DARI ANALOGIA “IMAGO VIRIS” KE ANALOGIA “IMAGO CREATORIS”
en arche en ho logos
Oleh: Fransiskus Borgias
Catatan Pengantar
Beberapa minggu yang lalu (oh ya saya
perlu menginformasikan juga bahwa saya sudah menulis tulisan singkat dan
sederhana ini di dalam BH-ku pada tanggal 25 Mei 2022), seorang temanku (yang
tidak perlu saya sebutkan namanya di sini, karena saya belum meminta ijin
kepadanya, tetapi inisialnya GM), yang mempunyai hobi fotografi (bahkan
sekarang ia sudah menjadi seorang fotografer professional juga karena sudah
menghasilkan beberapa buah buku foto tokoh fullcolor yang luar biasa), menampilkan
(memuat) beberapa hasil karya fotografinya itu di laman Facebook-nya sendiri.
Itu adalah sebuah kebiasaan yang sudah
rutin ia lakukan setiap hari. Tiada hari tanpa fotografi. Seakan-akan ia mau
menegaskan hidup dan keberadaannya dengan fotografi. Seakan-akan di sana ada
sebuah gema yang super halus dari adaptasi atas perkataan si filsuf Descartes
itu, “saya mem-foto maka saya ada” (adaptasi dari “cogito ergo sum”-nya si
Cartesius itu). Ia menjadikan “seluruh alam ini” sebagai “objek” fotografinya.
Hasilnya? Ada foto orang atau foto manusia, ada juga foto binatang (fauna), dan
ada juga foto tetumbuhan (flora), dan ada juga foto alam dalam artian yang
seluas-luasnya. Dalam kategori foto-foto orang atau manusia, ia juga
menampilkan foto-toto isterinya, yang pada umumnya berdiri seorang diri di sana
(di dalam foto tersebut).
Komentar Yang Menggelitik
Lalu, sebagaimana biasa, hasil-hasil foto
itu dinikmati oleh teman-teman Facebooknya. Sebab hasil dari foto-foto itu amat
memanjakan mata teman-temannya, termasuk saya sendiri (yang amat mengagumi
karya-karya itu). Ada yang menandai foto-foto itu dengan tanda like (suka) dan
pelbagai emoticon apresiatif lainnya (seperti jempol). Ada juga yang memberi
komentar dan isi komentar itu pun ada bermacam-macam juga. Nah, ada sebuah
komentar yang menurut saya sangat menarik, karena komentar itu menggelitik
secara teologis, artinya komentar itu memunculkan sebuah refleksi teologis
tertentu dalam diri saya. Dan itu bagi saya adalah sesuatu yang sangat luar
biasa. Dan juga amat penting. Tidak boleh dilewatkan. Harus dicatat sebagai
kenangan akan dia.
Ya, kurang lebih ada komentar dari
seseorang komentator di Facebook yang berbunyi seperti ini: Seorang suami yang
mempunyai hobby fotografi (menjadi tukang foto), saat ia memfoto isterinya,
hanya bisa menampilkan foto sang isteri itu seorang diri di sana. Artinya,
hanya sang isteri itu sajalah yang tampak di dalam hasil foto tersebut. Sedangkan
si suami, yaitu sang fotografer itu sendiri, tidak tampak (kecuali jika foto
itu kemudian diedit sedemikian rupa sehingga si suami pun bisa hadir dan tampak
di sana).
Sebuah komentar yang sangat singkat,
sederhana, yang jika dibaca secara sekilas pintas, tidak seakan-akan tidak bermakna
apa-apa. Tetapi setelah direnungkan secara lebih tenang dan lebih mendalam,
maka tampak jelas bahwa di dalam komentar itu ada sebuah pandangan teologis
yang penting dan juga amat mendasar. Percikan pandangan teologis itulah yang
ingin saya catat dan beri komentar di sini.
Percikan Ilham Sebuah Ide Teologis
Pada saat membaca komentar itu saya merasa
seperti sedang mendapat sebuah ilham yang sangat penting dan menarik. Untuk itu
saya pun segera menuliskannya dalam BH saya (BH: Buku Harian). Ilham ide itu
kurang lebih mengatakan demikian: pada saat seseorang melihat foto seorang perempuan
(yang adalah isteri dari seseorang yang lain) berdiri sendirian di dalam hasil foto,
maka kehadiran sang suami diandaikan ada di seberang sini dari foto itu; ia
(sang suami itu) hadir sebagai sebuah kehadiran atau sebuah keber-ada-an yang
tidak tampak, tetapi mutlak diandaikan ia “ada di sana” di suatu tempat
tertentu. Ada di sana berarti ia hadir.
Nah, kehadiran yang tidak tampak itulah
yang bisa menjelaskan mengapa sang isteri bisa berpose dan berekspresi dengan
cara tertentu di dalam hasil foto tersebut, sebab pose dan ekspresi itu tampak
ia seperti sedang berdialog, atau berkomunikasi dengan dia, dengan seseorang,
yaitu dengan dia yang ada dan hadir di sana, walaupun tidak tampak, karena ia
hadir dan ada di seberang sini dari foto (jika hasil foto itu kita katakan ada
di seberang sana). Nah, ada dan kehadiran sang isteri itu sebagai sebuah gambar
dalam bingkai sebuah fotografi, sekali lagi sangat mutlak mengandaikan sang fotografer-nya, yang
kebetulan dalam kasus ini, adalah sang suaminya sendiri.
Dari Imago viri ke Imago Dei
Ketika menyadari percikan singkat insight teologis
ini, saya tiba-tiba teringat akan kisah penciptaan di dalam kitab Kejadian itu
(Kej 1:26-28). Di sana dikisahkan bahwa Tuhan menciptkan manusia menurut gambar
dan rupa Tuhan itu sendiri. Kurang lebih Tuhan mengatakan (berkata) kepada
DiriNya sendiri: Marilah Kita menciptakan manusia menurut gambar dan rupa kita.
Di sini saya tidak akan masuk terlalu jauh dan dalam ke dalam wacana tafsir
(exegetis-teologis) atas teks itu. Di sini saya hanya menulis sebuah catatan
singkat dan sederhana saja.
Setelah Tuhan mengucapkan kalimat itu,
maka muncullah manusia, laki-laki dan perempuan, Ia menciptakan mereka. Dan hasil
dari proses penciptaan itu ialah ada dan hadirnya manusia di sana (dalam artian
Heideggerian, da sein, Dasein, yaitu Sein yang men-Da, sang ada yang berada di
sana), yaitu di dalam dunia. Tetapi ada dan kehadiran manusia itu di sana, di
dunia, Dasein, sangat mutlak mengandaikan adanya sang pencipta yang juga ada
dan hadir di sana, walaupun tidak tampak. Sebab tidak mungkin keberadaan dan
kehadiran sang creatura di sana bisa
dibayangkan tanpa ada dan kehadiran sang creator-nya.
Keberadaan sang creatura mutlak
mengandaikan keberadaan sang creator
itu sendiri. Begitulah kira-kira logikanya.
Walaupun sang creator itu tidak tampak,
tetapi ada dan kehadirannya bisa diandaikan secara mutlak dan pasti berdasarkan
keberadaan dan kehadiran dari sang creatura itu. Aku yang melihat manusia yang
ada dan hadir di sana, secara intuitif-kodrati tahu dan percaya juga bahwa di
seberang sini dari “sana”-nya gambar Allah (imago
Dei) itu, ada dan hadir sang Deus (Creator) itu sendiri, walaupun tidak
tampak, tetapi sangat mutlak diandaikan ada dan hadir di sana. Jika tidak
demikian, maka tidak mungkin sang gambar (imago) itu bisa mulai berada begitu
saja di sana, dan hadir begitu saja di sana, tanpa ada sang pelukis itu sendiri
di sana, yaitu dia yang menghasilkan gambar (atau imago) tadi.
Analogia Photographiae ke Analogia Creatoris
Kembali ke hasil fotografi teman saya
tadi. Ada dan kehadiran dari si pelukis itu mutlak diandaikan ada pada saat ada
dan hadir sebuah hasil karyanya di sana. Jadi, dari fotografi sang suami tadi
yang hanya menampilkan isteri, tetapi sang isteri itu, dalam foto tadi adalah
imago viri, sebagaimana dalam drama kisah penciptaan, manusia yang adalah hasil
ciptaan Allah, menjadi imago Dei.
Saat melihat isteri (sang objek, eh subjek)
di dalam foto itu, kita secara otomatis teringat akan sang suami, sebab isteri
dalam foto itu adalah imago viri. Kurang lebih sama dengan fakta bahwa saat
melihat manusia ciptaan, kita teringat akan sang pencipta, sebab manusia itu
adalah imago Dei. Oleh karena itu, kiranya tepatlah untuk dikatakan bahwa
analogia photographiae itu bisa kita pakai sebagai sebuah sarana atau jalan
untuk bisa sampai pada dan memahami sebuah analogia yang lain, yaitu analogia
creatoris.
Tatkala saya sudah sampai pada tahap
kesadaran itu, saya pun menjadi lega betapa semua benda dan makhluk ciptaan di
dunia ini adalah jejak-jejak sang pencipta itu sendiri (vestigial creatoris). Tidak
hanya benda atau makhluk ciptaan jasmani yang tampak saja, melainkan juga
bahkan idea-idea di dalam gagasan analogia-analogia juga merupakan percikan
sang logos abadi itu, yang menurut refleksi teologi Yohanes penginjil, sudah
ada pada awal mula, dan ada bersama dengan Alllah, dan juga adalah Allah. Dan
dalam posisi serta martabat itu, sang sabda pun ikut serta ambil bagian di
dalam proses penciptaan itu sendiri, suatu yang dengan mudah dapat kita
bayangkan, karena ketika Tuhan pada awal mula menciptakan segala sesuatu, maka
Tuhan hanya ber-sabda saja maka segala sesuatu pun menjadi ada dan mulai
berada.
Wacana Teologi Selfie
Ketika sedang menulis percikan ide
teologis itu, saya tiba-tiba sadar bahwa apa yang baru saja saya katakan atau
tulis di atas mengandung sedikit masalah. Yaitu ada soal sedikit tentang wacana
teologi di atas tadi, terutama jika dikaitkan dengan perkembangan teknologi
fotografi pada masa kini. Yang saya maksud bukan perkembangan teknologi alat
fotografi, melainkan teknik atau cara membuat foto. Persisnya yang saya
maksudkan ialah perkembangan fotografi yang disebut selfie ataupun wefie. Apa itu
selfie? Ini adalah foto diri sendiri (self) yang dibuat oleh diri sendiri. Apa itu
wefie? Ini adalah foto bersama (karena itu disebut we, lawan dari self) tetapi
sama-sama dibuat oleh diri sendiri (yaitu salah satu dari orang di dalam
kelompok we tadi).
Jadi, baik selfie maupun wefie adalah
sebuah foto di mana si orang yang tampak dalam hasil foto, dia itu sendirilah
yang menghasilkan foto itu; jadi, ini adalah foto oleh dirinya sendiri. Bukan oleh
orang lain di luar sana. Dalam sebuah hasil foto selfie atau wefie, memang ada
gambar (hasil foto), tetapi yang mengambil gambar itu bukan orang lain, bukan
siapa-siapa tetapi diri sendiri.
Dalam kasus ini, saat kita atau saya
melihat gambar hasil foto selfie atau wefie itu, kita tidak bisa secara
otomatis dan alami (natural) mengandaikan ada dan kehadiran seorang fotografer (sebagai
orang lain) di luar sana. Sebab memang ia tidak ada di sana. Jadi, objek foto
itu bukan imago alii, melainkan imago sui (semoga istilah-istilah Latin yang
saya pakai ini tepat). Di dalam imago alii, dengan gampang saya mengambil
sebuah simpulan teologis dari imago dei, yaitu dari sang imago (manusia)
sebagai hasil ciptaan, saya membayangkan sang penciptanya, sang creator, yaitu
Deus, Allah sendiri. Teknik foto selfie, sepertinya tidak membantu ke arah simpulan
teologis seperti itu.
Betulkah demikian? Mungkin ada saja orang
yang mengambil simpulan teologis seperti itu. yaitu, berdasarkan teknik
fotografi selfie, kita tidak bisa mengambil simpulan teologis sebagaimana yang
sudah saya bentangkan sebelumnya tadi. Tetapi menurut saya, kehadiran sang
fotografer (dalam teknik selfie dan wefie) itu tetap sangat tersirat dalam
sudut pandang yang amat berjarak dalam peristiwa foto selfie itu sendiri. Sebab
untuk bisa menghasilkan foto selfie dan wefie, memang tetap harus ada sebuah
jarak (distansi) tertentu. Jarak itu tetap menjadi sebuah syarat mutlak.
Nah, jarak tertentu dari “sana” juga
mutlak mengandaikan ada dan hadirnya sang “fotografer” imajiner di sana. Hanya
peranan sang fotografer itu kini diambil oleh sang objek itu sendiri. Tetapi jejak
keberadaan dan kehadiran sang fotografer imajiner itu tetap secara mutlak
diandaikan ada dan hadir dalam sebuah “jarak” (distansi) tertentu yang bisa
menciptakan ruang dan sudut pandang yang pada gilirannya bisa menghasilkan
sebuah karya fotografi. Jarak objektif itu mutlak mengandaikan ada dia yang “jauh”
(berjarak) di sana, dan dari situasi ber-jarak di sana itulah, ia bisa mengambil
dan membuat sebuah gambar, sebuah foto.
Bandung, Taman Kopo Indah, 25 Mei 2022.
Dikomputerkan pada tanggal 30 Desember
2022.
Komentar
Posting Komentar