PERCIKAN-PERCIKAN INGATAN DAN KENANGAN AKAN PATER YAN OLENZKY SVD
Oleh: Fransiskus Borgias.
Pengantar Singkat
Kemarin, saya merasa terkejut setelah membaca berita tentang
wafatnya Pater Yan Olensky SVD. Setelah lama tidak terdengar, rupanya ia
kembali ke negeri asalnya di Polandia sana. Beberapa waktu lalu, tetapi saya
lupa kapan persisnya, saya pernah membaca berita di WAG ALUMNI SANPIO, yang
memberitahukan agar kami semua memanjatkan doa karena Pater Yan sedang sakit.
Bahkan ada foto juga yang memperlihatkan pater Yan sedang berbaring di ranjang
sakitnya. Tetapi sesudah itu tidak terdengar kabar apa pun lagi tentang dia.
Lalu tiba-tiba kemarin, tersiarlah kabar itu, bahwa Pater Yan Olensky, orang
saleh itu telah pergi untuk selamanya, meninggalkan kita semua.
Kemudian secara bergeriliya, saya mencari foto beliau.
Kebetulan, seorang teman, Petrus Sambut, teman kelasku di Kisol dan berada
dalam satu WAG SANPIO75PLUS, yang juga berasal dari Paroki Kisol, paroki yang
pernah juga digawangi oleh Pater Yan, meminta teman-teman agar jika ada foto
Pater Yan, segera dimuat di WAG kami. Saya pun berburu, ke beberapa laman
facebook beberapa orang yang kiranya dengan satu dan lain hal bertautan
kenangan ataupun kepentingan dengan Pater Yan. Akhirnya saya menemukan foto di
Laman Romo Lorens Sopang. Saking semangatnya, saya langsung crop foto itu,
tanpa memohon ijin lagi, untuk itu saya mohon maaf Romo Lorens, sekalian juga
mohon ijin, dan foto hasil crop-an itu saya muat di WAG SANPIO75PLUS. Petrus
Sambut sangat senang melihat foto itu.
Tidak lupa saya juga memuat foto yang sama itu di laman
facebook saya. Setelah foto itu terpambang di sana, saya pun mulai menulis
percikan-percikan ingatan dan kenangan saya di laman facebook saya itu.
Ternyata ada banyak juga percikan ingatan dan kenangan itu. Hari ini, saya
menyempatkan diri untuk mengumpulkan percikan kenangan itu, menjadi sebuah
catatan obituary, dalam rangka in memorian untuk pater Yan yang kami semua
sangat cintai, dan karena itu juga sangat kehilangan. Nah, catatan saya kali
ini, tidak lain hanya kumpulan percikan yang kemarin sudah muncul di laman
facebook saya secara terpisah. Di sana-sini saya tambahkan juga beberapa
percikan kenangan dari beberapa pembaca saya di sana, seperti dari adik Hendrik
Jomi. Makasih yah.
Terlembar ke Oktober 1974
Kenangan pertama saya akan dia adalah pada bulan Oktober tahun 1974. Pada waktu itu, dia baru pulang dari Ranggu utk melakukan testing masuk ke seminari untuk para calon seminari Kisol di sana. Kalau tidak salah juga, dia ke Orong. Nah, sebelum ke Ruteng, Pater Yan, mampir dan nginap di Pastoran Paroki Ketang, di rumah Pater Thomas Krumpt SVD. Dia ke Ruteng bersama Pater Franz Mizaros SVD, pastor Paroki Ranggu. Tatkala akan ke Ruteng untuk mengawasi testing masuk seminari di Ruteng, Pater Thomas, menitipkan saya dan satu orang teman lain untuk ikut test di Ruteng. Bapa saya juga ikut ke Ruteng, naik dalam Jip yang sama. Pokoknya seru saja.
Sepanjang jalan dari Ketang ke Cancar dan sampai di Ruteng, ia banyak bercerita tentang pelajaran agama, tentang sejarah, tentang ilmu pengetahuan sosial. Kadang-kadang mengajukan pertanyaan kepada kami berdua. Dan saya yang paling rajin dan tekun menjawab. Ternyata cukup banyak dari cerita-cerita dia itu yang keluar dalam tes besoknya... Jadi, yah, saya amanlah. Sayangnya temanku tidak lulus. Hanya saya seorang diri saja yang lulus dari SDK Ketang. Sedikit bongkar rahasia. Hehehehehe... Mungkin dia pikir, anak ini harus dibantulah... mukanya kampungan, kalau tidak ditolong, tidak bisa lulus... hehehehehe... tetapi dia puas, karena dialog kami lancar-lancar saja...
Akhir Oktober 1974, atau awal November, saya
sudah mendapat kabar bahwa saya lulus testing masuk Seminari Kisol. Senang dan
sangat bangga, karena satu-satunya dari SDK Kami, bahkan satu-satunya juga dari
seluruh Paroki Ketang-Rejeng pada saat itu. Pada Bulan Januari 1975, saya ke
Kisol. Setelah sampai di Kisol, saya baru tahu dan sadar bahwa ternyata Pastor
yang Oktober tahun lalu, telah memberi tumpangan kepada saya, adalah rektor
Seminari Kisol. Wow, senang sekali rasanya, masih SD sudah numpang Jeep nya
pater Rektor. Begitu pikirku saat itu.
Saling Mengakukan Dosa Antar Imam
Ada satu teladan yang saya pelajari dari para pastor SVD yang tua-tua ini di Kisol dulu. Ketika menjelang masa Prapaskah, ada beberapa pastor dari Paroki di sekitar Kisol yang datang bantu dengar pengakuan anak-anak seminari yang cukup banyak jumlahnya dan dosanya juga banyak... saya masih ingat baik, salah satu pastor yang datang ialah Pater Josef Cretzjmar SVD pastor Mok. Rupanya mereka juga datang ke Kisol utk saling mengaku dosa di antara para imam. Saya terkejut karena melihat pertama kalinya kesaksian hidup mereka. sebelum melayani para siswa, Pater Josef duluan masuk kamar pengakuan, mengaku dosa ke pater Yan.
Sesudah itu, pater Yan keluar dari ruang Bapa
pengakuan dan masuk ke ruang pendosa, dan pater Yosef jadi Bapa Pengakuan
mendengarkan pengakuan Pater Yan. Melihat hal itu, saya benar-benar terharu.
Tidak ada paksaan. begitu seorang rekan imam dengan rendah hati mengaku
kepadamu, kau harus lebih rendah hati lagi mengakukan dosamu kepada imam itu.
Itu pelajaran yang saya ambil dari hal itu. Saya berjanji, akan berbuat seperti
itu, kalau sudah jadi imam. Sayangnya, saya tidak ditahbiskan... hehehehe…
Devosi Marial Yang Sangat Kuat
Ada banyak hal yang bisa diteladani dari Pater Yan ini. Salah satunya adalah devosinya yang sangat kuat dan tulus akan Bunda Maria. Jauh di kemudian hari, setelah mendalami hidup dari Paus Yohanes Paulus II, akhirnya saya sadar dan tahu bahwa memang devosi orang-orang Polandia akan sang Bunda sangat kuat. Sikap devosional itu tampak dalam ketekunan pater Yasu berdoa rosario. Ia akan mengiringi ujian para siswa seminaris dengan doa rosario yang tekun. Ketika memberi pelajaran agama, saya ingat, dia mengisahkan santo Polandia dalam Perang Dunia II, lebih dari tiga kali. Itu sejauh ingatan saya. Sang Santo itu adalah Maximilianus Maria Kolbe. Dia menceritakannya dengan penuh pengenangan dan rasa kagum yang luar biasa. Rupanya sang santo memang mendapat yang luar biasa dalam hati Pater Yan.
Satu lagi kenangan unik saya akan dia. Kalau kita menulis jawaban ujian agama Katolik, maka ia menghendaki agar kita menulis jawaban kita dari ujung kiri sampai ujung kanan. Harus penuh. Tidak boleh ada ruang kosong. Ruang kosong itu ia anggap sebagai pemborosan kertas. Ia menyebutnya, itu namanya menyembah berhala. kertas ujian tidak boleh ada ruang untuk menyembah berhala. Maka para siswa harus tulis lembar jawaban dari ujung atas sampai bawah, dari kiri sampai ke kanan. Pokoknya penuh saja. Hehehehe.... Pastor yang unik juga... dalam hal yang satu itu...
Sedemikian kuatnya devosi Pater Yan, akan
Bunda Maria, sehingga bahkan dalam ujian agama Katolik pun, kami diberitahu
oleh para senior, dan nanti hal itu juga diturunkan kepada para junior,
sebagaimana dicatat dengan baik oleh Hendrik Jomi Canggu, agar dalam lembar
jawaban ujian kami, jangan lupa menulis nama Bunda Maria, kalau bisa
sebanyak-banyaknya. Dijamin itu pasti lulus. Tidak mungkin tidak lulus. Bahkan
lulus dengan sangat baik, artinya, pasti dapat angka 8. Hehehehehe… Unik sekali
pater Yan ini jika dipikir-pikir dari segi yang ininya.
Seorang Bapa Pengakuan Yang Sabar Mendengarkan
Satu lagi percikan ingatan saya akan Pater Yans Olensky yang baik hati ini. Dia dikenal di kalangan siswa seminaris sebagai seorang bapa pengakuan yang baik, dengan sikap mendengarkan yang mumpuni. Kalau Pater Yan sudah duduk di ruang pengakuan dosa, maka ada banyak sekali siswa yang antri di depan ruang itu. Entah mengapa? Termasuk saya sendiri juga. Padahal ia memberi absolusi dan penitensi tidak main-main. Satu kali Bapa Kami, dan 50 Salam Maria. Itu sudah sama dengan menyuruh kita berdoa Rosario.
Atau lain kali ia memberi kita penitensi dalam bentuk jalan salib. Dan itu berat, serta makan waktu. Katakanlah untuk masing-masing keempatbelas stasi itu, kita habiskan waktu minimal 3 menit. Itu artinya 3 menit kali 14 stasi, belum ditambah doa pembuka dan doa penutup, masing-masing dua menitan gitulah. Jadi, totalnya 46 menit. Ya, sudah hampir satu jam sendiri untuk melaksanakan penitensi yang diberikan. Belum lagi, kalau lebih dari lima menit untuk masing-masing stasi. Maka akan lebih lama lagi. Itu sudah pasti.
Alkisah, ada seorang teman kelas, yang tidak usah saya sebutkan namanya di sini, tetapi pasti orangnya sendiri, kalau baca catatan ini pasti tahu bahwa dialah yang dimaksudkan. Ia mendapat penitensi dari Pater Yan berupa kewajiban berdoa jalan salib. Celakanya, hari sudah malam. Ia mendapat giliran masuk ruang pengakuan sudah agak malam. Lalu ternyata mendapat penitensi jalan salib. Kalau dia lakukan malam itu, dapat dipastikan, ia akan kemalaman di gereja. Kalau kemalaman, maka pasti akan gelap, karena listrik dimatikan dari pusatnya.
Oleh karena itu, teman ini tidak kehilangan
akal. Daripada berdoa terlalu lama, dan juga takut kemalaman dan takut gelap
juga karena listrik mati, maka ia putuskan untuk melaksanakan penitensi itu
cepat-cepat. Hampir secepat kilat. Masing-masing stasi itu ia datangi dan
pandangi, tidak lebih dari setengah menit. Sesudah itu ia pindah ke stasi
berikutnya, sampai ke stasi yang keempatbelas. Jadi, empatbelas stasi itu tidak
sampai empatbelas menit. Sudah selesai. Lalu ia pulang. Kami semua yang lain
terheran-heran melihat dia yang begitu cepat secepat kilat merenungi
stasi-stasi itu. oh teman yang satu itu, memang ada-ada saja. Belum lagi, dia
jalani penitensi itu sambil membuang angin. Lebih parah lagi. parah
separah-parahnya. Ya begitulah. untung dia tidak jadi imam... hehehehe...
100 Tahun SVD
Angkatan saya yang masuk ke Kisol, adalah angkatan yang keduapuluh. Masuk Januari 1975. Tetapi kami sangat bersyukur juga bahwa Bulan September 1975, di Kisol ada pesta keluarga yang sangat besar, karena sekaligus dirayakan dengan Perayaan 100 tahun kelahiran SVD, 1875. Ada pesta sangat besar. Bahkan Pater General SVD dari Roma, Pater Hendrick Haekaeren, SVD (kalau tidak salah begitu namanya ditulis, maaf kalau salah), juga hadir di Kisol. Agung dan meriah sekali pesta itu. Ada banyak makanan melimpah. Untuk orang kampung seperti saya, ada makanan baru yang diperkenalkan oleh seorang Bruder dari Jerman, Bruder Bernhard. Nama makanan itu adalah Wurzt, Worzt (kalau versi Belandanya).
Itu tidak lain adadlah Daging giling
yang diisi dalam usus halus sehingga bulat panjang, seperti torpedo. Kita sebut
torpedo si Ramal, nama anjing jantan di Kisol pada waktu itu. Walaupun beberapa
teman tidak suka, atau tidak mudah adaptasi dengan makanan daging olahan itu,
tetapi saya termasuk cepat beradaptasi. Lidah kampungku tidak terlalu mengalami
kesulitan.
Masih terkait dengan ini, saya tambahkan juga satu informasi yang sangat menarik. Pada waktu itu, SVD Ruteng berhasil memilih seorang Pater Regional baru. Kebetulan Pater Regional yang baru ini sebelumnya bertugas sebagai Pater Deken Reo dan juga pastor Paroki Reo. Namanya, Pater Paulus Remet. Itu sebuah berita besar dan penting bagi SVD Manggarai. Karena itu, Pater Yan, menyinggung berita itu sampai beberapa kali di Kelas. Rupanya tidak hanya di kelas kami, tetapi juga di kelas-kelas senior di SMA.
Biasanya dia ceritakan begitu:
"Eee... siapa itu dari Reo itu berasal a....? Ya, ya, ya, itu Pater Polus
Remet ya, Regonal jadi." Pater Yan menceritakan hal itu dengan sangat
bangga dan bahagia, mungkin karena Pater Polus ini juga berasal, kalau tidak
salah, dari Polandia juga. Kalau diamati struktur kalimat bahasa Indonesia
cerita di atas, terasa lucu sekali.
Lalu ada seorang kakak senior dari kelas V, kalau tidak salah, Martinus Nahas, yang kemudian mengarang sebuah teks lagu, dengan memakai kalimat yang lucu itu. Lagunya sebenarnya lagu berbahasa Inggris, tetapi teksnya diganti dengan kata-kata itu tadi: "Siapa dari Reo, itu berasal. Pater Polus Remet, Regonal jadi." Rasanya pada waktu itu, semua siswa seminaris dari kelas I sd Kelas VII sangat hafal dengan lagu itu.
Catatan Penutup
Saya mau akhiri tulisan saya ini dengan mengutip komentar dari seorang pembaca saya di Face-Book, yaitu adik Konstantinus Kender. Dia mengatakan demikian: “Satu persatu mereka tiada. Tapi seperti gajah meninggalkan gading, mereka sudah meninggalkan jejak-jejak yang benar dan baik. Sadar atau tidak, cara hidup kita, cara berpikir, merasa kita dibentuk oleh Para misionaris ini. Itu ditular kepada guru-guru, guru agama, kemudian diteruskan.” Lebih lanjut ia mengatakan demikian: “Mereka dari Eropa dengan kewahan nya waktu itu mau datang ke Flores dengan keadaaan waktu itu, benar2 sungguh mulia jiwa mereka. Jarang sekali bahkan tidak pernah kita mendengar sedikit pun cacat cela nya. Kita hanya bisa berdoa untuk mereka. Kita bersyukur kita menjadi katolik langsung dari tangan para misionaris ini.”
Tentu saja saya mengamini semuanya
ini dengan penuh kenangan akan dia yang sudah kembali ke dalam ruang keabadian,
ruang cinta kasih Allah yang maharahim, ke mana kita semua akan kembali lagi,
bila sudah tiba waktunya. Hidup ini hanya giliran saja. Mati juga begitu.
Makasih banyak sudah memberi komentar di sini... ia salah satu orang yang berjasa besar bagi Manggarai, baik lewat pendidikan di seminari, maupun lewat karya pelayanan dia di beberapa Paroki (Kisol, Todo, Mukun, Orong).... luar biasa sekali...
BalasHapus