MENYIMAK MAKNA "SIMBOL" LINGKARAN ADVEN
![]() |
Foto: dari dok koleksi pribadi |
Oleh: Fransiskus Borgias.
Keterangan: Tulisan ini sudah menjadi Bab 4 dalam buku saya MENIMBA KEKAYAAN LITURGI, Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2008.[1]
Pengantar
Sebelum
hari raya Natal tiba kita melewati masa Adven yang berarti kedatangan (Advent-us,
advenire: datang, kedatangan, mendatangi). Masa itu berlangsung selama
empat minggu (empat kali hari Minggu). Memang masa Adven ialah masa persiapan
menyongsong kedatangan (kelahiran) Tuhan kita Yesus Kristus. Secara teologis,
istilah adven-tus lebih menekankan aktifitas dan inisiatif (prakarsa)
dari pihak Allah; atau melihat perisitwa itu terlebih dari dan berdasarkan
kehendak dan rencana Allah untuk menyelamatkan (menebus) umat manusia.
Istilah Adven-tus sendiri dalam
kosa kata bahasa liturgi Indonesia diterjemahkan dengan kata Penantian; maka masa ini juga dikenal
dengan sebutan “Masa Penantian.” Istilah itu bisa dibela juga secara teologis. Penantian lebih menekankan aktifitas dan
prakarsa (inisiatif) manusia; atau melihat peristiwa yang satu dan sama dari
perspektif (sudut pandang) manusia. Kehendak Allah untuk menyelamatkan manusia
dalam Yesus Kristus (Adventus),
dinantikan secara aktif dan dinamis oleh manusia dalam iman dan harapan
(Penantian). Oleh karena saya mau melihatnya dari pihak manusia yang aktif dan
dinamis menantikan dan berharap, maka saya lebih suka memakai sebutan “(masa)
penantian.” Saya kira tidak ada keberatan fundamental juga dengan hal itu,
sebab toh masa liturgisnya populer juga dengan sebutan “Masa Penantian.” Masa Adventus (Penantian) ini biasanya kita
lalui selama empat pekan (termasuk empat hari Minggu, walau kadang-kadang hari
Minggu yang keempat sudah jatuh pada hari Natal, seperti yang terjadi pada
tahun 2006). Secara tradisional orang merayakan masa Adventus ini dengan pelbagai teks misa yang khusus (bacaan, doa-doa
khusus, lagu-lagu yang khusus pula), yang dengan satu dan lain cara menekankan
dan menggambarkan dimensi penantian dan pengharapan itu kita manusia.
Dalam devosi tradisional Katolik, ada
sebuah kekhasan ornamental dalam masa Adventus ini. Yang saya maksudkan tidak
lain ialah lingkaran adventus. Secara
tradisional bentuk corona adventus
adalah lingkaran; itulah sebabnya disebut Lingkaran Adventus. Dengan masa Adven kita memasuki tahun baru liturgi
Gereja; minggu Pertama Adven adalah permulaan tahun baru liturgi gereja.
Dalam bagian ini saya bermaksud
menguraikan barang sedikit tentang Lingkaran Adventus ini dengan menyimak
pandangan teologis dan biblis yang ada di balik praksis devosional yang hidup
di tengah umat. Saya merasa perlu melakukan hal ini, agar umat tidak hanya
memahami hal itu sebagai sekadar hiasan yang serba rutin belaka. Melalui
tulisan ini saya bermaksud memperkenalkan kepada umat bahwa di balik hiasan itu
terkandung suatu pandangan teologis tertentu yang sangat penting untuk diberi
perhatian khusus. Kiranya dengan cara ini, praksis liturgi devosional kita
dapat diberi pendasaran teologis yang memadai. Karangan ini berisi ulasan atas
dua unsur utama dalam lingkaran itu, yaitu lingkaran itu sendiri, dan keempat
lilin yang tegak berdiri di atasnya yang secara berturut-turut dinyalakan satu
per satu selama empat minggu masa Adventus
itu.
![]() |
Foto: dari dok koleksi pribadi |
Corona Adventus
Seperti
telah dikatakan di atas tadi, dalam masa Adventus ada sebuah tradisi yang
sangat indah dan menarik yaitu Corona
Adventus atau Lingkaran Adventus. Ini adalah sebuah lingkaran yang sengaja
dibuat sebagai sebuah hiasan (baik di gereja maupun di rumah-rumah keluarga)
untuk mengiringi persiapan kita mengarungi masa Adventus menuju ke Perayaan
Natal itu sendiri. Hanya tidaklah diketahui dengan pasti kapan tradisi itu
mulai muncul dan hidup dalam praksis berliturgis gereja. Kemungkinan besar ini
adalah sebuah hasil proses inkulturasi adat kebiasaan suku-suku Jerman kuno
(pada abad ke-6 dan ke-7) yang kemudian dikristenkan (dalam proses inkulturasi
gereja). Tetapi saya tidak bermaksud mengulas terus masalah sejarah itu.
Biarkan saja hal itu tetap sebagai sebuah persoalan. Bagi saya hal itu tidak
begitu penting untuk diperhatikan sekarang dan di sini.
Dalam tradisi Kristiani di Eropa,
lingkaran Adventus itu dibuat dari daun cemara hijau. Di sini lebih jauh saya
mau mengulas beberapa unsur yang ada dalam corona
adventus itu: 1). bentuk lingkaran, 2). warna hijau cemara, 3). empat lilin
bernyala yang menancap tegak di atas lingkaran. Semuanya mempunyai makna
simbolik yang mendalam, yang perlu diperhatikan dengan baik-baik. Saya mulai
dengan yang pertama, yaitu bentuk lingkaran, dengan mengajukan sebuah
pertanyaan: Mengapa corona Adventus itu berbentuk lingkaran?
Ya, mengapa berbentuk lingkaran dan
bukannya bentuk yang lain (misalnya bentuk segitiga atau segi empat)? Tentu
saja pilihan selalu mengandung makna. Lagipula lingkaran itu biasanya tidak
dipasang tegak (secara vertikal), melainkan mendatar (secara horizontal).
Selain alasan praktis (lilin tidak bisa ditancapkan di atas lingkaran
vertikal), posisi mendatar itu mengandung makna simbolis-teologis yang mendalam
juga. Lingkaran itu juga penuh atau tertutup; bukan setengah lingkaran, juga
bukan berbentuk spiral. Jadi, itu adalah sebuah
lingkaran-horizontal-yang-penuh. Lingkaran yang dipasang secara horizontal itu
melambangkan perpusingan dan perputaran hidup manusia dalam rangka dunia dan
sejarah sekarang dan di sini. Kita tahu bahwa manusia terkurung dalam lingkaran
hidup di dunia ini. Posisi horizontal dan lingkaran yang penuh itu melambangkan
ketidak-berdayaan manusia. Manusia tidak bisa keluar dari lingkaran itu. Maka
secara tertentu lingkaran itu juga melambangkan daya dosa yang menguasai hidup
manusia.
Boleh jadi juga, bentuk lingkaran itu
dilatar-belakangi oleh sebuah paham atau pandangan siklis akan sejarah: Bahwa
sejarah merupakan lingkaran tanpa ujung-pangkal, yang berulang-ulang terus
menerus. Segala sesuatu datang silih berganti. Sesudah pagi, datang siang, lalu
sore, lalu malam, lalu pagi lagi. Begitu seterusnya; dan hal itu berulang
secara abadi. Atau ambil bulan sebagai contoh ilustrasi: Sesudah bulan gelap,
ia mulai terbit lagi; mula-mula kecil sekali, lalu lambat laun membesar, dan
akhirnya menjadi penuh, purnama, lalu kembali ke gelap lagi. Demikian
seterusnya dan seterusnya.
Tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam
tradisi liturgis Katolik, lingkaran itu harus berwarna hijau. Dan inilah unsur
kedua yang mau saya bahas di sini. Dan kita tahu pasti bahwa warna hijau
melambangkan kesegaran; warna hijau juga melambangkan kehidupan dan
pengharapan. Dengan demikian, dalam lingkaran itu tampak sebuah perpaduan yang
sangat indah dan menarik: “Lingkaran Hijau” (bukan merah, hitam, biru atau
ungu, dsb). Makna perpaduan ini ialah bahwa manusia dalam keterikatan dan
keterkungkungannya, tetap punya kehidupan dan tetap memiliki pengharapan.
Lingkaran sama sekali tidak mematikan (melumpuhkan) hidup dan pengharapan
manusia. Warna hijau adalah lambang pengharapan yang hidup dan aktif serta
dinamis; warna hijau adalah lambang iman yang hidup, yang menantikan dan
mengharapkan intervensi dari luar, dari Allah, ke dalam sejarah manusia.
Intervensi ilahi itulah yang diharapkan mendatangkan kehidupan, membuka
cakrawala pengharapan baru dalam hidup iman. Intervensi itu tampak terjadi
secara sangat khusus dan intensif dan personal dalam peristiwa inkarnasi,
firman menjelma menjadi daging (verbum caro factum est).
Sebelum membahas unsur lain, masih ada
sebuah pertanyaan yang perlu diajukan dan dijawab lagi di sini. Mengapa lambang
kehidupan, kesegaran, dan pengharapan itu memakai hijau daun cemara? Kiranya
kita semua tahu bahwa Bulan Desember di Eropa adalah musim dingin. Dan selama
musim dingin, segala sesuatu membeku dan bahkan seakan-akan “mati” (atau paling
tidak tampak seperti tertidur lelap). Di tengah terpaan musim dingin yang keras
dan panjang itu, di mana semua dedaunan lain sudah pada gugur, daun cemara
tetap hijau, segar, dan lestari. Daun cemara pun lalu disebut daun cemara-hijau
abadi, cemara ever-green. Nah, segi-segi inilah yang melambangkan iman
yang dinamis dan pengharapan yang hidup. Memang iman dan pengharapan diharapkan
tetap hidup di tengah perpusingan hidup di dunia ini, di tengah gelombang dan
badai musim dingin yang teramat berat. Harapan dan iman yang hidup itu
dilambangkan dengan daun cemara yang hijau-segar. Maka secara tersirat mau
dikatakan bahwa di tengah lingkaran perpusingan hidup di dunia ini, iman
manusia tidak membeku dan mati, melainkan tetap hidup dan segar.
![]() |
Foto: dok koleksi pribadi |
Empat Lilin Tegak dan Bernyala
Kemudian,
pada lingkaran yang mendatar itu ditancapkan empat lilin bernyala yang tegak di
atas di lingkaran. Jadi, di atas lingkaran mendatar itu ditancapkan empat
lilin. Kita juga tahu bahwa selama masa Adven ada empat minggu (empat hari
Minggu). Jadi, satu lilin untuk satu minggu. Perlu juga diperhatikan bahwa
keempat lilin itu tidak dinyalakan secara serentak. Melainkan, lilin pertama
dinyalakan pada minggu pertama, lilin kedua pada minggu kedua, dst. Nanti pada
minggu keempat ada empat lilin bernyala sekaligus di atas lingkaran tadi.[2]
Dan posisi tegak (vertikal) keempat
lilin yang bernyala itu, tentu saja langsung berlawanan dengan posisi mendatar
lingkaran (horizontal). Hal ini jelas melambangkan bahwa manusia yang hidup
dalam kurungan sejarah dan perpusingan dunia ini tetap mempunyai pengharapan.
Pasti ada jalan keluar dari perpusingan hidup di dunia ini. Kita tidak bernasib
seperti katak dalam tempurung. Memang manusia dalam perputaran roda hidupnya di
dunia ini, tidak dapat menolong diri sendiri. Ia tidak dapat keluar dari sana
tanpa campur tangan dari luar. Seperti sudah dikatakan di atas tadi, keempat
lilin yang tegak bernyala itu adalah lambang intervensi dari luar, dari Allah
sendiri. Lilin yang tegak di atas lingkaran mendatar, memberikan kemungkinan
dan perspektif baru, yaitu jalan keluar dari perpusingan lingkaran hidup itu.
Tetapi sekaligus juga, lilin yang berdiri tegak dan bernyala-nyala itu
menunjukkan dimensi transendental manusia: Bahwa manusia juga di tengah
belenggu kungkungan dunia dan sejarah ini, tetap mempunyai kemampuan untuk
mentransendensir dirinya sendiri. Itulah makna kehadiran simbolis dari keempat
lilin itu.
Sudah dikatakan bahwa lingkaran itu melambangkan
paham siklis sejarah. Tetapi ada juga paham linear akan sejarah (waktu) yang
dapat ditemukan dalam Kitab Suci. Ide dasarnya ialah, sejarah bergerak seperti
garis lurus, ada awal dan ada akhir, ada titik Alpha dan ada titik Omega, dari
penciptaan ke akhir jaman. Kitab Suci mewahyukan Allah sebagai penguasa “Alpha
dan Omega;” itu berarti Allah menguasai Alpha sejarah dan Omega sejarah.[3] Paham linear ini
disimbolkan oleh keempat lilin yang bernyala tegak itu. Lilin tegak itu
melambangkan bahwa sejarah manusia bergerak kearah yang transenden. Jadi,
sejarah akhirnya tidak melulu mendatar, tetapi juga bergerak naik, mengarah
kepada yang transenden. Maka sejarah pun lalu menjadi sejarah keselamatan
justru karena keterarahannya ke atas yaitu kepada Allah. Keempat lilin itu
melambangkan transendensi sejarah dan transendensi manusia yang menyejarah.
Selain itu tentu saja lilin-lilin yang
bernyala itu juga melambangkan Terang Kristus yang kelak akan kita rayakan
dengan sangat meriah pada upacara api suci pada malam paskah, dengan perarakan
lilin paskah yang sangat meriah dan indah itu (di mana Imam atau diakon dengan
lantang menyanyikan: Lumen Christi, dan umat pun menjawab dengan lantang juga:
Deo Gratias). Keempat lilin itu juga melambangkan keterarahan harapan dan
penantian kita akan Kristus yang segera tiba. Lilin itu melambangkan penantian
dan keterarahan kita kepada Kristus sang Penebus kita. Dengan demikian maka
perpusingan hidup manusia di dunia ini mendapat perspektif baru, mendapat
sebuah jalan keluar baru. Dari lingkaran horizontal-tertutup, terpancang empat
lilin tegak berdiri yang melambangkan keterarahan ke atas, menyembul keluar
dari lingkaran itu. Lilin tidak dipasang terpisah dari lingkaran, melainkan
menyatu dan tertancap dalam lingkaran. Ini melambangkan bahwa karya
penyelamatan Allah dalam diri Kristus, bukan sesuatu yang ditempelkan dari
luar, melainkan masuk dalam kondisi hakiki manusia secara utuh dan total.
Pembebasan dan penebusan manusia berangkat dan keluar dari kondisi real manusia
itu sendiri.
Epilog
Menilik
maknanya seperti yang sudah diungkapkan di atas tadi, kiranya tampak bahwa
lingkaran itu bukan hanya hiasan pemberi suasana belaka (ornamental). Melainkan
simbolisasi seluruh hidup dan keterarahan iman dan harapan yang dinamis akan
Penebus. Dalam masa Adven kita menantikan kedatangan Tuhan. Itu dilambangkan
dengan empat lilin bernyala. Keempatnya melambangkan iman yang hidup dan
senantiasa berjaga-jaga dan bernyala. Semoga kedatangan Kristus tidak kita
alami seperti kelima gadis bodoh, melainkan seperti kelima gadis bijaksana (Mat
25:1-13; Luk 12:35). Penantian para gadis dengan lampu minyak itu adalah ide
yang melatar-belakangi praktek lingkaran dengan lilin menyala itu. Jika benar,
betapa praktek itu sangat injili karena memancar keluar dari inspirasi injili.
[1]
Teks yang dimuat dalam bab ini pernah dimuat dalam majalah Ekawarta,
edisi November, 1989 (dalam bagian Liturgi); naskah awal itu kemudian ditulis
kembali untuk dimuat dalam kumpulan ini.
[2]
Di beberapa paroki, ada inisiatif untuk memberi nama kepada masing-masing lilin
itu: lilin iman, lilin pengharapan, lilin kasih, akhirnya lilin malaekat.
Mungkin ada yang memberi nama lain.
[3]
Why 1:8; 21:6; 22:13, di mana diwahyukan pernyataan Allah bahwa Dirinya adalah
penguasa Alfa dan Omega, Awal dan Akhir sejarah, sekaligus bagian di tengahnya.
Komentar
Posting Komentar