PATER SIPRIANUS MASJON KENEDY SMM

gambar: dari google search. 


SEORANG MISIONARIS MONTFORTAN


Oleh: Fransiskus Borgias


Pengantar Singkat

Hari ini, tanggal 30 Januari 2025, sekira pukul 11.00, saya sedang duduk-duduk membaca buku dan membereskan beberapa urusan administrasi terkait laporan akhir semester. Tiba-tiba muncul sesosok wajah di pintu kantorku. Rasanya saya tidak begitu asing dengan wajahnya, khususnya dengan senyumnya. Tetapi saya agak pangling, karena dia tampak menjadi lebih putih tadi. Dan rambutnya juga tidak lagi lebat seperti sediakala. Bahkan sudah hampir sama dengan kepala saya, plontos. Saya selalu membedakan antara plontos dan botak. Plontos itu pilihan. Sedangkan botak itu adalah nasib. Karena plontos itu pilihan, maka bisa berubah, bisa diubah. Itu bedanya dengan botak yang adalah nasib. Tidak bisa diubah. Selain diterima dengan pasrah. Total. Hehehehehehe....
Untunglah saya bisa segera mengenalinya setelah beberapa saat lamanya. Terutama setelah dia tersenyum. Sangat khas. Masih seperti itu sejak masa-masa mahasiswa di FF-UNPAR dulu. Ya, saya mengenal giginya. Hahahaha. Dia adalah Pater Siprianus Masjon Kenedy, SMM, seorang biarawan, imam dan misionaris Montfortan yang kini sedang bekerja di tanah misi yang jauh. Begitu saya mengenalnya, kami lalu berpelukan beberapa saat lamanya, karena sudah sangat lama tidak pernah bertemu lagi. Lalu saya mempersilahkan dia duduk di kursi di kantorku. Dan kami pun mulai mengobrol tentang segala macam hal. Ah sebuah perjumpaan yang menyenangkan.

Misionaris Montfortan di Montreal

Satu hal yang segera saya tanyakan ialah tentang tempat dia bekerja sekarang. Ternyata sejak hampir tiga tahun belakangan ini, sejak 2023 yang lalu, ia sudah bekerja sebagai seorang imam misionaris di Montreal Kanada. Luar biasa. Ia mengaku bahwa itu sebuah tantangan yang berat. Pertama, pasti tantangan bahasa. Harus belajar bahasa Prancis dari titik nol (sebab di sana, orang harus memakai bahasa Prancis). Tetapi beliau mengaku, bahwa bukan itu yang terberat. Yang terberat ialah tantangan kultural. Terasa ada sebuah loncatan kultural yang luar biasa, yaitu dari Papua New Guinea lalu ke Kanada. Ada juga faktor cultural shock (gegar budaya) di sana.
Oh ya, sebelum saya menjelaskan lebih jauh tentang hal itu, ada baiknya saya informasikan dulu tentang pengalaman karya dia sebelumnya. Sebelum beliau berangka untuk bekerja di Kanada, ia bekerja hampir duapuluh tahun lamanya sebagai seorang imam misionaris di Papua New Guinea. Luar biasa. Ia bekerja di sana sejak tahun 2003 dan pindah ke Kanada pada tahun 2023. Ia sendiri ditahbiskan menjadi imam pada tahun 2000. Tidak lama sesudah tahbisan ia sempat bekerja sebagai imam di Kalimantan Barat. Barulah sesudah itu ia mendapat penugasan baru yaitu bekerja sebagai seorang imam misionaris di PNG.
Dari PNG itulah ia berangkat untuk berbakti di Kanada. Setelah pindah ke Kanada Pater Masjon, begitu ia biasa dipanggil, teman-temannya di Fakultas Filsafat UNPAR dahulu, sangat merasakan kultur sekuler-ateistik di Kanada. Semacam dunia post-Kristiani, atau pasca-kristiani, jika memakai istilah dari Romo Mangun itu. Salah satu cirinya, begitu hasil pengamatan sekilas beliau, orang (terutama generasi muda) mengalami semacam kebosanan, kejenuhan dengan gereja, dengan semua hal-hal yang "berbau" gereja. Bahkan orang juga cenderung menjadi anti gereja, anti kekristenan. Dan karena itu mereka mencoba melawannya atau setidaknya menjauhinya.
Hal itu mereka lakukan, misalnya dengan meminta untuk tidak lagi didaftar dalam daftar surat baptis gereja. Kalau sudah terlanjut terdaftar, ada yang ngotot meminta atas dihapus saja dari daftar keanggotaan dalam gereja atau paroki. Hal itu seperti dirasa sebagai sesuatu yang aib, yang harus dilupakan, ditinggalkan. Tidak usah dan tidak perlu diingat-ingat lagi. Atau ada cara lain yaitu memakai istilah-istilah gereja sebagai ganti dari kata-kata makian. Saya tidak perlu memberi contoh di sini. Yang jelas, itulah bentuk penolakan dan perlawanan mereka terhadap struktur yang kuat melembaga.

Melawan Gereja dan Kekristenan

Ketika orang tidak bisa melawan secara fisik, maka cukup melawan dengan melecehkan wacana. Yah, begitulah keadaannya. Kira-kira sama seperti "pelecehan" kata-kata konsekrasi oleh kaum antiklerikal di Prancis pada jaman pencerahan dulu. Kata-kata, yang dalam perayaan ekaristi, dipandang sangat suci, dan karena itu harus diucapkan dengan agung, dilecehkan oleh mereka. Pada saat itu bahasa Liturgi adalah bahasa Latin, yang tidak dipahami oleh semua orang. Maka kata-kata konsekrasi Latin yang diucapkan imam pun dipermainkan: Hoc est corpus Christi. Rumusan ini, diubah sedemikian rupa sehingga menjadi HOCUS-POCUS.
Dan rumusan HOCUS-POCUS adalah rumusan dalam permainan sulap, ya kalau di Indonesia kira-kira sama seperti istilah simsalabim-adacadabra, terjadilah perubahan atas sesuatu dalam kantong si pesulap. Begitu juga dengan HOCUS-POCUS. Si pesulap di panggung mengucapkan kata-kata mantera itu, HOCUS-POCUS, maka terjadilah perubahan atas sesuatu di atas altar. Kira-kira seperti itulah gambarannya. Kata-kata suci disekularisasi sedemikian rupa sampai menjadi semacam kata-kata mainan saja. Kurang lebih begitulah gambaran dari perubahan itu secara sekilas.


Fenomena Kekosongan Rohani

Kami sempat juga berbicara tentang fenomena kekosongan rohani. Yang dimaksudkan ialah fenomena yang biasa terjadi, manakala orang meninggalkan sebuah agama, maka di dalam hati orang tersebut akan muncul semacam kekosongan rohani, kehampaan spiritual. Suka atau tidak suka, agama adalah salah satu kebutuhan dasar manusia juga, bahkan mungkin kebutuhan kodrati. Jika agama itu ditinggalkan, diabaikan, maka di sana akan muncul fenomena kekosongan itu.

Jika kekosongan itu tidak disikapi maka apa pun bisa muncul di sana. Pelbagai penyimpangan terjadi. Atau mungkin agama-agama yang agresif dan gencar menawarkan kios-kios jajanan kesalamatannya (ini istilah yang saya dapatkan dari Pater Cletus Groenen dulu) bisa saja akan mengisi kekosongan itu. Yang agresif itu ada banyak. Saya tidak perlu menyebutnya di sini. Tetapi Pater Masjon berharap dalam hati kecilnya, bahwa kemungkinan terseret ke kios-kios agresor itu kiranya tipis. Bahkan fenomena gerak kembali ke dalam pangkuan gereja itu terasa semakin kuat.

Salah satu bukti petunjuk yang ia sebut ialah bahwa gereja para biarawan SMM yang memang khusus tetap mempertahankan dan menyuburkan devosi Marial, puji Tuhan, tidak pernah sepi pengunjung, di mana setiap hari ada tiga kali perayaan ekaristi. Hal yang paling terasa ialah bahwa kolekte mereka bahkan semakin naik. Hal itu mengherankan banyak orang, termasuk Uskupnya. Mendengar hal itu saya hanya menimpali bahwa kita tidak pernah boleh meninggalkan dan melupakan Bunda Maria. Bila kita melupakan Maria, maka segala macam keanehan akan terjadi. Termasuk fenomena pentahbisan imam atau uskup perempuan misalnya. Walau belum ada penelitian yang exact tentang hal itu, tetapi saya merasa memang ada kaitan yang erat antara disingkirkannya sang Bunda, dengan segala macam keanehan itu.

Kilas Balik

Kedatangan beliau yang sangat tiba-tiba dan tidak terduga itu kemudian membuat saya sedikit melakukan semacam aksi kilas balik. Dia adalah salah satu mahasiswa FF dari Serikat Montfortan dulu, ketika SMM masih ada di sini. Ia menamatkan studinya di sini pada tahun 1998. Sesudah itu masih meneruskan beberapa smester untuk kurikulum imamat. Dan ditahbiskan menjadi imam pada tahun 2000.
Saya tidak melupakan dia karena dua hal ini. Pertama, ketika ia akan menulis skripsi di FF ini, ia memilih saya untuk menjadi sang pembimbingnya. Dan saya senang sekali karena, saya tahu bahwa pekerjaan itu akan mudah bagi saya. Saya tahu bahwa bahasa Indonesia dia sudah bagus. Sebagai pembimbing saya tidak usah mengeluarkan banyak waktu dan tenaga untuk urusan bahasa Indonesia. Saya akan fokus saja pada konten dari skripsi itu. Dan memang terjadilah demikian adanya.
Dia memilih topik mengenai etika dan teologi lingkungan hidup. Setelah proses pergulatan selama hampir satu semester, akhirnya beliau mampu menyelesaikan penulisan skripsi itu dengan sangat baik. Dan juga bisa mempertahankan skripsinya itu dengan sangat baik. Hanya sayangnya, ia tidak mencoba menerbitkan skripsi itu menjadi buku. Padahal sebagai pembimbing saya berharap ia akan menerbitkannya. Tetapi tidak apa-apa.
Adapun judul skripsi dia adalah demikian: "Bumi Kita Rumah Kita". Beberapa Faktor Pemicu Krisis Ekologi. Judul seperti itu, sepertinya sudah mengantisipasi apa yang jauh di kemudian hari dikatakan oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si itu. Bumi, Rumah kita Bersama. Luar biasa. Seperti sudah saya katakan di atas tadi, ia menyelesaikan skripsinya tahun 1998, dan mempertahankannya juga pada tahun itu juga.
Hal kedua yang menyebabkan saya tidak melupakan dia ialah bahwa pada suatu kesempatan, ia pernah menyampaikan kepada saya bahwa kuliah-kuliah saya tentang para nabi di FF UNPAR ini, khususnya terkait dengan persoalan keadilan, sangat relevan dengan karya pastoral pelayanan dia di pedalaman (kalimantan dan juga Papua New Guinea). Hanya memang tidak dirinci, dalam hal apa saja topik perkuliahan itu menginspirasi dia.
Kalau saya boleh menduga, mungkin hal itu erat terkait dengan pelanggaran norma keadilan dengan dalih-dalih hal-hal suci. Para Nabi Perjanjian Lama, khususnya Amos, mengecam hal itu dengan sangat keras. Amos bahkan dilambangkan dengan singa yang mengaum dari Sion yang menggentarkan dan menakutkan. Apalagi jika pelanggaran keadilan itu ditimbulkan oleh para pejabat yang seharusnya menjadi manajer keadilan itu, tetapi justru menjadi pelanggar prinsip keadilan. Entahlah. Semoga tebakan saya itu benar adanya.

Penutup

Hari-hari ini ia sedang menunggu perpanjangan visanya untuk dapat kembali lagi ke Kanada. Ia baru saja sedang meng-apply-nya, dan berharap bisa keluar dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Saya hanya mengiringi beliau dengan doa.
Saya juga memberikan sebagai hadiah dan kenang-kenangan dua buku saya; pertama, buku tentang artikel pater yan sunyata osc, yang saya edit bersama pater agus rahmat widiayonto osc (almarhum). buku yang kedua yang saya berikan ialah buku saya sendiri, saat-saat terakhir hidup Yesus menurut injil Yohanes.
Saya berharap, beliau berkenan membaca kedua buku saya itu. Dan semoga bermanfaat bagi dia. Sekian dan terima kasih. Sayangnya kami tadi tidak sempat berfoto bersama. Sayang sekali. Semoga masih bisa bertemu lagi di lain tempat, dan di lain kesempatan.

@pengikut


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO