoli hutan-hutan di gunung-gunung dan bahkan memasang pipa-pipa pengeboran mereka di rahim gunung itu sendiri. Pada bulan September 2017, saya bersama isteri dan teman-temannya, mendaki gunung Papandayan di Garut. Di beberapa tempat saya melihat banyak sekali pipa-pipa, ada yang berukuran besar dan berukuran kecil, dari atas lereng gunung itu ke arah lembah. Saya bertanya kepada beberapa orang lokal yang kebetulan lewat di sana, lalu mereka mengatakan bahwa pipa-pipa itu milik beberapa perusahaan air minum yang tidak ia ketahui namanya di bawah sana, di jalan raya, di Garut.
Dengan jujur ia juga mengatakan memang ada juga pipa-pipa itu yang merupakan milik penduduk setempat, tetapi air itu hanya untuk konsumsi sendiri, bukan untuk dijadikan komoditas komersial. Entah berapa banyak gunung di pulau Jawa ini yang dikepung dan bahkan mungkin "dimiliki" perusahaan-perusahaan air minum kemasan yang semakin banyak dan marak itu. Dan tidak main-main, mereka mengeksploitasi sumber-sumber alami itu untuk kepentingan ekonomis mereka sendiri dan lupa bahwa tanah, bumi, air, dan segala isinya adalah milik negara yang harus dikelola untuk kepentingan rakyat banyak.
ILUSTRASI SKALA KECIL DARI RUTENG
Fenomena monopoli seperti itu terjadi juga di kotaku di Manggarai Raya sana, Ruteng. Dulu di tahun 80an akhir, Ruteng misalnya, belum ada perusahaan air botol minum kemasan. Sekarang sudah ada, namanya bahkan memonopoli nama kota itu sendiri "RUTENG". Jika pembaca suatu saat sempat pergi ke Ruteng (berwisata, karena Ruteng juga adalah kota wisata yang sangat menarik), maka pembaca akan menemukan air botol kemasan RUTENG itu. Jika dilihat secara sekilas, botol air kemasan Ruteng itu sangat mirip bentuk dan ukurannya dengan sebuah botol air kemasan lain yang sangat terkenal di seluruh Indonesia yang bahkan memonopoli kata bahasa Latin untuk air itu.
Pertanyaannya ialah, dari mana air itu didapat oleh perusahaan Ruteng itu? Tentu saja dari mata air di gunung. Sudah ada beberapa orang muda yang menaruh peduli terhadap hal itu memberi data bahwa mata air di gunung Ruteng sana, sudah ada yang mengering. Itu berarti stok air tanah berkurang. Lalu, ada dua sungai yang membelah Ruteng itu, Wae Ces dan Wae Locak, sekarang debit airnya sangat berkurang.
Jika dulu, anak-anak masih bisa berenang di kedua sungai itu, sekarang dikabarkan sudah tidak bisa lagi, karena debit airnya sudah sangat berkurang. Tentu ini adalah berita duka bagi manusia. Itu baru di Ruteng. Di tempat lain terjadi juga hal seperti itu. Monopolisasi sumber-sumber mata air dengan cara "menguasai" sumbernya. Jika itu dibiarkan, maka proses alami peresapan air ke dalam tanah pasti terganggu. Dalam jangka waktu yang panjang, orang-orang yang menggantungkan hidupnya pada debit air tanah akan mengalami kekurangan air. Pada saat itu, suara dari atas salib itu akan semakin lantang, AKU HAUS, menggema di mana-mana di setiap sudut jalan.
![]() |
Gambar: Dari Google Search. |
DRAMA TRAGEDI "AIR DIGANTI CUKA ASAM"
Sekarang saya mau melihat sisi lain dari kisah AKU HAUS itu. Yohanes melukiskan bahwa Yesus mengungkapkan RASA HAUSnya, maka orang-orang yang menyiksanya memberikan "air" yang bukan air, sebab itu hanya "anggur asam" atau "cuka asam", yang sama sekali tidak akan mendatangkan rasa puas dari dahaga, melainkan mendatangkan masalah baru.
Dalam imajinasi ekologis saya, tatkala kelak suara-suara AKU HAUS itu semakin lantang dan keras, maka orang-orang yang menyebabkan KEHAUSAN itu akan mencari cara untuk MEMUASKAN dahaga mereka. Jika dalam kasus Yesus, mereka memaksa memberi minum cuka asam, maka para pengerah masa kini yang memonopoli air tanah dan air gunung, mungkin akan menyediakan air comberan untuk dihidangkan kepada orang-orang yang karena haus seperti Yesus, berteriak minta tolong, AKU HAUS.
Sama seperti para serdadu itulah yang telah menyebabkan Yesus menderita sakit dan HAUS yang ngeri, demikian juga pada masa kini, para monopolis hutan hujan dan hutan gunung itulah yang akan menyebabkan banyak orang akan sakit dan menderita kelaparan dan kehausan. Ketika dulu para serdadu mendengar keluhan Yesus yang haus, mereka memberiNya cuka-asam, maka sekarang ini, para pemonopoli hutan hujan dan air-air gunung itu, yang dengan aksi monopolinya telah membuat hidup banyak orang menderita, mereka pasti akan menawarkan "air comberan" kepada orang-orang menderita itu, dan itu bisa saja saya, bisa saja anda, dan bisa saja kita2 semua.
Oh ya, ketika menulis ini saya teringat akan sebuah buku tafsir, tetapi saya lupa dari exeget mana. Pokoknya exeget itu bilang, bahwa cuka-asam yang dicucukkan ke mulut Yesus itu sebenarnya ada unsur pain-killer-nya. Dengan cara memberikan cuka-asam itu ke Yesus, mereka ingin agar Yesus bisa tahan sakit, dan mereka dapat lebih lama lagi "menonton" drama sadisme mereka.
Dari fakta itu, saya lalu meloncat ke masa depan, saat NASIB TRAGIS 'AKU HAUS' MASSAL itu terjadi di masa depan, yang menyebabkan banyak orang sakit dan menderita, maka para pemonopoli itu akan memberikan semacam air penenang, air penawar rasa sakit, agar para penderita itu tidak lagi berteriak. Dan jika diperlukan masih bisa menjadi tontonan sadis yang lebih lama lagi.
Untunglah, Yesus, tidak lama sesudah seruan AKU HAUS itu, ia MENCIUM AROMA CUKA-ASAM itu (walau terjemahan yang ada dalam PASSIO, dan TB1 kita memakai akta MEMINUM, saya lebih suka memakai kata mencium), Ia menolaknya dan drama selesai. Derita berlalu. Bagi para serdadu, permainan belum selesai, sebab mereka masih mengundi pakaian dan jubah Yesus yang hanya satu tenunan utuh, konon tenunan khas dari Galilea masa itu yang banyak dicari orang di seluruh dunia Romawi masa itu.
CATATAN PENUTUP
Tetapi ketika pekik AKU HAUS itu di masa depan menjadi MELUAS, maka pasti akan datang bencana kemanusiaan dahsyat, banyak orang akan mati. Tetapi berbeda dengan adegan di Golgota itu, di mana para serdadu masih bisa berpesta pora setelah Yesus wafat, maka para pemonopoli air hutan dan gunung masa kini dan masa depan, tidak akan bisa berpesta seperti itu, sebab kematian itu juga pasti akan menjadi kematian mereka sendiri, kematian kemanusiaan, bencana kemanusiaan.
Jika dipikirkan sampai ke sini, air tadi, yang bermula hanya menjadi masalah SOSIAL, lalu menjadi MASALAH ETIS, akhirnya juga menjadi masalah TEOLOGIS, sebab berurusan dengan nasib semua manusia yang diciptakan pada awal mula sebagai gambar dan rupa Allah. Tuhan, sang prototipos gambar itu, sang gambar asli, akan marah karena gambar dan rupa-Nya rusak. Entah seperti apa nanti wujud dari AMARAH itu. TUHAN AMPUNI DOSA-DOSA KAMI.
Dr. Fransiskus Borgias, M.A.
Refleksi Malam Jumat 29 Maret 2024, setelah selesai mengikuti perayaan ibadat Jumat Agung.
Komentar
Posting Komentar