HIDUP DI DALAM KASIH
Oleh: Fransiskus Borgias
Pengantar Singkat
Hari
ini saya mau mengangkat sebuah tulisan singkat saya dalam catatan harian saya
yang biasanya secara berkelakar saya sebut BH. Itu adalah singkatan dari Buku
Harian. Tulisan singkat itu berasal dari tahun 2008, bulan Januari, tepatnya
tanggal 14 Januari 2008. Tulisan singkat itu mencoba mengendapkan sebuah
intisari kotbah yang saya dengar pada perayaan Ekaristi pada hari Minggu
kemarinnya. Saya menulis catatan ini dalam BH-ku pada hari Senin.
Memang pada Hari Minggu yang kemarinnya itu, saya mengikuti perayaa ekaristi di gereja paroki kami, yang dipimpin oleh Pastor Ferry Sutrisna Widjaja Pr. Terkait dengan perayaan itu, saya mau mencatat dua hal dalam tulisan ini. Pertama, catatan singkat terkait dengan Paduan Suara Lucretia. Itulah pertama kalinya Paduan Suara Lucretia tampil dalam tugas bernyanyi untuk memberi pelayanan dalam Liturgi gereja di Paroki kami sendiri. Paduan Suara Lucretia itu sendiri dibentuk pada akhir tahun 2007. Paduan suara itu dipimpin oleh Bapa F.X.Priyo Budisantoso. Dialah yang juga menjadi dirigen dan pelatih bagi Paduan Suara itu.
Berefleksi Tentang Kata “Berkenan”
Dalam kotbahnya Pastor Ferry
menguraikan arti kata “berkenan” yang dipakai dalam teks injil pada hari itu. Sebenarnya tidak mudah juga memberi arti untuk kata tersebut. Kata itu
sendiri dalam konteks Bahasa Indonesia, sebenarnya mengandung kesulitan
tersendiri juga menurut saya. Mengapa demikian? Karena jika dipikir-pikir,
apakah kata “berkenan” itu diturunkan dari kata asal tertentu? Misalnya, apakah
bisa dipikirkan bahwa kata berkenan itu berasal dari kata “Kenan”, lalu
mendapat awalan ber? Ternyata setelah saya cek kamus Bahasa Indonesia, memang
ada kata Kenan, dengan beberapa varian seperti berkenan, perkenanan. Saya hentikan
di sini penelusuran itu dari segi ilmu Bahasa dan urusan perkamusannya. Saya masuk
ke dalam ulasan teologis sebagaimana dibentangkan oleh Pastor Ferry di dalam
kotbahnya itu.
Teks injil itu sendiri berbicara tentang peristiwa pembaptisan Yesus di sungai Yordan. Sesudah pembaptisan itu, terjadilah sebuah peristiwa ajaib. Terdengar sebuah suara yang mengatakan bahwa si empunya suara itu berkenan kepada Dia yang dibaptis itu. Pastor Ferry kemudian, di dalam kotbahnya mencoba menguraikan apa persis arti kata berkenan itu. Sudah begitu sering kata itu terdengar dan mungkin juga dipakai. Tetapi mungkin amat jarang kita terdorong untuk memikirkan tentang maknanya yang pasti. Maka bagi saya kesempatan itu menjadi sangat istimewa karena bisa mendengar sebuah ulasan tentang sebuah kata, berkenan.
Tiga Level Pemaknaan dan Penghayatan
Bagi Pastor Ferry, kata “berkenan” itu bisa mempunyai tiga level makna
(pemaknaan) dan semuanya juga erat terkait dengan penghayatannya. Pada level
paling pertama, kiranya itu level paling permukaan, kata berkenan itu bisa berarti “disayangi” Allah. Jadi yang
menjadi subjek di sini adalah Allah. Allah berkenan kepada seseorang, dalam hal
ini kepada Yesus Kristus. Jadi, ketika Si Empunya suara itu mengatakan: “Kepadanya
Aku berkenan,” maka hal itu berarti bahwa Ia merasa sayang kepada Dia yang ke
atasNya kata-kata itu telah diucapkan. Jika dilihat secara demikian, maka kita
tidak bisa dan tidak boleh lagi menganggap hal ini sebagai “level permukaan”
dalam artian tingkat yang dangkal. Tidak. Level permukaan hanya dalam artian
menyangkut penghayatan personal akan pemaknaan kata itu sendiri.
Berikutnya mari kita lihat level kedua. Level kedua ini sudah menyangkut si subjek yang “dikenani” itu. Yaitu, berkenan bisa juga berarti bahwa si orang itu “merasa disayangi Allah”. Ini menyangkut perasaan disayangi. Tentu diharapkan bahwa perasaan itu berdampak pada hidup pribadi orang atau si subjek pengalaman itu sendiri. Maksudnya, jika si subjek pengalaman itu memang bisa merasakan bahwa dirinya disayangi oleh Allah, mudah-mudahan ia juga akhirnya bisa “hidup sebagai orang yang disayangi Allah.” Dan inilah level yang ketiga. Level penghayatan, level pemaknaan personal. Ini adalah level di mana pengetahuan dan pemahaman dan perasaan orang bermuara pada cara hidup. Inilah tahap di mana pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan perasaan mendatangkan efek transformative bagi hidup personal orang itu sendiri.
Teladan Hidup Yesus
Di
dalam pembacaan dan penafsiran Pastor Ferry, ketiga hal tadi, ada dan
sungguh-sungguh tampak dan terpenuhi dalam diri dan hidup Yesus.
Yesus tahu bahwa Ia
disayangi Allah. Yesus juga bisa merasa bahwa DiriNya memang disayangi Allah. Dan
akhirnya, Yesus juga sungguh-sungguh hidup sebagai orang yang disayangi Allah. Tentu
saja perasaan itu membawa daya pengaruh positif tertentu dalam diri orang yang
demikian itu.
Menurut Rm.Ferry itulah, artinya ketiga makna itulah, yang merupakan makna paling menddasar dari misteri Pembaptisan kita. Artinya dengan pembaptisan, kita diharapkan untuk membangun ketiga hal itu tadi di dalam hidup personal kita. Dengan pembaptisan kita berusaha menjadi orang yang disayangi Allah, menjadi orang yang merasa disayangi Allah, dan akhirnya menjadi orang yang sungguh berusaha untuk hidup sebagai orang yang disayangi Allah. Kedua hal yang terdahulu harus bermuara atau dimuarakan kepada yang ketiga itu. Makna terdalam dari kedua hal terdahulu hanya bisa tampak dan terasa dalam tahap yang ketiga tadi. Tanpa level yang ketiga itu, maka dua level pertama menjadi tidak begitu bermakna banyak lagi, untuk tidak sampai dikatakan sia-sia atau bahkan mungkin hanya omong kosong belaka.
Berbeda Tetapi Saling Berkaitan
Selanjutnya
Pastor Ferry juga mengatakan bahwa ketiga hal itu berbeda
satu sama lain walaupun
saling berkaitan erat juga sebagaimana sudah dikatakan di atas tadi. Sebagai orang beriman kita yakin dan percaya bahwa kita disayangi
Allah, karena bagi kita Allah itu adalah kasih. Jadi, yang pertama sudah jelas dengan sendirinya. Tetapi
apakah kita selalu bisa
merasa disayangi Allah 9tahap kedua)? Itu adalah suatu persoalan
lain. Mengapa demikian?
Biar saya jelaskan hal itu dengan sebuah ilustrasi. Seorang anak pasti yakin dan percaya bahwa ia disayangi orang tuanya (level pertama). Tetapi apakah setiap saat ia (anak itu) bisa merasa disayangi (level kedua)? Belum tentu. Sebab bisa saja ada saja orang tua yang tidak tahu cara mengungkapkan rasa kasih sayangnya itu kepada anak-anaknya dalam hidup sehari-hari. Hal itu berlaku juga dalam hubungan suami-isteri.
Catatan Penutup
Jadi, yakin disayangi dan merasa
disayangi itu ada pada dua level praksis hidup yang berbeda. Yang kedua adalah
perwujudan eksistensial lebih lanjut dari yang pertama. Yang ketiga, itulah
yang sulit: hidup sebagai orang yang disayangi Allah.
Dalam hal ini Yesus konsisten, juga sampai di kayu salib. Sebaliknya kita, tidak selalu dapat bersikap konsisten. Sebab untuk dapat sampai pada level yang ketiga ini dibutuhkan kematangan rohani tertentu. Yesus memiliki hal itu. Kita tidak atau masih belum memilikinya. Sebab ini adalah perkara konsistensi hidup moral dan iman. Dan itu membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Ia berjalan secara perlahan-lahan. Tingkat kematangan itu hanya bisa diperoleh lewat konsistensi penghayatan hidup yang teruji oleh waktu. Tentu saja dalam hal ini ada factor rahmat khusus yang ikut membantu orang di dalam perjalanan dan perkembangan hidupnya.
Bandung, 14 Januari 2008 (Diketik dan diperluas, di Yogya, 13 Juni
2012).
Di awal tulisan pikiran saya agak melayang karena ada "singkatan" kata yang identik dengan barang wanita. Namun setelah membaca hingga selesai, saya masuk ke tiga level penting yang harus dimiliki oleh umat beriman. Semoga level ketiga yang dikatakan sulit tidak menyurutkan perjuangan akan iman kepada Allah.
BalasHapusFrates Jon... terima kasih telah sudi mampir di sini dan menulis komentarnya... syukurlah jika tulisan ini berguna bagi proses belajar kita semua. Sebab saya juga menulis di sini merupakan bagian utuh dari proses belajar (pembelajaran) saya sendiri. Sebab pada dasarnya kita semua harus selalu BELAJAR DARI (LEARNING FROM). Kita bisa hidup karena dinamika BELAJAR DARI ini... terima kasih lagi... jangan terganggu dengan singkatan itu yah... hehehehe
HapusSaya kira ada level tertentu dari singkatan itu.
BalasHapusTernyata ini justru suatu bahan introspeksi untuk sy, kira-kira di level mana BAPTISAN yg saya terima telah sy jalani dalam hidup.
Krg Fil, terima kasih banyak sudah nimbrung dialog di sini... syukur jika tulisan sederhana ini membantu... spt saya juga dulu terbantu saat saya mendengarnya dari kotbah Pastor Ferry... tabik seribu...
Hapus