BISIKAN PENGHARAPAN (WISHPERING HOPE) DAN PENGALAMAN PARADOKSAL

Foto: Koleksi pribadi. 

Sebuah Catatan Nostalgia

Oleh: Fransiskus Borgias


PENGANTAR SINGKAT

Pada pagi hari Minggu, 13 Oktober 2024, sebuah WAG yang saya ikuti mendapat kiriman sebuah lagu lama yang menurut saya sangat indah. Lagu itu dinyanyikan dengan sangat lembut oleh Jim Reeves dengan suara bass-nya yang sangat dalam, bergema, dan penuh kewibawaan. Saya sudah mendengar lagu itu sejak sangat lama sekali. Sejauh yang saya ingat, saya sudah mendengar lagu tersebut saat saya masih duduk di kelas satu ataupun dua SMP di Seminari Pius XII Kisol Manggarai (sekarang Manggarai Timur). Itu berarti sekira tahun 1975-1976, hampir empatpuluh tahun yang silam.
Pada saat itu, ada kebiasaan di seminari untuk mengadakan rekreasi bersama pada hari Minggu malam. Pada kesempatan rekreasi itu, siswa seminaris diperkenankan untuk mendengarkan lagu-lagu melalui tape recorder, mendengarkan lagu-lagu dari kaset-kaset. Biasanya teman yang diberi kepercayaan untuk menjadi operator tape tersebut memiliki beberapa koleksi lagu-lagu kesukaan, baik kesukaan dia sendiri maupun kesukaan beberapa kawan yang dekat dengannya. Nah pada kesempatan seperti itulah kami mendengarkan macam-macam lagu. Salah satu lagu yang diputarkan pada waktu itu adalah lagu dari Jim Reeves ini.
Selain itu ada juga sebuah kebiasaan lain yang hidup di kalangan para siswa seminari yaitu menulis atau menyalin teks-teks lagu yang disukainya dalam sebuah buku khusus, buku kumpulan lagu-lagu. Ada yang hanya berupa syair atau liriknya saja, dan ada pula yang dilengkapi dengan panduan not-not (entah itu satu suara, dua suara, tiga suara ataupun empat suara). Ada juga yang dilengkapi dengan catatan-catatan akhor pengiring, entah untuk gitar maupun untuk harmonium ataupun akordion. Saya sendiri mempunyai buku kumpulan lagu-lagu seperti itu yang ditulis dengan tangan. Tentu saja ditulis dengan tulisan indah.

BISIKAN PENGHARAPAN (WISHPERING HOPE)

Salah satu teks lagu yang saya tulis dalam buku saya ialah lagu Wishpering Hope (Bisikan Pengharapan) dari Jim Reeves ini. Bahkan pada waktu itu, sudah tersedia juga versi terjemahan teks lagu itu ke dalam Bahasa Indonesia. Pada waktu itu, boleh dikata bahwa kami para siswa seminari menghafal teks lagu itu, baik bait pertama maupun bait kedua. Jika cukup beruntung maka bisa dinyanyikan sambil diiringi dengan iringan gitar oleh teman-teman yang sudah mampu memainkan alat music tersebut. Sekali lagi, khususnya saya sendiri sangat hafal dengan kedua teks lagu tersebut (Bahasa Inggris maupun versi terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia).
Oleh karena itu, ketika pagi ini ada seorang teman yang mengirim lagu tersebut, saya pun mendengarkannya dengan penuh rasa kenangan, memori masa kecil, nostalgia. Rasanya seakan-akan beberapa ingatan masa kecil itu seperti melengket pada beberapa dinding dari syair lagu itu sehingga tatkala kita menyanyikannya lagi sekarang dan di sini, maka ada bagian dari ruang kalbu kita seperti sedang dibawa oleh pesawat jet zeppelin ke ruang-ruang masa silam, entahlah bagimana caranya, entahlah bagaimana terjadinya. Pokoknya, terjadilah demikian. Kita terseret ke masa silam dengan sangat kuatnya.
Tetapi saya agak terkejut Ketika menjelang bagian akhir dari bait pertama, teks lirik yang tertulis di dalam kiriman lagu tersebut berbeda dengan apa yang sudah saya hafal sejak dari masa kecil tadi. Saya akan menjelaskan lebih lanjut tentang hal itu, tetapi sebelum itu saya akan mencoba menjelaskan warna dasar dari lagu tersebut. Jika kita menilik syairnya, jelas sekali bahwa lagu itu adalah sebuah lagu Rohani, ataupun mungkin bisa juga disebut lagu religi, lagu yang menampakkan ciri-corak keagamaan (religi) tertentu, warna dasar spiritualitas tertentu. Pokoknya lagu itu bukanlah sebuah lagu pop biasa, apalagi pop cinta. Melainkan itu adalah sebuah lagu yang mencoba membangun kehidupan Rohani, kehidupan spiritual dengan memberikan sebuah pandangan teologis tertentu tentang sebuah rentang pengalaman hidup.
Untuk dapat memahami warna dasar tersebut, ada baiknya saya kutip dulu beberapa baris dari teks lagu tersebut dalam Bahasa Inggris: Soft as the voice of an angel, breathing a lesson unheard. Hope with a gentle persuasion, whispers a comforting word. Wait till the darkness is over, wait till the tempest is done, hope for the sunshine tomorrow, after the darkness is gone. (Teks terjemahan Bahasa Indonesianya pada masa itu ialah demikian terasa agak bebas: Merdulah suara malaekat, timbulkan pengharapan. Berharap dengan bujukan yang lembut, membisikkan kata penghiburan. Nantikan gelap lalu, angin ribut pun teduh, nantikanlah fajar pagi, bersinar dengan trangnya).
Lalu datanglah bagian refreinnya yang indah itu: Wishpering hope, oh how welcome Thy voice, making my heart, in its sorrow rejoice. (NB: Versi terjemahan Bahasa Indonesianya ialah demikian: Pengharapan, kucinta padamu, firman Tuhan, bri slamat padaku. Tentu saja terjemahan beberapa baris terakhir ini terlalu bebas dalam versi Bahasa Indonesia. Tetapi biarlah. Saya kutip seadanya saja. Tetapi catatan saya selanjutnya erat terkait dengan teks yang ada dalam Bahasa Inggris).

PENGALAMAN PARADOKSAL

Nah, potongan terakhir inilah yang ditulis (transliterasi) secara salah di dalam teks lagu tersebut di dalam rekaman wag tadi. Sebab ia menulis demikian: “Any sorrow rejoice.” Tentu saja ini tidak ada artinya sama sekali. Paling tidak, tidak ada maknanya secara rohani, secara kehidupan spiritual. Kesalahan inilah yang coba saya sharingkan kepada teman yang mengirim lagu tersebut ke WAG kami. Saya jelaskan bahwa teks yang saya ingat dari masa remaja dulu ialah teks sebagaimana yang sudah saya tampilkan di atas tadi. Sebab dalam pemahaman dan pandangan saya, dengan bertitik tolak dari sepotong bagian akhir tadi, lagu ini sebenarnya mau melukiskan sebuah pengalaman paradoksal manusia, khususnya manusia beriman.
Yang saya maksudkan dengan pengalaman paradoksal ialah pengalaman bahwa di dalam kungkungan ruang pengalaman dukacitanya (in its sorrow) hatiku bisa tetap bersukacita. Tidak selalu mudah menjelaskan realitas pengalaman paradoksal itu. Tetapi pengalaman semacam itu adalah pengalaman yang nyata dalam hidup manusia. Bukan sebuah khayalan belaka. Lalu pertanyaannya, bagaimana hal seperti itu bisa terjadi dan bisa dijelaskan? Hal itu terjadi, karena ada bisikan pengharapan (wishpering hope), yang mendorong hatiku untuk Bersiap menyambut kedatangannya, sebab peristiwa kedatangan itulah yang memungkinkan seluruh hidup dan keberadaannya, yang dalam hal ini diwakilkan secara pars pro toto dengan hatiku, bisa bangkit dan bersukacita. Luar biasa bukan.
Di dalam konteks pengalaman paradoksal ini, pengalaman dukacita (in its sorrow) tidak sampai melumpuhkan seluruh daya hidup sang manusia subjek pengalaman itu. Sudah barang tentu pengalaman negative, sebuah negativitas, bisa mendatangkan warna kelabu bahkan warna kelam di horizon-horizon dan cakrawala hidup manusia. Tetapi warna kelabu dan bahkan kelam tersebut tidak sampai mematikan percikan-percikan pengharapan yang ada dalam hati dan budi manusia. Manusia itu bisa memandang, menerobos, menerawang menembus melampaui batas-batas kabut tebal yang menyelimuti cakrawala hati manusia. Selalu ada harapan. Masih ada harapan. Itulah yang selalu diwacanakan oleh para filsuf dan teolog eksistensial pengharapan seperti Gabriel Marcel, Ladislaus Boros (yang dipengaruhi oleh filsuf Marxis yang bernama Ernst Bloch dengan ungkapan terkenalnya The Great Perhaps itu), Jurgen Moltmann, Metz, Rahner, dan mentor teologi bagi Rahner Eric Pyrzwara.
Dalam situasi kesuntukan, saat horizon hati dan budi manusia dilanda kabut sutra ungu yang membuatnya kelabu, hati dan budi itu tetap senantiasa bisa berharap bahwa akan ada rekan bicara yang bakal datang dari sebuah titik di Seberang sana. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya, menurut Paul Celan, di dalam bingkai relasi intersubjektifitas antar manusia, antara aku dan engkau, Ich und Du (ala Martin Buber itu), kita manusia diam-diam berharap akan ada sesosok “engkau yang peka dan memberi tanggap” di seberang sana, dari sini, yang ia sebut dalam bahasa Jerman ein ansprechbares Du, engkau yang di seberang sana yang berbicara dan menyapa aku yang di sini. Dan aku yang di sini pun, juga di dalam kesuntukan bersiap mendengarkan datangnya suara dari seberang sana itu.
Kiranya itulah sebabnya Rahner menyebut sang aku, manusia yang menanti di sini, dengan sebuah sebutan eksistensial, sang pendengar firman, hearer of the word, Hoerer des Wortes. Kita menjadi berstatus sang pendengar firman, hearer of the word, karena diam-diam kita mengharapkan ada dan datangnya sang ein ansprechbares Du ala Paul Celan tadi. Dan di sana, di antara Ich und Du itu ada getar-getar rindu penantian untuk datang saling mendekat dan saling menyapa di dalam keakraban yang membahagiakan dan sekaligus juga berdaya ubah.

KEBAJIKAN ADIKODRATI

Hal itu tidak usah mengherankan kita semua, karena harapan, hope, itu termasuk dalam salah satu dari tiga Kebajikan Ilahi, Kebajikan adikodrati manusia dalam kategori teologis santo Thomas Aquinas, yang tentu saja mendasarkan pengolahan teologisnya itu pada santo Paulus (1Kor 13:13) yang kurang lebih berkata, demikian tinggallah ketiga hal ini, iman, pengharapan, dan kasih. Dan yang paling besar di antaranya ialah kasih. Tetapi mengapa kasih itu yang paling besar? Itu tidak lain karena kasih itu akan terus berlaku di dalam kehidupan kekal. Tentu saja kasih itu tetap mutlak berlaku juga dalam kehidupan dunia yang sekarang dan di sini. Tetapi di dalam kehidupan kekal yang akan datang, yang diperlukan hanyalah kasih itu saja.
Pada saat itu, kita tidak perlu lagi iman dan pengharapan. Kedua hal ini, iman dan pengharapan atau harapan, hanya berlaku dalam kehidupan di dunia ini. Selama kita masih ada dan hidup di dunia ini, kita membutuhkan iman. Dengan iman itu kita percaya bahwa ada kasih Tuhan Allah yang telah menciptakan hidup kita, memelihara dan menyelenggarakan hidup kita. Atas dasar kepercayaan dan iman seperti itu, kita pun berharap atau bisa mengharapkan bahwa hidup kita akan senantiasa berada di bawah naungan kasih dan penyelenggaraan ilahi, providentia dei. Sebagai seorang yang beriman dan berpengharapan, kita yakin dan percaya bahwa deus providebit, Tuhan akan menyediakan, Tuhan akan menyelenggarakan. Ini bukan sikap pasrah menyerah. Juga bukan sikap eksperiman manusia modern. Bahkan ekspresi pengalaman iman itu sudah digaungkan oleh Bapa kaum Beriman, yaitu Bapa Abraham sendiri yang ketika ditanya Ishak dalam perjalanan ke gunung kurban, Moria, mana hewan kurbannya, Abraham hanya menjawab singkat: Tuhan akan menyediakan (bdk. Kej 22:7-8).
Di atas landasan iman dan pengharapan itulah kasih kita (cinta, love, caritas, charity) bisa hidup dan berkembang subur. Tetapi jangan sampai kita lupakan juga bahwa cinta pun menjadi dasar dari iman dan pengharapan itu. Tanpa adanya cinta, kita pun tidak bisa percaya dan tidak bisa berharap dan mendamba. Memang dinamika hubungan segitiga antara ketiganya adalah cukup rumit, tetapi saling mengandaikan. Cinta menimbulkan percaya (iman), lalu keduanya menumbuhkan pengharapan. Lalu pada gilirannya untaian itu tadi bermuara lagi pada cinta, yaitu cinta yang semakin mendalam dan disuburkan, dikuatkan mendapat dimensi dan kedalaman baru justru karena asupan-asupan energi dan vitamin dari iman dan harapan.
Demikian juga sebaliknya, karena cinta atau justru oleh cinta, maka kita pun bisa beriman dan berpengharapan dengan cara dan warna tertentu juga. Karena cinta maka iman kita menjadi lebih kuat dan lebih mendalam. Karena cinta, pengharapan kita tidak mudah goyah kendati ada rintangan, godaan dan pencobaan. Bahkan bisa terjadi bahwa hati manusia itu justru semakin diasah dan dikuatkan dalam dan melalui pengalaman paradoks itu: bersukacita kendati dukacita. Hal itu hanya mungkin terjadi dalam hati orang yang percaya, yang beriman, dan penuh cinta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO