AKU TELAH MELIHAT TERANG ITU DAN AKU INGIN PULANG MENGENANG Mgr. Dr. Hubertus Leteng, Pr.
Oleh: Fransiskus Borgias.
Sekelumit Awal
Perkenalan di Persemaian Itu
Pada pertengahan bulan Januari 1975 saya masuk ke Seminari
Kisol. Seorang anak kecil yang baru tamat SDK di sebuah kampung, di dusun
kecil, di Ketang. Saat itu saya masih ingat dengan baik, ya badanku kecil,
kurus kerempeng (rucuk atau rusuk bahkan longkong dalam Bahasa Manggarai), suka
batuk-batuk. Begitu melihat ada kawan-kawan kelas yang berbadan besar dan
tinggi, saya langsung merasa ciut dan sedikit minder. Apalagi kalau melihat
para senior, kakak-kakak kelas, yaitu kelas 2 dan 3 di SMP Seminari itu.
Secara khusus saya masih ingat dulu, ada dua kakak kelas
dari kelas 2 (di atas kami) yang saya takut melihatnya, karena badan mereka
besar dan juga tinggi, kekar, terkesan sangar dan angker juga. Sebenarnya ada juga beberapa siswa dari kelas 2 yang badannya besar-besar tetapi tidak begitu
tinggi. Dari kakak-kakak kelas 3 juga ada yang berbadan besar dan tinggi. Tetapi mereka terlalu "jauh" di atas kami anak kampung yang baru masuk "paradiso" lembah Kisol nan sunyi itu.
Dari kakak kelas 2 yang berbadan besar dan tinggi itu, saya
mau sebut secara khusus dua orang. Pertama, Hubertus Leteng (maaf saya sebut nama saja secara langsung, yang kemudian
menjadi Uskup Ruteng), dan Petrus Jelalu (Piet Jelalu). Dua orang ini berbadan
besar, kekar, tinggi, otot paha dan betis mereka besar dan kuat. Saya langsung
ciut dan minder (takut) melihat mereka. Pokoknya takut begitu saja.
Ternyata Mereka Ramah
dan Bersahabat
Tetapi setelah beberapa hari proses beradaptasi dan berinteraksi dalam hidup
bersama di asrama seminari itu, akhirnya saya mulai sadar bahwa kedua orang
itu, biarpun berbadan besar, tegap dan tinggi, ternyata mereka orangnya sangat
ramah dan lemah lembut. Kedua orang itu, yang sudah saya sebutkan namanya, adalah orang yang lembut
dan ramah, juga murah senyum, tetapi juga sangat serius pada waktu dan tempat
yang tepat.
Setelah mengenal mereka dari dekat, dan lewat pergaulan dan
interaksi sehari-hari di asrama seminari, lama-lama rasa takut dan minder itu
hilang. Walaupun tidak sempat menjadi sangat akrab, karena berbeda kelas, tetapi
sejak itu sampai saya duduk kelas 5 (dan mereka duduk di kelas 6), saya menimba banyak
hal dari para kakak kelas itu.
Itulah kesan-kesan awal perjumpaan saya dulu dengan Bapak
Uskup Hubertus Leteng, saat masih bersama-sama sebagai siswa SMP Seminari Pius
XII, Kisol, dan juga sebagai siswa SMA Seminari Pius XII, walaupun pada kelas yang berbeda. Mereka kakak kelas, dan kami adik
kelas, setahun di bawahnya.
Pengenalan Khusus
Akan Mgr. Hubertus Leteng
Selanjutnya secara khusus saya mau mencatat beberapa hal terkait
dengan pengenalan saya akan tokoh yang bernama Hubertus Leteng ini. Ada
beberapa hal yang saya ingat dulu dari masa-masa SMP dan SMA itu. Itulah yang
akan saya bentangkan dalam bagian berikut di bawah ini.
Pertama, sosok ini adalah seorang pekerja keras dan sangat
rajin dan tekun. Ia berbadan besar dan kuat. Kalau tidak salah saat saya di SMP
dulu, ia pernah menjadi Ketua SMP dan Ketua PU (Pekerjaan Umum) yang kerjanya
antara lain ialah menebas rumput. Menurut saya, tugas menebas rumput ini merupakan salah satu pekerjaan yang berat mengingat rumputnya waktu itu kalau
sudah kena panas mentari musim panas, menjadi sangat alot dan tidak mudah
dimakan sabit yang jarang-jarang diasah. Apalagi pada masa kami dulu beberapa tempat
masih ada yang mudah ditumbuhi onak duri (karot
ndang) dan tidak selalu mudah untuk mengatasinya. Tetapi semuanya harus
diurus. Mgr.Hubertus Leteng, di masa mudanya dulu saat SMP, mengurus dan
memegang tanggung jawab atas hal itu.
Kedua, Mgr.Hubertus Leteng, sejak SMP pun sudah
memperlihatkan ciri-ciri hidup yang ditandai dengan ketekunan berdoa, dan
kesalehan-kesalehan devosional yang sangat kuat. Itulah sebabnya, bahkan sejak
SMP pun rasanya ia juga sudah mendapat tugas untuk membacakan beberapa doa yang
harus dibacakan dari buku doa di Kapel. Ada doa yang diambil dari beberapa buku
lagu yang juga sudah dipadukan dengan doa-doa.
Tabernakel Berjalan
Bahkan ketekunan hidup doa itu sudah tampak dalam
gerak-gerik badan saat duduk, berlutut di Kapela, maupun saat berjalan di
gang-gang taman seminari sambil berdoa rosario. Itulah sebabnya, bahkan sejak
SMP pun teman-teman sudah memberi julukan khusus kepada beliau: Beliau dijuluki
sebagai “tabernakel berjalan.” Tabernakel adalah tempat suci, tempat menyimpan
sakramen mahakudus.
Nah, di dalam tubuh beliau pun rupanya teman-teman melihat
aura kesucian (kekudusan) seperti yang orang rasakan saat berada di hadapan
Tabernakel dengan lampu Allah yang sedang bernyala-nyala. Kiranya orang melihat
ada semacam paralelisme antara tabernakel sesungguhnya dan tabernakel tubuh, khususnya tabernakel tubuh Hubertus Leteng muda, sehingga ia pun diberi julukan yang secara rohani sebenarnya berat, Tabernakel berjalan, tetapi kami semua merasa bahwa itu tepat baginya.
Sesungguhnya julukan itu juga tidak seluruhnya salah. Dan tidak hanya berlaku untuk seorang Hubertus Leteng saja. Sebab sudah
seharusnya, setiap orang Kristen (termasuk Hubertus Leteng), karena rahmat dan martabat baptisannya, sudah
seharusnya menjadi Bait Roh Kudus, Bait Roh Allah. Dalam artian itu, maka
setiap orang Kristen adalah tabernakel bagi Roh Kristus juga, sebagaimana yang
pernah dikatakan oleh Santu Paulus dalam salah satu suratnya.
Pendoa Sejati dan
Tekun
Memang dia adalah seorang pendoa. Dan hal itu sudah tampak sejak
dari Seminari kecil dan menengah dulu, dan hingga saat ini. Saya sendiri tidak pernah meragukan hal itu, karena melihat hal itu sejak SMP dan SMA dulu di Kisol. Kesaksian beberapa teman di seminari tinggi Ritapiret juga masih tetap sama. Nah, terkait dengan ini
ada sedikit kesaksian seorang umat di Bandung. Umat ini berasal dari Manggarai
(Kempo) dan aktif di Paroki Katedral Bandung dan sekarang menetap di Kota Baru
Parahyangan (Paroki Cimahi). Saya kutip saja di bawah ini:
“Saya sedikit kesan dengan Mgr Hubert saat beliau masih
aktif sebagai uskup Ruteng. Saya ketemu beliau di acara PuKat se-Indonesia 2015
di Denpasar. Kita tukaran no hp. Tahun 2016 anak saya yang ke 2, Shawn, masuk
rumah sakit karena mengidap meningitis. Dalam kekalutan dan kesedihan di
samping keluarga saya berdoa, saya juga memohon dukungan doa dari Mgr Hubert.
Dia dengan rendah hati tekun mendoakan Shawn dalam intensi misa setiap hari dan
juga doa pribadinya bahkan mendoakan Shawn online dengan menempelkan hp ke
telinga Anak Shawn.
Setiap pagi setelah beliau misa. Selama 1 bulan. Setiap
malam dia selalu mengirimkan doa dan motivasi untuk keluarga dan sebelum tidur
malam dia mendoakan Shawn lagi. Sungguh luar biasa. Terlepas dari kontroversi
sebagai manusia lemah yang mungkin melekat dalam dirinya sebagai "orang yang
diurapi". Dan puji Tuhan Shawn sembuh dari sakitnya yang hampir merenggut
nyawanya. Dan sampai bulan April setelah Paskah ia masih sempat ucapkan selamat
paskah buat kami sekeluarga. Dan mendukung kami dalam doanya. Selamat jalan Mgr.
Hubert. Surga menantimu. Terimakasih
terimakasih dan terimakasih. Terus mendoakan kami dari surga.”
Logis, Koheren,
Argumentatif
Ada hal ketiga yang juga perlu saya catat secara khusus.
Sudah sejak SMP, Mgr.Hubertus ini adalah seorang pembaca dan pembelajar yang
tekun. Cara ia omong, untuk mengemukakan pandangan dan pendapatnya juga menjadi
model, setidaknya bagi saya. Cara berargumentasinya sangat jelas, runtut,
logis, dan koheren.
Pada beberapa kesempatan sebagai Ketua Umum SMP dan kemudian
SMA juga, saya masih ia mendapat kesempatan untuk memberi kata sambutan dalam
beberapa acara resmi seminari seperti Pesta keluarga. Bahkan untuk
sambutan-sambutan seperti itu, beliau menyiapkannya dengan sangat baik, dan
serba tertulis tangan, dan juga tidak lupa ada rujukan-rujukan atau
kutipan-kutipan ilmiah yang didapatnya dari hasil-hasil pembacaannya. Dalam hal
ini, memang Mgr.Huber, sudah sejak SMP tampak sebagai seorang penulis dan
pemikir di kemudian hari.
Kiranya itu sebabnya jika kelak di kemudian hari ia bisa
menghasilkan banyak tulisan, baik ilmiah maupun populer. Bahkan ada beberapa
buku rohani dan spiritualitas yang muncul dari tangannya. Beberapa judul buku
spiritualitasnya terbit di penerbit Obor KWI (Jakarta). Buku-buku itu telah
menginspirasi banyak orang, baik umat maupun terutama para mahasiswa yang
berada di bawah bimbingannya sewaktu ia masih sebagai dosen di Seminari Tinggi
Ritapiret.
Masuk Seminari Tinggi
Ritapiret
Beliau dan kawan-kawan kelasnya tamat dari Seminari Menengah
Kisol pada pertengahan tahun 1980. Kemudian kita semua tahu bahwa beliau
melamar untuk masuk ke Seminari Tinggi sebagai calon imam untuk Keuskupan
Ruteng. Sejak itulah kami tidak pernah bertemu lagi. Karena mereka melanjutkan
ke Seminari Tinggi di Ritapiret. Saya sendiri, tamat dari Kisol, setahun
kemudian yaitu pada tahun 1981. Dan saya memilih untuk masuk ke OFM, yang
pendidikan awalnya dimulai sebagai Postulan di Pagal, kemudian dilanjutkan
dengan Novisiat di Yogyakarta. Sejak tahun 1980 itu praktis kami tidak pernah
bertemu lagi.
Kami baru bisa bertemu lagi pada awal tahun 90an di Jakarta.
Saat itu saya sudah meninggalkan OFM dan mulai bekerja sebagai awam di Jakarta.
Tetapi saya tetap giat terlibat dalam pelbagai kegiatan gerejawi di Paroki
Kramat, paroki OFM. Nah, pada saat-saat itulah, saya mendengar kabar bahwa ada
dua imam muda dari Keuskupan Ruteng yang tinggal di Unio Projo di Kramat
VII. Ternyata kedua orang imam muda itu adalah Mgr.Hubertus Leteng dan Romo
Basilius Agut. Keduanya mendapat tugas belajar ke Roma. Dalam rangka
persiapan ke sana, mereka mempersiapkan diri, seperti belajar atau kursus
bahasa Italia, di Jakarta.
Tetapi entah kenapa, beberapa waktu kemudian, yang
melanjutkan terus ke Roma hanya Mgr.Hubertus. Sedangkan Romo Basilius Agut
tidak terus ke Roma, dan bahkan juga meninggalkan imamatnya. Pada saat mereka
tinggal di Wilayah paroki Kramat itulah, kami sempat beberapa kali bertemu
walaupun tidak sangat sering.
Menempuh Studi di
Kota Abadi, Roma
Saya tidak tahu persis kapan Mgr.Hubertus jadi berangkat ke
Roma. Tetapi yang jelas, ia tinggal di Roma dan menempuh studi di bidang
spiritualitas sampai tingkat Doktor (S3), dengan keahlian bidang spiritualitas.
Saya juga tidak ingat persis kapan beliau menyelesaikan studi doktoralnya di
Roma. Kiranya sebelum tahun 2000an dia sudah selesai dengan studinya dan
kembali ke Indonesia dan menjadi Dosen dan pembina di Seminari Tinggi di
Ritapiret, Maumere.
Detailnya saya tidak begitu ingat dan tahu lagi. Yang jelas,
setelah ia selesaikan studi doktoralnya, ia sering menulis artikel dan juga
menerbitkan buku, sebagaimana yang sudah saya singgung sebelumnya.
Sepertinya, tugas dia sebagai seorang dosen dan pembina para calon imam di
Ritapiret serba berjalan mulus. Hal itu saya mendapat kesan dari beberapa
kesaksian orang-orang yang pernah menjadi anak buahnya di sana. Artinya,
sebagai seorang dosen (aspek intelektual dari tugasnya) ia jalankan dengan
sangat baik. Juga sebagai seorang pembina (ahli spiritualitas, yaitu sisi lain
dari hidup dan spesialisasinya) ia juga jalankan dengan sangat baik.
Ia menjadi seorang pendamping, pembina, dan pendidik para
calon imam yang penuh ilham dan bisa menggerakkan daya kekuatan rohani dan
intelektual dalam para frater dan mahasiswa yang dibinanya. Hal itu dijalankan
oleh Uskup Huber sampai tahun 2010.
Menjadi Uskup Ruteng
Pada tahun 2008, Uskup Ruteng, Mgr.Eduardus Sangsun SVD,
meninggal dunia di Jakarta. Maka terjadilah tahta lowong (sede vacante) di Ruteng. Oleh karena itu, harus segera ada yang
menggantikannya. Saya tidak ingat persis lagi, sampai berapa lama harus
ditunggu untuk mendapatkan uskup baru pengganti uskup yang meninggal dunia. Rasanya
butuh waktu dua tahun bagi Keuskupan Ruteng untuk mendapatkan sang pengganti
uskup yang meninggal dunia.
Ya butuh waktu dua tahun. Sebuah penantian yang cukup
panjang juga. Pada tahun 2010, Keuskupan Ruteng mendapatkan seorang Uskup Baru,
sang pengganti uskup Edu (yang sudah meninggal). Dan sang pengganti Uskup Edu
adalah mantan murid binaan Uskup Edu sendiri di Kisol dulu.
Karena diangkat dan ditahbiskan menjadi uskup Ruteng, maka
dengan sendirinya Mgr.Hubertus harus meninggalkan tugasnya sebagai dosen dan
pembina (pendamping) para frater diosesan di Ritapiret. Sejak saat itu ia harus
tinggal di Ruteng, sebab di sanalah ia duduk di atas tahtanya (cathedra)
sebagai uskup. Dan hal itu hanya berlangsung sampai akhir tahun 2017, saat ia
mengundurkan diri setelah sebuah proses discernment yang panjang dan lama.
Tahun-tahun Sunyi di
Gurun
Pasca "pengunduran" diri secara
"sukarela" sebagai uskup Ruteng, lewat sebuah proses discernment yang
panjang bersama Uskup Anton (dari Bandung), akhirnya Mgr.Huber mundur pada
akhir tahun 2017. Uskup Anton diminta (rasanya oleh KWI dan Vatikan via sang
Dutanya) untuk menemani atau mendampingi beliau. Maka beliau pun hijrah
(exodus) dari Ruteng (seperti exodus Musa ke Horeb) ke Bandung. Dan waktu itu
saya juga dengar bahwa beliau harus menjalani tahun "ret-ret" agung
sebagai bagian dari discernment itu.
Mgr.Huber kemudian "secara rahasia" berdiam di
sebuah komunitas kecil dalam kota Bandung. Tetapi saya mendapat bocoran tentang
hal itu dari sekretaris uskup Bandung (yang sudah almarhum juga beberapa bulan
lalu, Romo Edy Putranto, OSC). Bahkan sang Romo Sekretaris juga memberi ijin
kepada saya kalau mau berkunjung silahkan berkunjung walaupun Mgr.Hubert sedang
dalam masa "ret-ret agung" (itu bahasa keren untuk
"pengasingan"). (Tetapi saya tidak mau pakai bahasa itu di sini).
Tetapi selama masa ret-ret agung itu saya tidak pernah
datang karena memang aturan resminya dari Uskup, beliau tidak boleh menerima
tamu. Saya taati aturan itu, walaupun tempat “pengasingan” itu dekat sekali
dari Fakultas tempat saya mengajar. Bukan apa-apa. Saya “membiarkan” Mgr.Huber
untuk menjalani ret-ret agungnya tanpa terganggu oleh apa pun dan siapapun,
termasuk apalagi oleh sekadar orang seperti saya saja. Maka jadilah demikian.
Masa itu berlalu dalam sunyi.
Mulai Bertugas Lagi
Setelah masa "ret-ret agung dan sunyi" selama setahun
itu selesai, maka pada akhir 2018, Uskup Bandung (Mgr.Anton) secara resmi
mengumumkan bahwa Mgr.Huber sudah bisa bertugas lagi sebagai imam dan uskup
(walau tanpa tahta dan wilayah). Maka sejak itu bapa Uskup Huber mulai sering
tampil di muka umum di Keuskupan Bandung pada pelbagai kesempatan. Salah satu
momen khusus ialah ketika Mgr.Huber tampil di sebuah paroki baru di kota
Bandung dan saat itu ada juga atraksi permainan caci oleh warga IKAMMABA,
Ikatan Keluarga Manggarai dan Mahasiswa Bandung.
Memang pada awal tahun 2019, oleh Uskup Anton beliau
ditugaskan untuk membantu pelayanan pastoral di Paroki Santa Maria Garut. Maka
Mgr.Huber pun menetap di sana. Nah dari sanalah dia kemudian dengan tekun dan
sangat rutin menulis renungan setiap hari. Semula ia mengirim kepada saya secara
pribadi, tetapi kemudian saya setuju untuk masuk ke dalam WAG yang ia bentuk.
Sangat tekun dan rutin. Luar biasa... renungan dan pembacaannya atas Kitab Suci
sangat luar biasa.
Jadi, walaupun ia, sebagai seorang uskup, tidak mempunyai
wilayah dan tahta lagi, tetapi ia tetap mempunyai medan pelayanan yaitu paroki
Garut dan juga kelompok WAG yang dengan tekun dan setia ia layani dengan
renungannya setiap hari, dan warga WAG yang menantikan renungan dia setiap
hari.
Masalah Kesehatan
Tetapi rupanya beliau punya masalah dengan kesehatannya. Ia
punya gangguan dengan usus atau sistem pencernaan dan hal itu sering sekali
mengganggu dia. Juga ada masalah dengan jantung, karena memang ada soal juga
dengan diabetes. Setelah bertugas di Garut, seingat saya, satu kali ia dirawat
serius di Borromeus, tetapi saya lupa, entah akhir 2020 atau awal 2021. Tetapi puji
Tuhan, ia bisa sembuh. Namun ia harus kontrol rutin setiap jangka waktu
tertentu dari Garut ke Bandung.
Nah, saya ingat bahwa pasca dirawat karena sakit itu, satu
atau dua kali ada masa kekosongan renungan, karena Mgr.Hubert harus istirahat,
yaitu menjalani control rutin di Rumah Sakit Borromeus. Lalu, sekira dua minggu
yang lalu, beliau minta ijin ke WAG Renungan Harian binaannya, bahwa untuk
sementara ia mau sunyi dan menyepi dulu. Tidak bisa menulis renungan. Dan tidak
mau diganggu dengan WA, Telpon dan semua medsos. Kemudian saya bertanya secara pribadi
kepadanya. Ternyata ada gangguan lagi dan harus dirawat.
Belakangan saya mendapat informasi bahwa menurut pastor
Paroki Garut (teman tinggal serumahnya di sana), dua minggu lalu itu, Mgr.Hubert
mengalami sesak nafas pada hari Jumat. Pastor Kepala meminta agar beliau segera
dirujuk ke RS Borromeus. Tetapi Mgr.Hubert sempat meminta agar ditunda dulu,
sampai ke hari Selasa minggu depannya, karena Hari Selasa itu bertepatan dengan
jadwal kontrol rutin. Tetapi pastor paroki tidak setuju. Harus segera masuk karena
tampak gawat.
Aku Melihat Terang
Akhirnya Mgr.Hubert dengan segera dilarikan dari Pastoran Garut
ke RS Borromeus di Bandung. Dan setibanya di sana, ia segera masuk ke ICU. Rupanya
Pertolongan dan penanganan perdana itu berhasil dan Bapa Uskup Huber pun bisa menjadi
stabil. Lalu karena itu ia bisa keluar untuk dirawat di ruang rawat biasa (non
ICU). Dari kotbah Uskup Bandung kemarin dalam misa requiem di Katedral Bandung,
ternyata beberapa waktu sebelumnya Mgr.Huber sudah curhat ke romo paroki bahwa
ia merasa sudah tidak kuat lagi. Ia sering merasa kelelahan dan merasa seperti
sudah tiba di titik final sebuah perjalanan. Tetapi isyarat itu masih belum
bisa dibaca dengan serius.
Lalu kemarin, pada hari Minggu pagi-pagi sekali, sekira
pukul 4 pagi, menurut cerita para frater yang bertugas jaga, Mgr.Huber sejak
malam gelisah. Tetapi tidak diketahui persis apa sebabnya. (Lazimnya dalam
tradisi dan kepercayaan orang Manggarai, kegelisahan seperti itu, biasanya
orang tersebut ingin mengungkapkan pesan terakhir. Manga pede, kalau dalam
Bahasa Manggarainya. Begitu timpal Pak Servatius Pandur dalam tutur saya kepadanya). Tetapi mungkin karena tidak ada orang yang dirasa bisa dan
mau mendengarkan pada saat itu, maka beliau tetap diam saja di dalam kegelisahan itu.
Tetapi pada jam 4 pagi konon ia mengatakan kepada para
frater yang bertugas menjaganya: “FRATER, SAYA SUDAH MELIHAT TERANG ITU. DAN
SAYA MAU PULANG...” Katanya ia mengulang kalimat itu beberapa kali. Kadang terdengar seperti sedang mengigau. Entah terang
apa yang dilihatnya. Tetapi saya membacanya dalam bingkai pengalaman si
Pemazmur itu: Tuhan, dalam terangMu aku melihat cahaya (sebuah kalimat yang
dipakai oleh Mgr.Aleks sebagai mottonya).
Consumatum est
Dan masih bagian lain dari cerita para frater itu. Konon
itulah kalimat atau perkataan terakhirnya. Sesudah mengucapkan kata-kata itu, mereka
melihat bahwa Mgr.Huber menjadi tenang. Lalu jam 6 pagi Hari Minggu kemarin, ia
wafat dengan sangat tenang. Tidak terekam sedikit pun tanda-tanda kegelisahan pada wajahnya. Ia tampak seperti terhanyut dalam tidur yang teramat lelap.
Jika kesaksian dalam cerita itu benar, maka Mgr.Hubert
mengakhiri hidupnya dengan sebuah adegan penting dan indah, yaitu melihat
pancaran terang, pancaran cahaya. Kiranya itu adalah Lumen Christi. Kiranya
itulah terang yang telah membuatnya menjadi tenang dan karena itu bisa pulang
dengan tenang: cor meum inquietum est, donec requiescat in te.
Dengan itu, semuanya sudah selesai, consumatum est. Ke dalam
tanganMu kuserahkan roh-ku. Dan ia pun berisirahat dalam damai dan cinta. Abadi.
Amin.
Taman Kopo Indah II.
Dr. Fransiskus Borgias, MA. Dosen dan Peneliti Senior FF-UNPAR,
Bandung. Kepala Sekolah Kitab Suci, KPKS St. Hieronimus, Komisi Kerasulan Kitab
Suci, Keuskupan Bandung.
Tak heran Pak Frans menjadi dosen Kitab Suci dan peneliti senior karena berada dlm lingkungan orang-orang besar jua. Semoga pula kesaksian ttg Mgr. Lereng menjadi inspirasi setiap orang yg membaca tulisan ini.
BalasHapusPertama-tama, terima kasih banyak atas perhatian, dan apresiasi frater terhadap tulisan saya ini. Kedua, tentang harapan itu... betul sekali... itu juga yang menjadi harapan saya... Ketiga, tentang hidup saya sendiri.... ah... sy mah... menjalankan saja irama hidup ini menurut ilham Roh yang menghinggapi diriku ini sejauh Ia berkenan... itu saja... sesederhana itu frater....
Hapus