PENGALAMAN “JERAMI KERING” THOMAS AQUINAS

Oleh: Fransiskus Borgias M.

gambar dari google search

 

Pengantar Singkat

Pada hari ini, tanggal 28 Januari, penanggalan liturgy gereja Katolik mempunyai sebuah Peringatan Wajib untuk Santo Tomas Aquinas, seorang imam dan pujangga Gereja. Tentu bagi keluarga besar Dominikan, Ordo Praedicatorum, hari ini adalah sebuah Hari Raya, karena memang Thomas adalah seorang tokoh yang besar di dalam sejarah gereja, dan juga di dalam dunia pemikiran filosofis dan juga teologis. Hingga saat ini, pemikiran Santo Thomas Aquinas masih terus digali orang dan masih terus menjadi inspirasi yang sangat kaya dan mendalam bagi kehidupan rohani dan intelektual di dalam Gereja.

Tulisan ini sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun yang silam. Tetapi pada hari ini saya mencoba membacanya kembali dengan memberi sebuah catatan pengantar singkat agar dapat diposting ulang pada kesempatan yang istimewa ini. Ini adalah salah satu cara yang biasanya saya pakai untuk merayakan seorang tokoh dan menandai sebuah hari yang penting bagi tokoh tersebut di dalam bingkai penanggalan liturgy gereja Katolik. Tentu saya sangat berharap agar tulisan ini bisa mendatangkan banyak ilham agung bagi para pembaca yang sempat membacanya. Karena teladan para orang kudus dibentangkan kepada kita semua untuk menjadi pelajaran berharga bagi hidup kita masing-masing.

 

Mempersiapkan Supplemen Bagi Summa

Pada tahun 1272-1274, Thomas Aquinas mendapat sebuah penugasan baru dari Ordonya (Ordo Praedicator, Ordo Pengkotbah, atau lebih sering dikenal dengan sebutan Dominikan) untuk berangkat ke Napoli. Di sana ia ditugaskan secara khusus untuk mendirikan sebuah pusat studi khusus untuk kaum Dominikan (terlebih lagi untuk pendidikan para Dominikan muda, agar mereka bisa mendapatkan bekal yang memadai). Namun perlu juga sedera disadari bahwa ini merupakan tahun-tahun terakhir dalam masa hidup Thomas (walau ia tidak sadar akan hal itu dan juga tidak menghayati kurun waktu itu dalam bingkai kesadaran tersebut). Sembari melakukan tugas umum tersebut dari pimpinan ordonya, Thomas juga berusaha merampungkan proyek besarnya, yaitu penulisan Summa Theologia. Tentu saja hal itu masuk akal, sebab ia sudah lama membaktikan seluruh hidupnya untuk proyek tersebut.

Sebenarnya tugas menulis Summa itu sudah rampung. Tetapi adalah biasa pada jaman itu, orang bisa juga menulis bahan susulan. Baik untuk menarik kembali beberapa bagian yang mungkin dinilai tidak lagi begitu tepat, dan karena itu disebut retractio. Ada juga yang menambah bagian yang mungkin sebelumnya ada atau belum begitu eksplisit dirumuskan secara verbal. Ataupun sebuah koreksi atas sebuah “kesalahan” tertentu dan karena itu disebut correctio. Konon Tomas sendiri sudah membuat banyak catatan-catatan untuk retractio dan correctio tersebut. Tinggal diterbitkan saja pada waktu yang tepat.

 

Sebuah Pengalaman Mistik

Tetapi tanpa diduga-duga sama sekali, pada tahun 1273 Thomas mengalami sebuah pengalaman mistik, sebuah pengalaman yang luar biasa. Hal itu kiranya sangat tidak mengherankan juga karena memang Thomas Aquinas juga adalah seorang yang hidup rohani dan hidup doanya sangat mendalam dan intens. Bahwa ia akhirnya terseret ke dalam sebuah pengalaman mistik, kiranya hal itu adalah buah dari kehidupan rohaninya yang matang dan mendalam dan juga sangat konsisten dibinanya dan dihayatinya dengan sepenuh hati. Pengalaman rohani mistik ini sangat penting dan sangat menentukan bagi seluruh kehidupan Thomas, sebab setelah ia mengalami pengalaman mistik tersebut, Thomas tidak mau lagi melanjutkan atau merampungkan proyek teologinya yang sudah disebutkan di atas tadi. Padahal itu hanya sebuah suplemen saja, bukan proyek inti. Padahal juga ia sudah menyiapkan banyak catatan sebagai langkah-langkah persiapan untuk tujuan tersebut. Bahkan persiapan-persiapan tersebut sesungguhnya sudah sangat matang. Tinggal penyempurnaan akhir saja, tinggal sebuah finishing touch.

Tetapi ia sama sekali tidak mau lagi melanjutkan proyek itu. Ia menghentikannya begitu saja secara total. Bahkan ia meninggalkannya, menjadi “terbengkelai.” Melihat hal tersebut, maka sang sekretaris, Reginaldus, pun mendorong dan meminta dia untuk merampungkan proyek tersebut. Toh tinggal hanya membuat semacam suplemen, catatan pelengkap saja. Teteapi jawaban Thomas pada saat itu sangat mengejutkan sebagai seorang intelektual besar sekaliber dirinya: “Non possum”. Artinya, saya tidak sanggup lagi. Saya tidak bisa lagi. Tentu hal ini aneh sekali. Orang yang pintarnya sekaliber Thomas merasa sudah tidak mampu lagi melanjutkan karya ilmiahnya di bidang teologi. Maka ketidak mampuan ini harus diberi sebuah penjelasan yang lain. Ini bukan sebuah gejala hilangnya kemampuan dan kecerdasan intelektual secara tiba-tiba, lalu tiba-tiba menjadi bodoh, dan tidak tahu apa-apa lagi, atau hilang ingatan. Bukan itu. Bukan seperti itu. Lalu apa? Atau bagaimana?

 

Hanyalah Jerami Kering

Apa yang sesungguhnya terjadi pada diri Thomas Aquinas pada saat itu, sehingga ia mengatakan bahwa dirinya sudah tidak mampu lagi (non possum) untuk melanjutkan dan merampungkan karya tersebut? Dikatakan bahwa pengalaman mistik yang dialami oleh Thomas itu sangat indah. Itu adalah pengalaman perjumpaan iman yang sangat bersifat pribadi akan Allah, khususnya akan Allah Tritunggal Mahakudus yang dikenal melalui totalitas peristiwa Yesus Kristus. Pengalaman itu sedemikian indah, intens, dan mendalam, dan menyedot seluruh eksistensi Thomas, sehingga Thomas merasa bahwa seluruh apa yang sudah ia hasilkan selama ini, yaitu proyek teologi dan filsafatnya (pelbagai rumusan verbal tentang Tuhan dan manusia) menjadi tidak ada artinya apa-apa lagi jika dibandingkan dengan momen-momen pengalaman mistik yang begitu indah dan mempesona itu. Sedemikian indah dan dalamnya pengalaman itu sehingga ia merasa bahwa seluruh karya tulis ilmiah teologis yang telah ia hasilkan selama ini tidak lain hanyalah “jerami kering” belaka. Kalaupun semua karya-karya itu dibakar, bagi Thomas hal itu tidak apa-apa juga. Toh semuanya adalah dan hanyalah jerami kering belaka.

Ungkapan “jerami kering” itu hanya mau menunjukkan betapa tidak berartinya lagi seluruh olah rasional dia selama ini di hadapan misteri agung yang menyingkapkan diri dalam dan selama pengalaman mistik tersebut. Seluruh diri Thomas, seakan-akan terserap dan terseret ke dalam pusaran misteri pengalaman mistik tersebut sehingga ia merasa bahwa hanya itu saja yang perlu dan berharga dalam hidup ini, dan yang lain-lain sudah tidak perlu lagi, dan bahkan bila perlu dibuang saja (laksana orang membuang jerami kering yang sudah berguna lagi bahkan sebagai pakan ternak sekalipun). Jerami kering itu cocoknya untuk dibakar saja. Semua ekspresi verbal yang sudah ia upayakan selama ini dan menghasilkan banyak buku dan tulisan yang cemerlang, dianggapnya hanya jerami kering saja. Karena ia seperti sudah mendapatkan mutiara yang terpendam di sebuah taman atau kebun. Dan karena menemukan mutiara berharga itu, ia rela mengorbankan segala sesuatu demi mendapatkan mutiara berharga tersebut. Kira-kira begitulah pengalaman rohani Thomas dapat kita bandingkan.

 

Semua Sia-siakah?

Lalu, apakah semuanya menjadi sia-sia? Mungkin bagi Thomas, ya, seperti itu. Sia-sia. Toh ia sudah ungkapkan dengan jelas bahwa itu adalah sekadar jerami kering saja. Tentu saja bagi gereja, hal itu tidak demikian adanya. Kita tetap harus sadar dan ingat bahwa Thomas bisa sampai ke samudera pengalaman seperti itu, karena semua olah pemikiran teologis dan spiritual dia selama ini. Semua lorong yang telah ia lewati itu selama ini telah membantu dia untuk bisa sampai ke samudera pengalaman mistik itu. Hal itu masuk akal sebab ia melakukan semua aktifitas intelektualnya benar-benar sebagai seorang yang beriman Kristiani sejati, sebagai seorang pendoa yang tekun dan saleh. Semua karya Thomas itu bagaimana pun juga masih tetap sangat berguna bagi kita semua. Kita beruntung bahwa Thomas tidak membakarnya laksana jerami kering. Sampai saat ini kita masih tetap mewarisi karya dan pemikiran Thomas itu dalam bentuk yang lengkap. Untuk itu kita harus bersyukur.

Sadar bahwa Thomas sendiri sudah tidak bisa dan tidak mau lagi diajak untuk merampungkan suplemen bagi karya agungnya tersebut, maka Reginaldus, sang sekretaris pun, dengan memakai pelbagai catatan-catatan persiapan yang sudah dibuat oleh Thomas sendiri, mencoba merampungkan karya suplemen tersebut. Dan puji Tuhan, suplemen itu pun sudah sampai kepada kita dalam keadaan utuh dan lengkap. Perpustakaan-perpustakaan seminari tinggi pasti mempunyai koleksi karya-karya Thomas, baik yang masih dalam Bahasa Latin, maupun yang sudah dalam versi terjemahan (Inggris, Prancis, Belanda, dan pelbagai Bahasa-bahasa Eropa lainnya). Ya, “jerami kering” Thomas tetap menjadi makanan rohani dan budi bagi kita sekalian hingga saat ini. Ya, kita masih bisa “hidup” dan menimba ilham hidup dari kumpulan “jerami kering” Thomas.

 

Diadaptasikan dari beberapa sumber (seperti Frederick Coppleston, F.J. Thonnard, Etienne Gilson, dll).

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO