Kecemasan Baru
Catatan Pengantar
Hari Rabu, 06 April 2022 yang silam, saya memberikan kuliah Budaya Kematian kepada para mahasiswa tingkat sarjana pada fakultas Filsafat UNPAR Bandung. Pada saat itu, bahan yang saya angkat bagi para mahasiswa adalah bagian Introduksi Buku Steven Luper, The Philosophy of Death. Dalam buku itu Steven Luper menyinggung beberapa poin yang penting dan menarik.
Salah satunya ialah tentang fenomena kecemasan yang menimpa manusia ketika membayangkan detik-detik datangnya peristiwa maut itu. Kita manusia cemas karena maut itu datang seperti mau merampas sesuatu dari kita. Juga mencemaskan karena ia seperti tidak mau memberi kesempatan kedua kepada kita untuk dapat menikmati hidup ini lebih lama lagi ataupun sekali lagi. Seakan-akan tidak ada ayat ulangan atau refrein bagi hidup. Tidak ada edisi revisi. Tidak ada ulangan. Tidak ada remedial. Hanya satu kali saja. Dan selesai. Atau berlalu. Masuk ke dalam tahap yang lain. Tahap yang baru.
Tentang Fenomena Kecemasan
Nah, kecemasan seperti itulah yang antara lain misalnya terekam dalam beberapa syair lagu rakyat di Manggarai. Saya sendiri pernah mendengarnya beberapa kali pada beberapa kesempatan. Satu dua ingatan saya coba catatkan di sini. Pertama, saya pernah dengar sendiri dinyanyikan oleh ayah saya pada tahun 2011. Pada saat itu ayah saya sudah berusia antara 73-75 tahunan. Saat itu ia menyanyikan lagu yang kiranya dapat diterjemahkan demikian: Wahai matahari, sudilah engkau terbit kembali (terbit sekali lagi). Atau dalam versi bahasa Manggarainya ialah, "O Leso.... ooo aaa.... par koe koleh ga e..."
Matahari yang dimaksudkan di sini ialah hidup dan kehidupan manusia itu sendiri. Saat sudah memasuki usia tua, hal itu ibarat seperti senja hari, senja kehidupan. Dan di senja hidup orang berharap besok pagi akan terbit lagi matahari. Ya orang mengharapkan matahari terbit seperti biasanya, sebagaimana rutinitas alam semesta itu sendiri. Itulah harapan manusia. Mengharapkan irama alam tercermin atau memantul di dalam irama hidupnya sendiri.
Tidak Bertunas Lagi
Tetapi hidup manusia ternyata tidak begitu. Tidak bisa begitu juga. Sebab begitu ia mati (dalam metafora mentari tadi, berarti terbenam), maka tidak ada peristiwa terbit lagi seperti mentari yang akan terbit lagi di esok hari. Itu sebabnya ada bagian dari lagu rakyat tradisional itu yang mengatakan atau pupn mengangankan, seandainya hidup manusia itu seperti bulan, sudah mati, tetapi bisa terbit lagi, ataupun seperti pohon, sudah ditebang, tetapi ia bisa bertunas lagi. (Sebenarnya dalam arti tertentu, manusia juga "bertunas" yaitu "bertunas" dalam diri anak, tetapi anak itu adalah seorang pribadi yang baru, pribadi yang lain).
Kedua kalinya, teks lagu yang kurang lebih sama pernah saya dengar dalam sebuah acara di sebuah televisi swasta nasional. Acara televisi itu menggambarkan tentang orang-orang di Kampung Wae Rebo yang direkam sedang menyanyikan sebuah lagu sanda. Saya mendengar dan menonton acara itu karena diingatkan oleh adik ipar saya yang memang bekerja mengasuh acara tersebut di televisi swasta tadi. Bahkan ia sempat mengirim rekaman audio dari lagu sanda tersebut kepada saya untuk dimintai bantuan terjemahan teks lagu tersebut.
Rekaman Local Wisdom
Ketiga kalinya, yaitu akhir-akhir ini, hal itu sangat sering saya dengar dari seorang teman masa kecil, Robertus Sutardi Ebat. Dalam beberapa kesempatan dialog personal melalui WA maupun via telponan, beliau sering mengucapkan kalimat itu: wahai mentari, semoga engkau terbit lagi (O Leso, par koe koleh ga e). Dan memang itu adalah rekaman ingatan dari lagu-lagu rakyat tradisional Manggarai.
Rupanya orang Manggarai mempunyai kecemasan dan kegelisahan seperti itu yang sebenarnya membungkus sebuah harapan, sebuah dambaan akan keabadian dalam bentuk "pengulangan" (repetitio). Tetapi hal itu tidak mungkin. Sebagaimana sudah dikatakan di atas tadi, irama alam, tidak bisa diulang, tidak bisa dipantulkan dalam irama hidup personal manusia, betapa pun ia mendambakannya dan mengharapkannya.
Pengamatan Seorang Mahasiswa
Tetapi dalam kuliah yang saya singgung di awal tadi, seorang mahasiswa saya menanyakan suatu hal yang bagi saya amat menarik perhatian. Menurut dia, bagi para penganut agama-agama wahyu (agama samawi, agama yang datang dari langit), ketakutannya bukan lagi terutama akan peristiwa kematian itu sendiri, melainkan terutama akan nasib sesudahnya. Dengan kata lain, ketakutannya erat terkait dengan pertanyaan mendasar ini: apa yang terjadi sesudah kematian itu sendiri? Ada apa di seberang sana dari kematian?
Kita semua tahu bahwa agama-agama semitik (ada yang mengistilahkan agama-agama Abrahamaik) mengajarkan bahwa sesudah kematian ada surga dan neraka. Kegelisahan dan ketakutan yang besar ialah memikirkan dan membayangkan apakah sesudah gerbang kematian ini, aku ini akan masuk ke surga ataukah masuk ke neraka. Tidak ada jaminan kepastian hal itu di dalam keyakinan dia (begitu katanya).
Sebuah Tanggapan Teologis
Terhadap hal itu saya mencoba memberikan tanggapan demikian: bahwa di dalam keyakinan agama Kristiani, ada visi seperti berikut ini. Jika Allah adalah kasih, sebagaimana yang diajarkan oleh Yohanes kepada manusia, maka kasih itu sama sekali tidak memberi ruang bagi apa yang disebut neraka. Neraka adalah kebalikan dari aura kasih itu. Dan di dalam aura kasih itu tidak ada neraka. Jadi, dengan kata lain, semuanya akan masuk surga. Mengapa demikian? Karena Allah adalah kasih, Deus caritas est. Di dalam kasih-Nya yang maharahim, Allah mengampuni semua orang dan menerima semua orang.
Sebab pada dasarnya kasih itu menyelamatkan. Kasih itu tidak mematikan ataupun membinasakan. Melainkan kasih itu justru menghidupkan. Ketika menyampaikan jawaban ini, dalam hati kecil saya tentu saja ingat bahwa jawaban itu hanya berdasarkan apa yang ada dalam injil Yohanes saja. Sebab dalam Injil Matius dan Lukas, kita diberi sebuah gambaran yang lain, yang berbeda sama sekali. Singkatnya, dalam kedua injil itu, jelas bahwa ada semacam "pengadilan" di mana nasib orang ditentukan apakah masuk ke dalam kebahagiaan kekal atau tidak.
Dalam Injil Matius misalnya, ada yang ditentukan untuk masuk ke dalam kegelapan di mana di sana ada ratap tangis dan kertak gigi. Begitu juga dalam injil Lukas, khususnya dalam kisah mengenai Lazarus itu, ada pengadilan yang menentukan: Lazarus masuk ke surga, dan duduk dalam pangkuan kasih Bapa Abraham. Sementara si orang Kaya yang di dunia ini telah mengabaikannya, melalaikannya masuk dalam api neraka. Dan dari sana tidak ada jembatan penyeberangan. Ada jurang pemisah yang sangat besar.
Bandung, 15 Juli 2022
Catatan ini dibuat berdasarkan Catatan Harian tanggal 08 April 2022.
Fransiskus Borgias.
Komentar
Posting Komentar