THORN BIRD: SEBUAH VIDEO MENARIK

gambar diambil dari google search

 Oleh: Fransiskus Borgias M.


Pengantar Singkat

Kemarin, tanggal 30 Agustus 2011, saya bermain ke BSD, ke tempat adik saya, Fransiska Daima Mur. Kami sempat bermain bersama mengunjungi sebuah toko buku Gramedia di Terrakota. Di sana saya membeli beberapa buku. Tentu saja anak-anak saya juga membeli buku yang mereka sukai. Begitu juga dengan isteri saya.

Salah satu buku yang saya beli kemarin di Bursa Buku Murah di Gramedia Terakota, Bumi Serpong Damai, ialah buku yang berjudul The Thorn Birds. Judul terjemahan Indonesianya ialah Burung-burung Semak Berduri. Ini adalah sebuah novel dari seorang pengarang Australia yang bernama Colleen McCullough. Beberapa tahun silam saya sudah mendapat buku ini dalam versi asli bahasa Inggris dalam pencarian dan perburuan buku di arena pasar buku bekas di Jalan Suci, Bandung. Saya sangat senang ketika mendapat buku ini. Versi Inggrisnya sudah saya baca beberapa tahun silam. Sekarang saya sedang mencari kesempatan untuk dapat menikmati versi terjemahan bahasa Indonesianya. Saya juga ingat dengan sangat baik bahwa pada tahun 84-86, saya bersama dengan teman-teman saya, sudah pernah menonton film ini dalam versi rekaman VHS.

 

Problematik Buku Ini

Apakah yang menjadi problematik buku ini sehingga pernah menjadi sebuah Bestseller dunia, baik sebagai buku maupun sebagai film? Mungkin di sini letak kunci sukses buku ini: itu tidak lain karena buku ini mengangkat sebuah tema kontroversial dalam tradisi Gereja Katolik Roma. Yaitu tentang seorang imam tertahbis yang mencintai hidup imamatnya. Ia juga dengan sepenuh hati menghayati cara hidup itu dan juga berusaha mempertahankannya.

Tetapi serentak pada saat yang sama ia juga jatuh cinta kepada seorang perempuan. Ini adalah peristiwa jatuh cinta dalam artian yang sesungguhnya. Peristiwa jatuh cinta, falling in love, itu sendiri adalah sesuatu yang tentu saja sangat manusiawi itu. Sebab setiap manusia disirami dengan benih-benih cinta oleh Tuhan sang Pencipta tatkala menciptakan manusia. Dan Allah itu adalah cinta, Deus est caritas (kata Yohanes). Tetapi sekaligus justru “jatuh cinta” itu, apalagi jika diwujudkan di dalam relasi perkawinan dalam artian yang seluas-luasnya, adalah sesuatu yang terlarang bagi status dan sumpah hidupnya sebagai seorang imam yang tertahbis.

Namun rupanya, sang imam itu, mulai sejak mudanya hingga masa tuanya, yaitu ketika dia sudah menjadi uskup dan bahkan menjadi pejabat di Vatikan, begitulah hal itu dikisahkan dalam buku dan filmnya, tidak begitu “mempedulikan” tabu tersebut. Ia dengan alami melewati proses asmara itu dengan seutuhnya dan sepenuhnya. Mereka bercinta, bercumbu mesra di dalam asmara penuh gelora, gairah, dan panas membara. Dan terjadilah demikian.

 

Percikan Ingatan Adegan Video

Dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini saya mencoba mengemukakan lagi beberapa ingatan saya akan adegan-adegan yang dilukiskan dalam Video yang pernah kami nonton bersama di wisma Padua, Rawasari, Jakarta. Video itu sendiri sangat panjang; berdurasi kira-kira tujuh jam (atau bahkan lebih juga); ada tiga kaset video; masing-masing kaset video berdurasi tiga jam. Kami menontonnya tiga malam berturut-turut. Inilah apa yang masih saya ingat. Hanya perlu diingat bahwa tentu saja apa yang dilukiskan dalam film itu sedikit berlainan dengan apa yang ditulis dalam buku. Tentu buku jauh lebih detail, dengan dimensi kekayaan tersendiri.

Dilukiskan dalam video itu, ada seorang pemuda katolik yang kemudian menjadi pastor; ia tampan. Ia cerdas juga. Ketika sudah menjadi pastor, ia bekerja sebagai seorang pastor paroki di sebuah wilayah peternakan domba yang sangat luas di Australia. Memang setting kisah ini ada di Australia. Di paroki itu ada juga sebuah keluarga yang mempunyai beberapa anak. Salah seorang di antaranya bernama Margaretha, yang dipanggil Meggie. Ia adalah seorang gadis cilik yang cantik dan cerdas. Ia mempunyai mata yang sangat indah. Sebagai seorang anak kecil si Meggie sudah mengenal Pastor parokinya. Ia menjadi anak istimewa di mata sang pastor. Sesuatu hal yang sangat biasa terjadi dalam kehidupan parokial dalam lingkup gereja Katolik.

 

Jatuh Cinta Pada Pandangan Pertama

Ketika sudah tiba waktunya untuk komuni pertama, Meggie ikut dalam upacara ekaristi itu. Pada saat komuni pertama itulah, ia tampil sangat cantik; gadis cilik yang mempesona. Sang pastor tampak terkesima, terpesona melihat si Meggie cilik nan jelita. Menurut pengamatan saya, video atau Film itu dengan cukup jelas menampakkan hal itu. Pada awalnya, hubungan itu terasa sangat wajar, alami, anak bimbingan komuni pertama, menyukai Pastor (imam) yang menjadi pembimbingnya menuju Sakramen Ekaristi.

Tetapi secara perlahan-lahan hubungan itu ternyata berubah seturut perkembangan usia mereka. Ketika Meggie semakin bertumbuh menjadi gadis remaja, mereka sadar bahwa mereka sudah saling jatuh cinta; tetapi cinta itu tentu saja terlarang karena cinta itu terjadi antara sang Pastor yang harus hidup selibat dan anak rohani yang berada di bawah bimbingannya sendiri. Tetapi kesadaran itu tidak mencegah mereka untuk terlibat dalam relasi asmara yang terlarang. Mereka tidak dapat hidup berkeluarga karena sang kekasih adalah pastor.

Akhirnya Maggie harus menikah dengan seorang pria lain yang sesungguhnya tidak pernah ia cintai sama sekali. Sebagaimana biasa, ternyata cinta pertamanya ternyata tidak pernah padam sama sekali terhadap sang pastor. Mereka tetap menjalin cinta lewat pintu belakang; bahkan Meggie sempat mendapat seorang anak dari sang pastor itu dan Pastor itu tidak mengetahuinya juga. Pastor itu sendiri sangat maju dalam kariernya; ia mendapat kesempatan untuk studi teologi di Roma dan bahkan juga kemudian menjadi uskup; sebagai seorang uskup ia juga ikut serta ambil bagian dalam Konsili Vatikan II.

 

Anaknya Meggie Menjadi Pastor

Ternyata anak Meggie dari pastor itu adalah seorang lelaki. Ketika ia dewasa, anak ini mau menjadi seorang imam; setelah melewati pendidikan yang perlu sebagai persyaratan untuk menjadi imam, maka ia pun ditahbiskan menjadi imam. Dan yang menahbiskannya menjadi imam adalah bapak Uskup (yang ternyata ayahnya sendiri, walau mereka tidak saling mengetahuinya, karena hal itu hanya diketahui oleh sang ibu anak itu). Sesudah tahbisan, pastor muda ini masih sempat bekerja sebagai seorang pastor muda di sebuah paroki.

Kemudian dalam sebuah kesempatan liburan di Yunani sebagai seorang pastor muda, pastor ini meninggal dunia ketika akan menolong beberapa gadis belia yang terseret ombak pantai itu. Beberapa anak gadis itu bisa diselamatkan. Tetapi romo muda yang menolong mereka, ternyata tidak bisa ditolong. Akhirnya, ia meninggal dunia.

 

Masa-masa Tua Bapa Uskup

Sementara itu si uskup tua, juga dalam usia tuanya masih menggelora dalam cinta dan masih sempat menikmati asmara terlarang dengan Meggie. Tetapi kemudian, dalam suatu kesempatan pertemuan berdua, sang uskup tua itu meninggal karena serangan jantung. Ia meninggal dalam pangkuan Meggie, sang kekasihnya (begitulah digambarkan dalam film itu).

Tetapi sejenak sebelum ia meninggal terjadi beberapa dialog yang sangat indah dan kuat antara sang Uskup dan Meggie. Memang kemudian sang uskup dalam film itu menjadi terkenal (paling tidak dalam ingatan saya sebagai penonton) dengan ucapannya kurang lebih sbb: Hidupku terbelah, sebagian antara cintaku, sebagian lagi untuk ambisiku.

Ya, The Thorn Birds, mengarungi nasibnya yang melegenda, yang mati dalam sengsasra, tetapi dalam sakratul mautnya, konon burung itu masih sempat mengeluarkan bunyi paling merdu: The Thorn Birds torn between two loves, the love of the lovers (Meggie), and the loves of his personal ambition, as a priest, as a bishop. Nasib burung itu, oleh si penulis novel, diangkat sebagai sebuah metafora untuk melukiskan hidup sang imam, hidup sang Uskup.

Sebuah kisah cinta yang sangat menarik dan indah, walaupun terlarang. Di sini saya serta merta teringat akan sebuah buku kecil dari pengarang Perancis, Andre Gide, yang menulis buku Simfoni Pastoral. Pada kesempatan lain nanti, saya juga masih akan mencoba menulis sesuatu tentang buku itu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO