MUKJIZAT KETERBUKAAN DUNIA ARAB

gambar: dari google 



Oleh: Fransiskus Borgias

 

Catatan Pengantar 

Kemarin saya mendapat sebuah kiriman video dari seorang teman, Frater Ronald Randang CMM. Video itu berisi rekaman perjalanan penerbangan Bapa Suci Paus Fransiskus dari Roma Ke Bahrain, menumpang sebuah pesawat penumpang umum Italia, bukan jet-pribadi kepausan ataupun Vatikan, sebagaimana yang diduga oleh banyak pihak selama ini. Bapa Suci naik pesawat umum itu. Karena ini adalah kunjungan kenegaraan, kunjungan kerajaan, dikabarkan juga bahwa pesawat yang ditumpangi Bapa Suci itu dikawal dengan sangat ketat oleh angkatan udara Kerajaan Bahrain. Tidak main-main. Ada enampuluh pesawat tempur mengawal, melindungi pesawat itu. Mungkin pihak kerajaan juga takut atau ketar-ketir, jangan sampai ada kelompok teroris yang nekat, kan bisa berabe semuanya.

Tidak berapa lama sesudah itu, muncul di Reel-story Face Book saya, sebuah video life-streaming, youtube, tentang tibanya Bapa Suci di Bahrain dan langsung di sebuah stadion Sepak Bola yang teramat megah, tempat akan dilangsungkannya perayaan Ekaristi yang langsung dipimpin oleh Bapa Suci sendiri. Di sana, sudah bergema sebuah kelompok Paduan Suara yang mengiringi kedatangan dan kehadiran sang Bapa Suci dengan sebuah lagu indah dengan kata-kata kira-kira sbb: Jesus Christ, You are my life, alleluia, alleluia (Yesus Kristus, Engkaulah hidupku, alleluia, alleluia). Itu menjadi refrain utama, atau semacam ayat ulangan yang diselang-selingi dengan beberapa ayat, verses, yang dilantunkan dalam pelbagai Bahasa, Inggris, Arab, India (Malayalam), Tagalog, dan pelbagai Bahasa lainnya. Tetapi saya tidak atau belum mendengar versi Bahasa Indonesianya.

 

Muka Bumi Dibarui Oleh Roh Pembaharu Nan Suci

Bagi saya, hal ini menggambarkan dan menandakan sesuatu. Yaitu, adanya keterbukaan dari dunia Arab untuk menerima tokoh pemimpin dunia yang bukan Islam. Dlam hal ini ialah pemimpin tertinggi Gereja Katolik seluruh dunia. Jelas ini sebuah perubahan besar. Bayangkan saja: Nama Yesus Kristus, bisa diserukan dengan lantang di ruang public di dunia Arab, sesuatu yang mungkin belum bisa dibayangkan beberapa tahun yang silam, ketika, bahkan waktu itu, kita mendengar berita bahwa, bahkan para pekerja yang Kristiani yang berasal dari Filipina misalnya, tidak boleh membawa teks Kitab Suci ke kawasan negara-negara Arab sekitaran Teluk itu. Memang itu peraturan umum.

Tetapi ada saja cara-cara yang ditempuh umat Kristiani untuk meloloskan teks kitab suci ke sana. Sebab yang dilarang ialah buku, alkitab. Sedangkan lembar-lembar lepas, tidak dilarang. Begitulah misalnya, orang masih bisa membawa masuk teks-teks bacaan hari minggu dari TATA PERAYAAN EKARISTI pada Hari atau bulan yang bersangkutan. Dan setelah satu tahun, maka sudah terkumpulah sebuah kumpulan teks-teks lepas yang bisa menjadi TATA PERAYAAN EKARISTI lengkap dengan bacaan. Begitulah cara orang membawanya. Tentu sekarang pelarangan dan pembatasan seperti itu sudah tidak mungkin lagi, yaitu dengan tersedianya alkitab secara digital online di smartphone, sehingga hanya stupid-people saja yang tidak mau menerimanya, seperti yang terjadi di sebuah propinsi di Indonesia: phone-nya sudah smart, tetapi people-nya… ah…. Isi sendirilah…

Dunia Arab sudah berubah secara total. Tidak lagi tertutup. Tidak lagi eksklusif. Tidak lagi semata-mata dihubungkan dengan satu agama saja. Melainkan terbuka terhadap bermacam-macam agama. Pertanyaan historis dan politis (bahkan teologis-)nya yang terbesar ialah: Ada apa? Apa sebabnya hal itu sampai bisa terjadi? Mengapa terjadi perubahan sedahsyat itu? Beberapa pengamat sosiologis-antropologis antara lain mengkaitkan perubahan itu dengan munculnya sebuah generasi baru, generasi muda, generasi millenials yang sudah duduk di tingkat pemangku jabatan dan pembuat kebijakan public dan politik di negeri masing-masing. 

Biasanya generasi milenials itu dihitung hingga mencapai mereka lahir pada tahun 1984-an. Artinya saat ini mereka sudah memasuki atau menjelang memasuki usia 40-an tahun. Dan bagi mereka pun, berlakulah juga pepatah Yahudi ini: Life begins at forty, hidup dimulai pada usia empatpuluh tahun. Setidaknya, pada usia segitu, mereka sudah siap menjadi pemimpin di segala bidang, termasuk di bidang keagamaan. Nah, mereka-mereka ini sungguh sadar bahwa dalam hitungan kurang dari tiga dasarwarsa ke depan, kejayaan minyak akan sangat menurut drastic.

 

Melepas Ketergantungan Pada Minyak Bumi

Ke depan, ekonomi negara tidak bisa lagi dilandaskan pada minyak itu, yang persediaannya semakin menipis, dan tidak mudah dibarui, tidak terbarukan (non-renewable energy). Ditambah lagi dengan pelbagai tuntutan masyarakat dunia agar orang semakin banyak memakai energy yang berbasiskan pada energy yang terbarukan, dan bukan energy yang persediaannya terbatas. Atau energy yang dalam proses mendapatkannya, mendatangkan kerusakan lingkungan yang teramat mengerikan, seperti tambang batubara misalnya dan pelbagai aktifitas tambang-tambang yang lainnya. Oleh karena itu para pemimpin di dunia Arab (yang semuanya sangat tergantung pada minyak bumi), harus mulai terbuka terhadap dan secara aktif-kreatif mencari pelbagai kemungkinan yang lain.

Salah satunya ialah pengembangan dunia pariwisata. Secara kebetulan sudah ada beberapa negara kawasan Teluk yang melakukan terobosan di bidang ini, dan mereka sangat sukses menarik devisa, seperti Uni Emirat Arab misalnya. Nah, mereka melihat peluang itu sangat menjanjikan untuk masa depan. Oleh karena itu mereka ingin mengembangkan pariwisata sebagai primadona ekonomi mereka ke masa depan. Agar dapat melakukan hal itu, maka diperlukan banyak pembaharuan, antara lain, terutama peraturan-peraturan agama yang dirasa membatasi berkembangnya pariwisata karena adanya larangan-larangan tertentu terkait aturan cara berbusana, dll.

Pembaharuan religious seperti itu tidak mudah, karena ada banyak penolakan juga. Tetapi dibutuhkan sosok pemimpin yang tegas dan pemberani untuk bisa melakukan terobosan dahsyat seperti itu. Terobosan seperti itu antara lain dapat kita lihat misalnya di Arab Saudi, di mana sang Putera Mahkota melakukan langkah-langkah yang sangat berani, dan luar biasa kreatif. Semuanya dalam rangka pengembangan pariwisata dan ekonomi kreatif, dua kata kunci dalam denyut nadi ekonomi dalam era kebangkitan pasca covid-19 ini. Walaupun kita tahu bahwa gelombang pembaharuan seperti itu masih mendapat penolakan yang mengerikan di Iran, dengan korban fenomenal Masha-Amini itu. 

Pokoknya wacana utama dan dominan untuk menjelaskan gerak perubahan itu ialah faktor prospek ekonomi yang baru. Tetapi saya ingin mencari suatu cara penjelasan yang lain yang mungkin tidak diketahui atau disadari oleh banyak pihak yang lain. Karena itu saya mencoba membentangkannya di sini. Semoga hal itu berguna juga. 

 

gambar: dari google 



Mencari Cara Penjelasan Yang Lain

Yang jelas ialah bahwa saya tidak menutup mata terhadap hal itu, yaitu penjelasan ekonomis di atas tadi. Saya menerima penjelasan sosiologis dan ekonomis seperti itu. Toh pelbagai pendapat dan pengamatan itu diajukan oleh para ahli dalam bidangnya masing-masing. Tetapi saya mencoba mencari sebuah cara penjelasan yang lain. 

Nah, di sini saya tiba-tiba teringat akan pengalaman saya di Taiwan pada pertengahan sampai menjelang akhir November 2002. Pada saat itu, setelah saya selesai studi teologi di Nijmegen, negeri Belanda, seorang kawan saya, Brother Edmund Chia, yang juga menempuh studi doctoral teologi di Nijmegen saat itu, dan juga bekerja pada departemen doalog pada FABC di Bangkok, mengundang saya untuk ikut ambil bagian dalam salah satu rangkaian acara CCA di Taiwan.

Sebuah pengalaman yang sangat indah dan juga sangat penting bagi saya. Sebenarnya ada banyak segi dari ruang pengalaman itu yang bisa ditulis. Dan sesungguhnya saya juga sudah pernah menulis dokumentasi pengalaman itu di beberapa tempat lain. Tetapi pada kesempatan ini saya hanya mau mencatat satu dua hal terkait dengan fenomena perubahan yang terjadi saat ini di negara-negara kawasan Teluk.

Pada waktu pertemuan di Taiwan (Taipeh dan Hualien, dan sebuah kota Industri yang lain di Selatan Taiwan), yang hadir ada dari beberapa negara. Selain dari Taiwan sendiri, ada juga dari Hongkong, dari Jepang, di Filipina, dari Thailand, dari Malaysia, dari India, Birma, Laos, Kamboja, Brunei, dan tentu saja dari Indonesia dan Timor Leste. Peserta yang hadir cukup banyak. 

Di sini saya mau mencatat sharing pengalaman dari para wakil Filipina. Mereka terdiri dari beberapa perempuan aktifis, beberapa pria awam aktifis, dan juga ada beberapa imam. Selain itu ada juga yang berasal dari kalangan gereja-gereja Protestan.

 

Kesaksian Para Pekerja Migran Filipina

Yang menarik bagi saya ialah sharing dari beberapa perempuan peserta dari Filipina. Hampir sebagian besar dari mereka adalah eks para pekerja migran yang sudah selesai melaksanakan tugas mereka sebagai pekerja migran di beberapa negara kawasan teluk (Arab Saudi, Qatar, Bahrain, Kuwait, Uni Emirat Arab, dll). Tentang para pekerja migran Filipina ini, ada beberapa catatan penting. Oleh negara mereka dianggap sebagai asset yang sangat berharga bagi negara. Oleh karena itu mereka sangat dilindungi secara hukum oleh negara. Ke mana pun mereka pergi, perlindungan dan bantuan hukum oleh negara akan diberikan kepada mereka.

Hasilnya, tidak ada pihak manapun di dunia ini, bahkan termasuk negara-negara di Eropa sekalipun yang berani berbuat sembarangan saja terhadap para pekerja migran Filipina, sebab jika mereka diperlakukan tidak adil, maka para lawyer Filipina tidak akan segan-segan menyeret para pelaku ke pengadilan internasional. Hal itu berbeda sekali dengan kondisi para pekerja migran kita yang tidak jarang pulang hanya tinggal nama saja dalam sebuah keranda. 

Jadi, karena itu, para pekerja migran Filipina, di mana pun mereka pergi bekerja, mereka merasa sangat aman. Sebab mereka menjadi sumber devisi yang sangat tinggi bagi negara mereka. Misalnya, tidak ada negara Timur Tengah yang sering berbuat seenak perutnya terhadap para pekerja migran, terutama yang berasal dari Indonesia, yang mau ambil risiko berbuat serupa terhadap para pekerja migran dari Filipina. Begitu juga para pekerja yang bekerja di Hongkong, di Taiwan, di Jepang, di Malaysia, atau di beberapa negara Asia yang maju-maju. Begitu juga yang bekerja di negara-negara kawasan Teluk, yang setiap kali kita dengar ada saja TKW kita dari Indonesia yang pulang hanya tinggal nama saja.

 

Para Katekis Profesional

Oh ya, satu lagi informasi penting terkait dengan para pekerja migran Filipina ini yang bekerja di beberapa negara kawasan teluk. Pada saat itu, saya mendengar dari mereka, bahwa mereka semua yang berangkat ke negara-negara Teluk adalah katekis professional dengan latar belakang pendidikan kateketik yang mumpuni. Semuanya sudah S1. Atau kalau tidak S1, setidaknya mereka dipersiapkan secara khusus sebagai pekerja migran dengan ketrampilan khusus sebagai katekis. Tujuannya hanya satu agar mereka bisa menjadi para katekis bagi diri mereka sendiri dan juga bagi para pekerja migran lain baik yang dari Filipina, maupun yang berasal dari negara lain yang katolik.

Sebagai katekis, mereka giat melakukan kegiatan mingguan atau bulanan, kegiatan peribadatan, tentu saja secara diam-diam pada masa itu. Ketika mereka pulang ke rumah majikan masing-masing, mereka pun tetap dengan tekun melaksanakan praktik-praktik kesalehan devosional Katolik seperti berdoa malam, doa makan, doa Rosario, baca Kitab Suci. Dan hal itu mereka lakukan dengan tekun sebagaimana para majikan mereka juga rutin melaksanakan sholat. Dengan terus terang mereka mengatakan bahwa mereka melaksanakan semuanya itu karena sebuah agenda perubahan di masa depan yang diharapkan bisa terjadi.

Karena rutin dan seringnya mereka berdoa Rosario, masih kata kesaksian mereka, anak-anak majikan mereka yang lair awal tahun 80an atau awal tahun 90an, masih kecil, masih anak-anak, merasa sangat tertarik mendengarkan mereka mendaraskan doa Rosario itu, apalagi itu diucapkan dalam Bahasa Inggris. Itu sangat menarik bagi mereka. Menjadi semacam "kursus tambahan bahasa Inggris" bagi mereka. Sehingga hampir tiap malam anak-anak itu, kata mereka, meminta kepada para pembantu mereka yang dari Filipina, melantunkan doa-doa Rosario dan bahkan juga mereka, anak-anak itu, meminta untuk diajarkan doa-doa itu. Dan diajarkan. Karena diminta. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa anak-anak itu lebih senang berdoa Rosario daripada sholat. Mereka juga tidak bisa menjelaskan mengapa demikian. Anak-anak itu, di dalam kepolosannya, merasa sangat tertarik. 

 

Mendamba Sebuah Agenda Perubahan

Pada saat itu, teman-teman dari Filipina itu mengatakan, bahwa agenda mereka bukan membuat mereka menjadi Katolik. Agenda mereka bukanlah sebuah pertobatan religius. Itu sama sekali tidak menjadi agenda mereka. Agenda mereka yang paling utama ialah, agar dengan praksis seperti itu, mudah-mudahan di masa depan, entah kapan, entah cepat entah lambat, akan muncul sebuah generasi baru dunia Arab yang lebih terbuka terhadap dunia luar, terhadap orang lain, terhadap terutama agama-agama lain selain Islam. Bahwa di dunia ini yang ada bukan hanya Islam, melainkan ada agama-agama lain yang bahkan lebih tua dari Islam.

Ketika muncul para pemimpin dunia Arab pada dasawarsa kedua abad keduapuluh satu ini, yang sangat terbuka, dan progresif di dalam memikirkan prospek hidup negara dan bangsanya ke depan, serta merta saya terpikir kepada kegiatan para katekis dari Filipina ini dulu pada akhir tahun 80an, atau awal tahun 90an. Anak-anak yang lahir pada awal tahun 80an itu, saat ini sudah berusia 40an tahun, usia yang sudah mulai matang untuk menjadi pemimpin di segala lini di negara mereka masing-masing. 

Diakui atau tidak, harapan mereka akan munculnya sebuah generasi baru yang lebih terbuka dan modern, saat ini sudah muncul. Kalau dihitung dari akhir tahun 80an, artinya butuh waktu tigapuluh tahun. Atau kalau dihitung dari awal tahun 90an, juga kira-kira dibutuhkan waktu yang kurang lebih sama. Sebuah perubahan di dalam cara berpikir, di dalam cara pandang, yang pada gilirannya bisa mempengaruhi falsafat hidup berbangsa dan bernegara, memang butuh waktu yang panjang, dan butuh kerja-kerja kecil yang tampak sepele dari para katekis Filipina itu.

 

Penutup: Campur Tangan Ilahi

Saya tidak mau membesar-besarkan peranan mereka, tetapi saya juga tidak mau meremehkannya. Tentu saja, di sana ada campur tangan penyelenggaraan Ilahi, Roh Allah, Roh Kudus, bertiup di mana saja dan ke mana saja Ia kehendaki. Maka tatkala Maret 2019, Paus di Undang ke Uni Emirat Arab, saya sudah membayangkan perubahan itu.

Begitu juga ketika moderasi yang dihembuskan oleh pangeran Salman dari Arab Saudi, saya juga juga mendambakan perubahan itu. Hal yang sama juga saya dambakan ketika kemarin Paus Fransiskus mendarat di Bahrain dan merayakan ekaristi di sana. Nama Yesus digemakan dengan lantang di sana dan dengan itu juga dimuliakan di sana.

Diam-diam saya juga berharap, perubahan yang mulai terjadi di kawasan Teluk itu, juga membawa perubahan ke Indonesia. Semoga demikian. Tidak ada salahnya untuk terus menerus berharap juga di tengah kondisi di mana harapan itu seakan-akan tidak tampak sama sekali. Tuhan terus menerus bekerja,mendatangkan perubahan, perbaikan.

 

Taman Kopo Indah

Dr. Fransiskus Borgias, M.A.,


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO