HARI RAYA SANTA PERAWAN MARIA DIANGKAT KE SURGA

Gambar dari Google search

Sebuah Catatan Singkat
Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA.
Pengantar Singkat
Tanggal 14 Agustus kemarin, Gereja Katolik sedunia merayakan Sebuah Hari
Raya yang amat penting dan yang terkait dengan Bunda Maria. Ini adalah Hari
Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga (dengan jiwa dan badan). Dalam
Bahasa Latin disebut dengan ungkapan Maria
Assumpta. Sebenarnya Hari Raya ini dirayakan pada tanggal 15 Agustus setiap
tahun, tetapi pada tahun ini dirayakan pada tanggal 14 Agustus agar bisa
digabungkan dengan Perayaan Ekaristi Hari Minggu. Jadi, ini adalah sebuah
praksis yang didasarkan pada pertimbangan praktis belaka. Tentu terkait dengan
hari raya ini ada banyak tema yang bisa diangkat dan diulas dalam sebuah
artikel yang ringan.
Tetapi dalam catatan saya kali ini, saya tidak akan membuat sebuah
catatan atau tinjauan dogmatis dan historis yang panjang lebar dan mendalam mengenai
ajaran dogma itu. Tentang hal itu kiranya akan bisa diusahakan pada tempat dan
kesempatan yang lain saja. Semoga kesempatan itu bisa tersedia dalam jangka
waktu yang tidak terlalu lama lagi. Cukuplah jika pada kesempatan ini saya mau
membicarakan sesuatu hal yang lain, yang akan segera menjadi nyata dalam bagian
berikut di bawah ini.
Terjemahan ke Dalam Bahasa Manggarai
Dalam tulisan ini saya hanya mau membahas tentang bagaimana nama Hari
Raya yang agung ini diterjemahkan ke dalam bahasa Manggarai oleh para
misionaris awal yang datang ke Manggarai (Keuskupan Ruteng). Jejak-jejak
terjemahan itu dapat kita temukan dalam buku Dere Serani, sebuah buku nyanyian liturgis gereja katolik Keuskupan
Ruteng.
Jika kita melihat buku Dere Serani
itu, yang inisiatif awalnya sudah dimulai pada awal-awal tahun 20an abad yang
silam, dan semakin gencar dan giat dilakukan pada awal tahun 30an, sehingga
kemudian keluar lagu ciptaan pertama pada akhir tahun 30an (persisnya pada
tahun 1936 dari bapak Filipus Manti), maka kita akan melihat bahwa versi
terjemahan istilah itu tidak ditemukan dalam koleksi lagu-lagu Maria dalam buku
Dere Serani tersebut (baik lagu Maria
versi adaptasi dari lagu-lagu Gereja induk di Eropa, maupun lagu-lagu Maria
versi kreasi baru para komponis Manggarai).
Nah, kalau tidak ada di sana, lalu di manakah kita menemukan versi
terjemahan itu? Versi terjemahan itu ada dalam terjemahan untaian
peristiwa-peristiwa Doa Rosario atau Ngaji
(Pati) Kontas (Menarik bahwa kata yang dipakai untuk Rosario ialah Kontas.
Terus terang saja saya masih mencari asal-usul kata Kontas itu, entah dari mana.
Penelusuran ini penting, karena kata kontas ini sudah mendarah daging juga
dalam penghayatan hidup iman orang Manggarai sebagai orang Katolik, sebagaimana
tampak dalam ungkapan Serani sai, kontas
bokak). Dalam bagian dokumentasi Ngaji
(Pati) Kontas yang termuat dalam buku Dere
Serani itu, hanya ada tiga peristiwa atau misteri saja. Kata misteri itu
sendiri diterjemahkan secara harfiah dengan ungkapan "tae ceha"
(tutur, wacana yang rahasia, tersembunyi). Tentu ini disebabkan karena buku Dere Serani ini dibuat saat "tae
ceha" (atau misteri, atau peristiwa) itu masih ada tiga saja. Sebab,
sebagaimana yang kita semua ketahui, baru pada masa Paus Yohanes Paulus II,
kita mengenal "misteri" keempat yaitu "misteri cahaya" atau
misteri terang.
Tiga Misteri Lingkaran Doa Rosario
Ketiga "tae ceha" (misteri) itu yang termuat dalam buku Dere
Serani ialah sbb: 1). Lima tae ceha ata (pande) meler nai. (Kelima
peristiwa/misteri gembira). Sedikit catatan mengenai kata “meler” yang dipakai
di sini. Menurut saya, kata "meler" yang dipakai di sana lebih cocok
atau lebih tepat diterjemahkan dengan kata "nisang" ko
"naka" nai.
Saya ingat guru SD saya dulu, Bapak Frans Ebat dan juga didukung oleh
Bapak Saya sendiri, Bapak Feliks Mar, lebih suka memakai kata Nisang atau naka nai
itu. Dan sudah sejak kecil saya dukung hal itu, sebab toh lagu atau doa Regina Caeli laetare diterjemahkan
dengan “Nisang nain Sengaji Surga”, dan bukan “meler nain sengaji surga”.
Bahkan yang lebih popular adalah rumusan sbb: Sengaji Surga, Naka ga, alleluia).
2). Lima tae ceha ata (pande) susa nai laing (atau Lima
peristiwa/misteri sedih; sampai saat ini saya tidak mempunyai catatan khusus
tentang terjemahan ini). 3). Lima tae ceha ata neran. Yang terakhir ini (nomor
3) adalah terjemahan dari Peristiwa atau misteri Mulia. Terkait dengan ini ada
sebuah catatan kecil juga. Kata atau konsep “Mulia” pada masa itu dulu
diterjemahkan dengan kata Nera. Ini sedikit mengandung persoalan. Mengapa?
Karena kata Nera sendiri dalam bahasa Manggarai berarti terang atau Cahaya.
Selama ini, terjemahan ini tidak menjadi masalah bagi orang-orang tua di Manggarai,
kalau kata “peristiwa mulia” itu diterjemahkan dengan tae ceha ata Neran. Sekarang hal itu menjadi masalah karena ada
peristiwa baru yang disebut peristiwa terang atau peristiwa cahaya. Nah
peristiwa baru inilah yang paling tepat disebut "tae ceha ata neran".
Mencari Terjemahan Alternatif
Saya belum tahu bagaimana para penerjemah Manggarai di Keuskupan Ruteng
memikirkan hal ini sekarang. Boleh jadi juga hal itu sudah tidak dipikirkan
lagi karena orang lebih sering dan akrab dengan tradisi Rosario dalam Bahasa Indonesia.
Jika ini terjadi, maka lama kelamaan rintisan terjemahan Bahasa Manggarai para
misionaris dulu akan hilang dan menjadi sia-sia belaka. Tetapi saya berharap semoga
mereka sudah mulai memikirkannya juga dengan serius.
Saya sendiri berpikir bahwa kata Nera ini lebih cocok dipakai untuk
menerjemahkan peristiwa cahaya. Jika usul ini diterima maka, kita harus
memikirkan kata baru untuk menerjemahkan kata mulia. Berikut ini adalah sekadar
usul saja dari saya. Dan usul saya ini didasarkan pada teks yang ada dalam buku
Dere Serani juga. Dalam teks “Kemuliaan” (Gloria) versi Manggarai dalam buku Dere
Serani, kata mulia atau kemuliaan itu diterjemahkan dengan bong. Atas dasar
itu, saya usulkan agar peristiwa mulia itu diterjemahkan menjadi Tae Ceha ata
pande bongn.
Nah, dalam lima tae ceha ata neran (atau dalam usul baru saya tadi, ata
pande bong), ada lima tae ceha. Pertama, Mori Yesus too kole wa mai boan.
Kedua, Mori Yesus hendeng nggereta Surga. Ketiga, Nai Nggeluk wau bebeta Rasul.
Keempat, Maria Sompo le Mori Keraeng nggereta Surga. Kelima, Mori Keraeng
tesong balibelo one hi Maria eta Surga. Dalam tae ceha yang kedua, dipakai kata
hendeng. Kata yang sama dipakai juga di dalam Credo (Aku imbi) Manggarai.
Fokus Pada Tae Ceha Ata Pande Bongn
Sekarang saya mau menyoroti satu hal yang amat penting yang dalam tae
ceha yang terakhir ini, pemikir teologis Dere Serani dulu memakai kata yang
berbeda untuk Tuhan Yesus dan untuk Bunda Maria. Peristiwanya sebenarnya sama saja
yaitu sama-sama naik ke surga (karena surga dibayangkan berada di atas,
kebalikan dari neraka yang ada di bawah sana). Tetapi kata yang dipakai untuk Tuhan
Yesus berbeda dengan kata yang dipakai untuk Bunda Maria.
Kiranya hal itu tidak usah mengherankan, sebab toh dalam bahasa
Indonesia pun memang dipakai kata yang berbeda juga untuk melukiskan kedua hal
tersebut. Untuk peristiwa Kenaikan Tuhan Yesus ke surga dipakai istilah Naik ke
Surga dari mana kita akhirnya mengenal istilah Kenaikan, Ascension. Sedangkan untuk Bunda Maria kita memakai istilah atau
ungkapan yang lain, yaitu “Diangkat ke surga,” Assuncion, Assumption.
Menjejak Juga Dalam Terjemahan Manggarai
Nah tentu hal itu (perbedaan kata atau istilah yang dipakai) mengandung
perbedaan visi dasar teologis. Perbedaan teologi itu menyebabkan orang memakai
kata yang berbeda. Hal itu juga terekam dengan sangat baik dalam bahasa
Manggarai. Untuk Tuhan Yesus dipakai kata Hendeng
(pada dasarnya berarti melayang sambil naik ke atas). Hal itu ada dalam
terjemahan Credo (Aku Imbi) Manggarai: Poli hendeng nggereta surga. Sedangkan
untuk Bunda Maria kita memakai kata Sompo
(kata sompo ini sendiri pada dasarnya berarti membopong dengan tangan beberapa
orang yang dibuat saling berlipat sehingga membentuk sebuah tahta).
Apa persis nuansa perbedaan kedua kata atau istilah ini di dalam
beberapa bahasa tadi? Walaupun kata yang dipakai berbeda, tetapi pengandaian
dan pendasaran teologis yang ada tetap kiranya sama. Yaitu, bahwa Tuhan Yesus
naik ke Surga dengan daya kekuatanNya sendiri (bukan dengan daya kekuatan pihak
yang lain). Hal itu diungkapkan dengan kata Ascension dalam bahasa Latin
(Spanyolan) atau naik atau kenaikan dalam bahasa Indonesia. Hal itu dimungkinkan
karena Yesus adalah Tuhan. Ia dimuliakan dan menjadi mulia dan hal itu tampak
dalam kenaikanNya ke surga.
Nah, hal itulah yang membedakan Tuhan Yesus dari Bunda Maria, yang
memang orang yang sangat istimewa tetapi tetap saja seorang manusia biasa. Dan
sebagai manusia biasa, ia tidak mempunyai daya kekuatan sendiri untuk naik ke
atas. Oleh karena itu ia harus diangkat, dinaikkan ke atas. Nah realitas itulah
yang ditampakkan dalam kata yang dipakai baik dalam bahasa Latin, Assumpta,
maupun dalam bahasa Manggarai, Sompo. Sompo ialah dibopong dengan tangan dari
beberapa orang yang disilangkan, dan orang yang disompo, biasanya pengantin
perempuan, atau ratu, duduk di atas tangan yang disilangkan itu. Nah imajinasi
seperti itulah yang dibayangkan terjadi pada bunda Maria saat ia diangkat,
sompo, ke surga.
Catatan Penutup
Saya hanya berharap agar penjelasan yang singkat dan sederhana ini mampu
mengingatkan kita akan nuansa dan substansi perbedaan itu. Khususnya untuk para
pembaca yang memakai atau memahami Bahasa Manggarai, catatan teologis saya ini
juga bisa berfungsi untuk menjadi sarana pengingat akan pemakaian beberapa kata
dalam Bahasa Manggarai yang mengandung nuansa-nuansa perbedaan teologis juga.
Hal ini bagi saya sangat penting sebagai bagian utuh dari cara saya mendidik
dan mengajarkan teologi kepada para pembaca saya di laman facebook ini.
Akhirnya, mari kita rayakan Hari Raya ini dengan kesadaran yang jelas
dan tinggi akan distingsi teologis seperti itu. Semoga tulisan dan refleksi ini
berguna.
Terima kasih atas catatan teologisnya Pak Frans. Semakin bangga menjadi Katolik.
BalasHapusSama2 Frater Jon atas apresiasinya... syukur jika catatan sederhana ini ada gunanya bagimu... salam damai... Berkah Dalem Gusti Yesus...
Hapus