SABTU SUCI: SEBUAH EKSISTENSI "ANTARA"
Merenungkan Makna Teologis Perayaan itu
Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA.
Pengantar Singkat
Hari ini sudah Sabtu Suci (Holy Saturday). Itu berarti Hari Jum’at Agung sudah lewat. Hari sengsara, dan hari derita itu sudah menjadi hari kemarin. Pada hari ini, hari duka itu sudah berlalu, sekadar menjadi sebuah kenangan di dalam ingatan. Walaupun hal itu pasti sakit, pedih, perih, dan pahit. Memoria passionis Domini, tidak mudah dilupakan. Ia pasti sempat menimbulkan kebingungan, kegentaran, ketakutan, semacam terrror dan horror. Para murid pun pasti dilanda oleh rasa ngeri yang hebat. Sebab terror seperti sedang menyergap dari segala arah. Hal itu pasti membuat mereka diam dan membisu. Kalau bisa, mereka mencoba lari bersembunyi, mencari tempat yang aman.
Jejak-jejak ketakutan dan bayang-bayang teror itu dapat kita rasakan terekam dengan sangat kuat di bagian akhir injil Markus. Begini kata sang penginjil Markus itu di sana: "Lalu mereka keluar dan lari meninggalkan kubur itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapapun juga karena takut" (Mrk 16:8). (cetak miring, penekanan dari saya).
Para ahli injil Markus (sebut saja antara lain misalnya orang seperti Bas van Iersel, SMM, pakar Injil Markus dari Fakultas Teologi Nijmegen; begitu juga Donald Senior CP, yang menulis empat buku yang secara khusus mengulas tentang The passion of Christ. juga Pater Raymond E.Brown, yang menulis buku Babon, The Death of Messiah itu) hampir tidak ada yang lalai memberi perhatian dan penekanan kepada fakta historis itu, sebab hal itu terasa sangat paradoksal: Injil, Kabar Baik, ternyata tidak berakhir baik-baik saja, melainkan berakhir dengan sebuah terror, dan sebuah horror.
Sebuah Ibarat Yang Pas
Bayangkan saja seperti anak-anak ayam yang masih kecil-kecil. Tiba-tiba induk mereka mati karena diterkam burung rajawali pemangsa yang datang menukik dari langit. Dalam sekejab induk ayam itu masih sempat memberi perlawanan sebisanya dan sejadi-jadinya, tetapi itu hanya berlangsung sejenak saja. Burung Rajawali itu terlalu perkasa untuk dilawannya. Hantaman paruhnya sangat perkasa menukik.
Cengkeraman kuku-kuku kaki Rajawali itu telah menusuk ke tubuhnya, dan ia pun dibawa terbang tinggi ke langit, mencari pucuk-pucuk pepohonan ataupun di atas puncak-puncak batu karang. Mungkin di sana anak-anaknya sedang menanti untuk berpesta pora. Tetapi di bumi di bawah sana, anak-anak ayam tadi, menciap-ciap kebingungan, mencari perlindungan sedapat mungkin. mereka pasti dilanda dukalara dan kebingungan yang sangat mendalam karena kehilangan induk. Kehilangan induk, berarti kehilangan segala-galanya: hilangnya kepastian makanan, hilangnya rasa aman, hilangnya rasa nyaman dan hangat di malam hari dan di waktu hujan.
Nah, kira-kira seperti itulah nasib yang dialami para murid Yesus, pada hari-hari ini. Mereka pada kebingungan, mereka pada ketakutan, galau, gundah gulana. Pater Robert J.Schreiter dalam bukunya Reconciliation mengulas tentang beberapa episode kebingungan para murid itu pasca drama penyaliban yang tragis, drama sengsara dan wafat Yesus Kristus. Sedemikian bingungnya para murid itu, sehingga mereka seperti tidak tahu harus berbuat apa-apa.
Dalam bahasa Manggarai ada ungkapan yang dengan tepat bisa mengungkapkan hal itu: imiamas. Masa depan tidak jelas. Petrus, dalam keadaan imiamas itu, mencoba kembali ke pekerjaan lama, yaitu sebagai nelayan, yang bekerja untuk menangkap ikan. Tetapi sudah tiga tahun ia tinggalkan pekerjaan itu. Ia seperti harus belajar lagi dari nol. Hasilnya: sepanjang malam, ia tidak berhasil menangkap apa-apa. Itulah buah dari imiamas tadi. Untuk sementara saya tinggalkan dulu hal itu. Nanti disambung lagi.
Sebuah Situasi Antara
Tetapi drama tragedi itu sudah berlalu. Itu berarti sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus sudah berlalu. Ia sudah menjadi "masa silam", walaupun masa silam itu belum terlalu lama berselang. Kengeriannya masih terasa amat dalam mencengkam jiwa. Namun demikian, setidaknya kengerian itu sudah tidak tampak lagi secara jasmani. Ia sudah diturunkan dari atas salib. Ia juga sudah dibaringkan di dalam kubur. Ia sudah turun ke tempat penantian (sebagaimana yang kita daraskan dalam rumusan syahadat singkat itu). Hari-hari sengsara sudah lewat. Hari Jumat terlaknat yang bikin runyam, sudah lewat. Itu baru di satu pihak.
Tetapi di pihak yang lain, hari Minggu Paskah, masih belum terjadi. Hari Minggu itu, Hari Kebangkitan masih akan datang besok. Ia masih "mendatang-i". Ia masih di dalam sebuah penantian. Adventus, hari penantian, menantikan sebuah peristiwa kedatangan, sebuah peristiwa dari masa depan. Itulah eksistensi hari Sabtu. Ia berada di antara, in between, situasi terselip (untuk tidak memakai kata terjepit) di antara Jumat kelabu dan Minggu kebangkitan. Jadi, Sabtu Suci, Holy Saturday itu adalah sebuah situasi antara: sengsara dan maut sudah berlalu, tetapi cahaya optimism kebangkitan belum terjadi. Seorang pakar ritual, Victor Turner, memberi perhatian serius kepada situasi "di antara" itu, in betwixt: masih ada bayang-bayang tahap terdahulu, dan sudah ada bayang-bayang antisipatif dari tahap-tahap selanjutnya. Itulah eksistensi Sabtu Suci.
Teologi Hans Urs von Balthasar: Mysterium Pasquale
Adalah seorang teolog Swiss yang bernama Hans Urs von Balthasar (Bapa Suci Paus Benediktus XVI sangat mengagumi tokoh teolog ini), yang mencoba mengangkat eksistensi Sabtu Suci ini. Ia mengangkatnya sebagai sebuah simbolisme untuk menyebut dan sekaligus mengibaratkan hidup orang-orang Kristiani selama masih berada dan mengembara di dunia ini. Bahkan ungkapan terakhir ini juga terekam dalam salah satu teks Doa Syukur Agung Ekaristi kita. von Balthasar (yang sering sekali mengeritik teologi dan cara berteologi Karl Rahner itu) memberi perhatian penuh kepada eksistensi Sabtu Suci ini.
Dalam bukunya yang berjudul Mysterium Pasquale (Misteri Paskah), ia kurang lebih mengatakan bahwa hidup orang Kristiani itu paling baik dan paling tepat kita lukiskan dengan memakai simbolisme Sabtu Suci itu. Dan itu adalah sebuah situasi yang "terselip di antara". Orang Kristiani, menurut Balthasar, hidup dalam sebuah tegangan "situasi antara" itu. Mana situasi antara itu? Yakni situasi sengsara dan maut. Nah situasi Sengsara dan maut sudah lewat. Ia sudah terjadi pada hari Jumat kemarin. Dan sekarang, pada hari Sabtu ini, seluruh hidup kita mendapat semangat baru yang terpancar dari pengharapan akan cahaya kebangkitan dan hidup kekal di dalam dan bersama dengan Tuhan.
Tetapi sedemikian kuatnya situasi pengharapan itu sehingga situasi harapan itu mampu mewarnai dan menyemangati seluruh hidup kita sekarang dan di sini. Bayang-bayang belenggu penderitaan, sengsara, dan maut dari drama tragedi Jumat laknat itu sudah tidak lagi sangat menghimpit hidup dan kesadaran kita. Mengapa demikian? Karena totalitas hidup kita kini seluruhnya berorientasi pada pengharapan. Berorientasi pada hari Minggu, hari kebangkitan, saat munculnya sebuah ciptaan baru, the new creation. Bayang-bayang akan the new existence itu benar-benar memberi warna khusus bagi cara kita mengarungi eksistensi Sabtu ini. Seluruh eksistensi Sabtu itu ditandai dan diwarnai oleh pengharapan akan kebangkitan, akan hidup baru. Vita mutatur sed non tollitur. Hidup hanyalah diubah, bukannya dilenyapkan.
Paradoks Passio Jumat Agung
Justru karena itulah Kisah Kisah Sengsara pada Jum’at Agung kemarin harus diambil dari injil Yohanes. Mengapa demikian? Sebab kisah sengsara yang ada di sana adalah "kisah sengsara yang justru mulia," yang lebih diwarnai oleh percikan-percikan cahaya kebangkitan dan kemuliaan daripada oleh kegelapan maut itu sendiri. Passio Yohanes itu sangat berbeda dengan Passio ketiga injil sinoptik. Itulah sebabnya intuisi liturgis gereja Katolik akhirnya memilih Passio Yohanes ini untuk dibacakan pada hari Jumat agung. Justru karena itu, maka passio Jumat Agung itu terasa sangat paradoksal: Masih mengisahkan sengsara, tetapi juga sudah memancarkan kemuliaan kebangkitan.
Di tempat dan kesempatan lain saya sudah menulis tentang ibadat lamentasi (yang dilaksanakan di beberapa tempat di Indonesia ini. Dulu di Flores ibadat itu sangat biasa kami lakukan. Juga saat kami di Paroki Kramat Jakarta ada. Di Bekasi juga ada. Seorang teman, Bapak Placidus Sanary sering memposting tentang kelompok paduan suaranya yang menyanyikan lagu-lagu ratapan gregorian itu). Karena itu saya berencana untuk menulis ulasan teologis tentang syair lagu-lagu lamentasi berdasarkan perspektif pengharapan dan kebangkitan itu. Semoga bisa terwujud segera pada suatu saat nanti.
Mungkin dalam rangka itu saya akan berusaha mencari dan menggali simbolisme-simbolisme dan analogi alam sebagai ilustrasi untuk syair-syair lagu itu. Saya hanya berharap, semoga saya bisa berhasil di dalam mewujud-nyatakan hal itu. Niat ini saya kuatkan dalam hati saya, agar syair lagu-lagu lamentasi untuk Sabtu Suci sedikit berbeda atau dibedakan dari syair dua hari terdahulu. Mengapa harus berbeda? Karena ini sebuah situasi antara, sebuah situasi penantian dan situasi pengharapan. Memang cahaya kebangkitan belum terjadi, tetapi sebentar lagi ia akan terjadi. Dan bayang-bayang bahwa hal itu sebentar lagi akan terjadi, kiranya harus membawa suasana penghayatan yang lain bagi ibadat dan syair lagu-lagu lamentasi itu.
Menyongsong Malam Paskah
Sekarang sudah hari Sabtu Suci. Sebentar lagi upacara malam Paskah akan tiba. Ya, setiap kali malam Paskah tiba saya selalu menantikan dengan penuh harap upacara lilin Paskah. Itu adalah sebuah kerinduan dan pengharapan yang sudah saya rasakan sejak saya masih kanak-kanak dulu. Dan harapan itu masih tetap hidup hingga aku sudah dewasa sekarang ini.
Di pagi hari seperti ini saya sudah membayangkan bahwa sekarang ini malam sudah gelap. Gereja sudah gelap. Umat yang hadir sangat banyak. Tetapi hening. Sebuah perpaduan yang indah: Gelap dan ada keheningan walau ada banyak umat yang hadir. Di depan gereja, yang ada hanya nyala api unggun. Menurut tradisi liturgis lama api unggun itu harus terbuat dari api alam. Dan itu adalah lambang dari sebuah eksistensi baru, hidup baru, ciptaan baru. Dari api itulah imam akan mengambil nyala api untuk menyalakan lilin Paskah. Bagi saya upacara itu sangat mengesankan. Di tengah gelap malam itu imam akan menandai lilin Paskah dengan lima paku, lambang lima luka Yesus. Imam menancapkan paku-paku itu sambil menyebutkan beberapa gelar Kristologis: antara lain Alpha dan Omega.
Setelah itu imam mengadakan perjalanan (perarakan) lilin Paskah melintasi gereja yang gelap. Bagi saya hal itu sangat indah. Sungguh sangat mengesankan. Sebuah simbolisme yang sangat penuh dengan makna. Yesus masuk, melintasi lembah maut, yang dilambangkan dengan kegelapan itu. Pada saat itulah imam yang membawa lilin Paskah itu menyanyikan lagu dengan suara lantang (walaupun terkadang suara para imam itu sangat pas-pasan): Lumen Christi. Dan setiap kali umat menjawab, Deo Gratias. Imam menyanyikan hal itu sebanyak tiga kali dan setiap kali dengan nada yang lebih tinggi, dengan nada-nada yang menaik.
Gerakan Menaik, Ex-istere, Melampaui
Bagi saya itu adalah perlambang gerak menaik, gerak ke atas, gerak meng-atas-i, lambang eksistensi transenden hidup manusia. Eksistensi transenden itu kita lambangkan dengan bunyi, dengan suara, dengan nada, dengan suara manusia. Puncak atau wujud gerak transendensi itu ialah peristiwa kebangkitan, munculnya sebuah kehidupan baru, sebuah ciptaan baru, new creation. Setelah melintasi di dalam kegelapan, cahaya lilin itu mulai menyebar ke seluruh penjuru gereja yang gelap. Dari satu lilin utama, yaitu lilin Paskah, menjadi ratusan lilin (tergantung dari umat yang hadir) yang semuanya mulai bernyala. Sebuah pemandangan yang sangat indah.
Akhirnya Gereja mulai menjadi terang benderang lagi oleh nyala ratusan lilin yang kita pegang masing-masing umat yang hadir. Situasi itupun sangat indah. Nyala ratusan lilin berkelap-kelip. Setelah itu imam mentahtakan lilin Paskah tadi pada sebuah tiang kaki dian yang terletak di dekat mimbar. Kaki dian ini pun harus kita siapkan sebelumnya secara khusus. Paling baik, kalau tiang itu dihias dengan hiasan yang mewah, pokoknya harus luar biasa, harus istimewa, sebab pada Hari ini Tuhan bertindak, maka mari kita rayakan dengan gembira. Pada hari ini kita akan merayakan saat istimewa di mana Tangan Kanan Tuhan telah memperlihatkan kekuatan-Nya.
Gema Lantang Exultet
Lalu tampillah seorang penyanyi, yang akan menyanyikan Exultet, madah paskah itu. Paling baik, dari segi simbolisme liturgis, yang menyanyikannya adalah seorang imam. Tetapi kalau tidak, seorang diakon. Kalau itu semua tidak ada atau tidak bisa (karena faktor suara tadi), maka seorang penyanyi biasa (awam) bisa membawakan nyanyian itu. Orang itu haruslah seorang Cantor yang memiliki suara yang lantang, tegas agar suara nyanyian dia benar-benar berwarna proklamatoris. Paling buruk kalau yang menyanyikan lagu itu adalah orang yang suara nyanyinya seperti sedang mengunyah makanan. Itu buruk sekali efeknya. Dimensi proklamatorisnya tidak bisa diwujudkan. Jangan-jangan malah terdengar seperti lagu ratap saja.
Jika hal yang demikian itu terjadi, maka dimensi proklamatoris itu rusak parah, separah-parahnya. Memang hal ini amat butuh persiapan, butuh latihan. Perlu seleksi yang ketat. Itu harus. Tidak hanya sekadar asal mau tampil. Harus dengan dengan mentalitas "qui bene cantat, bis praedicat." Yang bernyanyi dengan baik, sudah mewartakan dua kali. Jadi, tidak bisa dan tidak boleh main-main. Nyanyi kok seperti mengunyah makanan dan cempreng. Benar-benar bikin lemas umat yang mendengarnya. Sedih juga.
Madah Paskah itu adalah salah satu lagu yang paling aku sukai dalam hidupku pada malam paskah. Hal itu sudah terjadi mulai ketika aku masih kecil sampai sekarang ini. Beberapa penggal awal lagu itu berakhir dengan kata-kata berikut ini: Gemakanlah dengan bangga Paskah Raya. Lalu umat menyambung dengan sangat meriah dan semangat: Bersoraklah, nyanyikan lagu gembira, bagi Kristus, yang menebus kita, bersyukurlah kepada Allah, kita bangkit bersama Kristus. (Waktu saya kecil: Teks ini berawal dengan kata-kata, “Tepuk tangan….”. Sebab salah satu ekspresi rasa sorak dan gembira ialah dengan menari-nari dan bertepuk tangan; di beberapa tempat teks seperti ini masih tetap dipertahankan).
Catatan Penutup Singkat
Menarik sekali bahwa menurut lagu ini, yang kita rayakan bukan lagi hanya peristiwa kebangkitan Kristus saja, melainkan juga kebangkitan kita sendiri. Hal itu terungkapkan dengan sangat jelas dalam teks lagu itu: Kita bangkit bersama Kristus. Itu berarti kita tidak akan mati lagi. Kita mulai memasuki dan mengarungi sebuah eksistensi baru. Itulah keyakinan iman kita: Kita mengalami kebangkitan dalam dan bersama dengan kebangkitan Yesus Kristus sendiri. Bangkit berarti sebuah wujud hidup baru, menjadi manusia baru, becoming a new person, sebuah warta purba yang sudah Paulus wartakan sejak sangat dini di dalam sejarah eksistensi historis kekristenan itu sendiri.
Mengingat betapa pentingnya teks lagu ini, dan betapa ia mengandung sebuah pandangan teologis yang mendasar, maka saya berjanji kepada diri sendiri: Suatu saat nanti saya juga mau mencoba secara khusus menelaah pandangan teologi yang terkandung dalam lagu itu. Semoga aku tidak lupa melakukan tugas dan niat yang suci ini. Selamat mengarungi eksistensi Sabtu Suci ini.
Taman Kopo Indah II, Bandung, 08 April 2023
Dr. Fransiskus Borgias, MA.
(tulisan lama, yang diedit lagi, adan ditambah sedikit di sana-sini).
Komentar
Posting Komentar