IN MEMORIAM: MENGENANG BAPAK Dr. HUBERTUS UBUR.
![]() |
BUNGA-BUNGA MEKAR |
Oleh: Fransiskus Borgias
Sebuah Pengantar Singkat
Beberapa hari yang lalu, saya
mendengar kabar tentang meninggalnya bapak Hubertus Ubur di Rumas Sakit Sint
Karolus di Jakarta, setelah beberapa minggu sebelumnya ia dirawat di sana
karena menderita sebuah penyakit. Saya sendiri tidak bisa datang ke Jakarta
untuk melayat, karena ada beberapa kesibukan di kampus yang tidak dapat
ditinggalkan begitu saja. Jenazahnya disemayamkan di Rumah Duka di Sint
Karolus.
Sehari sebelum jenazahnya
dikremasi (sebab akhirnya jenazah itu dikremasi dan tidak dimakamkan, sesuatu
yang sebenarnya asing dari konteks kebudayaan orang Manggarai) diadakan misa
requiem yang dipimpin oleh seorang imam muda, tetapi saya tidak mengetahui Namanya.
Perayaan Ekaristi itu disiarkan secara langsung melalui zoom yang disediakan
oleh ase Agustinus Bandur, dari Binus. Saya mengikuti perayaan ekaristi itu,
melalui zoom tersebut. Tatkala mengikuti perayaan itulah saya teringat akan
beberapa percik kenangan dan pengenalan saya akan beliau semasa hidupnya. Tentang
hal-hal itulah yang ingin saya catatkan di sini sekadar sebagai sebuah kenangan
saja.
Percikan-percikan Ingatan dan
Kenangan Akan Dia
Saya sudah mendengar nama kraeng
Hubertus ini sejak saya masuk di Seminari Pius XII Kisol. Saya sendiri tidak
pernah bertemu dengan dia semasa saya ada di Kisol, karena saat saya masuk di
sana, beliau sudah tamat dan masuk ke dalam Ordo Fratrum Minorum, OFM, atau
ordo Fransiskan. Bahkan saat saya SMP dulu di Kisol, seingat saya, ada beberapa
frater OFM yang menjalani tahun-tahun orientasi pastoral (TOP) mereka di
beberapa tempat atau paroki yang terletak di sekitar Kisol.
Seingat saya, bapak Hubertus ini
menjalani masa Tahun Orientasi Pastoralnya di SMP dan juga Paroki Waerana (atau
malahan di Borong yah? Benar-benar lupa eih) yang terletak di sebelah timur
dari Seminari Kisol. Sekitar masa-masa itu, masih ada beberapa nama lain dari para
frater OFM yang menjalani tahun orientasi pastoral di sekitar Kisol. Ada frater
Hubertus Hadi (yang menjalani TOP di Borong, kalau saya tidak salah ingat), ada
Frater Vitalis Nonggur, sekarang menjadi Pater Vitalis Nonggur yang menjalani
TOP di SMP Borong dan juga Paroki Borong (saya ingat saat itu saya duduk di
Kelas III SMP Seminari Kisol).
Sesudah masa-masa itu masih ada
Frater Lazarus Sugiyono yang menjalani masa TOP di Paroki Waerana. Saat kami
tamat SMA dan sudah masuk POSTULAN OFM di Pagal, masih ada nama seperti frater
Martin Sardi yang menjalani masa TOP di Paroki Waerana. Kehadiran para frater
OFM itu, tentu saja termasuk bapak Hubertus ini, sangat menarik perhatian kami,
khususnya saya sebagai seminaris yang masih sangat muda, untuk memimpikan suatu
saat kelak bisa menjadi seperti mereka, mengenakan jubah hitam yang unik itu,
atau kalau tidak mengenakan kaus bundar (di Jawa dikenal dengan sebutan Kaus
Oblong, atau T-Shirt dan dihiasi dengan kalung TAU yang sangat unik itu).
Meninggalkan Ordo Fratrum
Minorum dan Menjadi Doktor Sosiologi
Bapak Hubertus pun saya kenal
dengan tampilan seperti itu. Sangat tenang. Juga sangat sederhana. Tetapi juga
sangat berwibawa. Dan selalu penuh senyuman. Saat itu saya membayangkan, ya
seperti itulah transformasi diri seseorang menjadi seorang fransiskan. Sayangnya,
saat saya sudah masuk Fransiskan, dan datang ke Jawa, mula-mula ke Novisiat
Yogyakarta, frater Hubertus Ubur ini sudah keluar dari Ordo dan meninggalkan OFM.
Jadi, praktis saya tidak pernah mengenalnya sebagai sesama anggota ordo Fransiskan,
karena saat saya masuk di Jakarta untuk kuliah di STF Driyarkara pada tahun
1983, beliau sudah meninggalkan ORDO dan menjadi awam.
Tetapi pada saat itu, saya masih
mendengar cerita-cerita tentang perjalanan hidup beliau dari beberapa teman
yang mengenalnya. Misalnya, sebagai awam ia bekerja di beberapa perguruan tinggi,
khususnya di Atmajaya Jakarta, kalau tidak salah terutama di Pusat Pengembangan
Etika Atmajaya, yang saat itu masih di bawah asuhan Pater Kees Bertens MSC,
dosen Filsafat Barat saya di STF Driyarkara. Sepertinya ia menempuh studi lanjut
untuk mendalami bidang sosiologi.
Dan dalam kapasitas sebagai
sosiolog professional itulah dia banyak melakukan penelitian sosiologis (Bersama
Lembaga penelitian dan pengabdian Masyarakat Atmajaya Jakarta) tentang beberapa
problema sosial yang tidak begitu saya ketahui informasi rincinya. Yang jelas,
beberapa tahun kemudian, sepertinya sudah di atas tahun 2000an kemari, ia
bahkan sudah bisa menyelesaikan studi doktoralnya dalam bidang sosiologi
tersebut. Tentu saja sebuah perjuangan dan pencapaian yang luar biasa. Diam-diam
saya terus mengagumi perjuangan hidupnya.
Pertautan Pribadi Dengan Diri
Saya
Sebelum melangkah lebih lanjut,
saya mau mencatat dua hal yang penting bagi hidup saya dan hidup salah seorang
saudari saya. Pada tahun 1995, saya menerima pemberkatan sakramen perkawinan dan
dalam rangka itu diadakan sebuah pesta sederhana di rumah orang tua isteri saya
di Kampung Sawah. Salah satu orang tua Manggarai yang datang ke sana, datang di
sore hari, datang sendirian, ialah bapak Hubertus ini.
Saya masih ingat, sebenarnya
pesta kami sudah selesai, tetapi ia masih datang untuk menyalami kami berdua,
dan kami mengobrol cukup lama sambil minum kopi sore di bawah pohon asam di
samping rumah mertua saya. Kami obrolkan macam-macam hal tentang perjuangan
hidup ini. Ya perjuangan memberi makna kepada hidup yang hanya sejenak ini.
Setelah hari sudah mulai agak sore, ia pamit pulang. Dan saya tidak pernah
melupakan apresiasi berupa kehadiran itu dari bapak Hubertus ini.
Dua tahun sesudah itu, pada bulan
desember sesudah natal, adikku, enu Essy, menerima pemberkatan sakramen
perkawinan dengan kesaku Kons. Yang menjadi saksi perkawinan mereka adalah
bapak Hubertus Ubur ini. Saya sungguh terharu. Saat itu, saya datang dari
Bandung, untuk ikut sebagai orang tua di dalam pesta perkawinan itu. Saya pun
tidak melupakan hal itu sebagai sebuah kebaikan bapak Huber untuk keluarga dan
orang di sekitarku. Memang kesa Kons itu berasal dari Welo dan bapak Hubertus
berasal dari Repok, sama-sama dari Selatan.
Ketika bapak Hubertus ini
meninggal, saya baru tahu dari enu Essy, bahwa sebenarnya yang menjadi saksi
perkawinan mereka waktu itu adalah orang lain, tetapi karena saksi itu terlambat
datang ke gereja Matraman, sehingga akhirnya yang maju menjadi saksi adalah
bapak Hubertus ini. Di samping karena berasal dari kampung yang berdekatan satu
sama lain, peran sebagai saksi perkawinan itulah juga yang mendorong keluarga
adik saya itu, merasa dekat dengan Bapak Hubertus.
Perjumpaan dan Pertautan Yang
Sangat Minimalis
Terus terang saya tidak begitu
kenal dengan keluarga bapak Hubertus ini, baik isterinya yang pertama maupun
anak-anaknya. Saya katakan isteri yang pertama, sebab setelah isteri yang
pertama ini meninggal dunia, bapak Hubertus kawin lagi dengan isteri yang kedua
yang mendampingi dia dalam saat-saat terakhir hidupnya.
Oh ya, pada bulan Agustus 2015,
kami pernah tampil sebagai narasumber seminar sehari yang diadakan oleh
sekelompok anak muda Manggarai, yang dilangsungkan di anjungan NTT, di Taman
Mini Indonesia Indah. Seingat saya, ia berbicara tentang perspektif sosiologis
di dalam membedah realitas sosial, kalau tidak salah, ia memakai perspektif
Auguste Comte. Saya sendiri berbicara tentang drama perjumpaan kultural antara Kekristenan
dan kebudayaan orang Manggarai. Pada saat itu, masih ada beberapa narasumber
yang lain, seperti Pater Peter Aman (almarhum), juga krg Dr. Kons Danggur
(almarhum). Masih ada juga Prof.Dr.Robert Lawang, dan juga Boni Hargens, dan
masih beberapa orang yang lainnya juga.
Pada masa-masa awal pandemic kemarin,
WAG kami di Teras Kramat pernah mengadakan sebuah zoominar dan saya didaulat
untuk membahas sebuah topik yang terkait dengan spiritualitas Fransiskan. Saya ingat,
bapak Hubertus ini juga secara aktif berdiskusi tentang dialog antar agama,
sebagaimana yang dilatar-belakangi oleh spiritualitas Fransiskan. Pada saat
itulah saya baru tahu bahwa setelah isterinya yang pertama sudah meninggal
dunia, Bapak Hubertus Ubur, mengarungi bahtera perkawinan lagi dengan seorang Wanita
muslim (kalau tidak salah) yang berasal dari daerah Karawang ataupun Indramayu.
Pada kesempatan dialog itu Pak Huber juga mensharingkan pengalaman dialog
kehidupannya dengan Masyarakat sekitar.
Meninggalkan Ordo Demi Pendidikan
Adik-adik
Akhirnya saya mau menuliskan
sesuatu yang lain yang tiba-tiba menjadi terkuak kemarin saat saya mendengarkan
sambutan dari salah satu adiknya Pak Huber yang menjadi dokter (kalau saya
tidak salah ingat, tamatan fakultas kedokteran Atmajaya Jakarta; ternyata ingatan saya salah. Ase Ferdy Nggao mengoreksi saya bahwa dr.Filipus itu tamat dari Fakultas Kedokteran UKRIDA Jakarta. Terima kasih atas koreksi itu). Sebenarnya
secara diam-diam saya dulu berpikir bahwa sosok Bapak Hubertus ini sangat cocok
untuk menjadi seorang Fransiskan dan ditahbiskan menjadi seorang imam. Tetapi
ternyata harapan dan bayangan saya itu tidak bisa terwujud menjadi kenyataan. Beliau
keluar dan meninggalkan cara hidup membiara. Ia tidak mengucapkan kaul kekal
dan juga tidak ditahbiskan sebagai seorang imam. Ia menjadi seorang awam
Katolik yang baik.
Walaupun saya agak sedikit
terkejut dan kecewa, tetapi toh saya harus menghormati kebebasan dan hak
masing-masing orang untuk menentukan cara dan jalan hidupnya sendiri dan juga
masa depannya sendiri. Tetapi saya tidak pernah tahu apa yang menjadi alasan
mendasar di balik semua keputusan yang bagi saya agak mengejutkan itu. Dan ternyata,
dalam dan melalui sambutan sang adik yang menjadi seorang dokter itu, saya
akhirnya tahu apa yang menjadi alasan bapak Hubertus keluar dan meninggalkan
hidup membiara.
Menurut sambutan sang adik (dr. Filipus itu),
sebenarnya motivasi yang ada dan hidup dalam diri bapak Hubertus untuk menjadi biarawan
dan imam masih sangat kuat. Tetapi di saat-saat akhir, menjelang keputusan
apakah terus atau tidak, ia seperti diperhadapkan pada sebuah pilihan hidup
yang tidak mudah. Pilihan itu dirumuskan demikian. Menurut perkiraan bapak
Hubertus, jika ia terus menjadi imam dan biarawan Fransiskan, tentu saja ia
akan menjadi seorang yang patut dibanggakan oleh keluarga inti, maupun keluarga
besar di Repok sana, mungkin juga menjadi kebanggaan seluruh daerah Selatan, Todo
dan Pongkor dan daerah-daerah di sekitarnya, yang biasanya dikenal dengan sebutan Satar Mese. Sebagai seorang imam dan biarawan,
bapak Hubertus membayangkan ia bakal bisa menjadi orang besar yang diakui banyak
orang, di mana pun saja ia akan datang dan hadir memberi pelayanan.
Tetapi…. Yah, tetapi inilah yang telah memberatkan hatinya yang telah membuatnya sulit melangkah lebih lanjut ke depan. Ia memberitahu keluarga intinya termasuk sang adik yang sekarang menjadi dokter (dr. Filipus). Beginilah katanya: Kalau saya menjadi imam dan biarawan maka kamu semua (maksudnya adik-adiknya, sebab dia anak sulung) akan tetap menjadi miskin dan terbelakang secara Pendidikan dan juga secara ekonomis. Tetapi kalau saya keluar (tidak menjadi imam) maka saya mempunyai peluang cukup besar dan bebas untuk memperjuangkan Pendidikan kalian. Memang sebagai sosiolog, Pak Dr. Hubert, pasti sangat yakin dengan salah satu keyakinan dari Pedagog kondang dari Brasil, Paulo Freire, bahwa pendidikan itu memiliki daya, potensi untuk pembebeasan, pemerdekaan.
(Di sini saya tiba-tiba teringat akan sebuah refleksi personal dari Pater Flori Laot yang pada suatu saat pernah melontarkan rasa sedihnya kepada seseorang karena dirinya (Pater Flori yang sebagai seorang imam sekalipun, atau justru karena seorang imam) tidak bisa membantu banyak untuk mengatasi kesulitan hidup ekonomis para saudarinya di "Selatan" sana. Kata "Selatan" ini selalu dipakai pater Flori untuk menunjuk daerah asalnya di Satar Mese sana, persisnya di Beo Kaca. Maaf, jika saya salah ingat. Tetapi tentang percikan ingatan terkait Pater Flori ini tidak akan saya tuliskan di sini).
Berpolitik Demi Pemanusiaan
Kemanusiaan
Rupanya pertimbangan kemanusiaan
yang terakhir inilah yang paling kuat, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk
keluar. Dan sejak saya mendengar dan tahu akan hal ini, saya menjadi sangat
kagum dan juga sekaligus amat menghormati bapak Hubertus ini. Dan memang sejak
saat itu, ia memang berjuang untuk Pendidikan keluarganya, adik-adiknya. Paling
tidak yang saya tahu pasti, salah seorang adiknya, menjadi dokter (dokter umum),
setelah menempuh perkuliahan di fakultas kedokteran Atmajaya, Jakarta. Ya,
sebuah perjuangan yang luar biasa. Sebuah motivasi yang luhur dan mulia.
Sekarang semuanya sudah usai. Semuanya
sudah berlalu. Tetapi saya bisa membayangkan bahwa betapa bapak Hubertus bisa
berbangga bahwa dan karena salah satu adiknya bisa menjadi seorang dokter. Jelas
itu adalah sebuah sumbangan yang sangat penting dan sangat berarti bagi
keluarganya. Dalam artian tertentu Bapak Hubertus berhasil di dalam
cita-citanya. Ia tidak keluar dari biara dan menjadi sia-sia belaka. Melainkan
ia keluar demi pemanusiaan dan kemanusiaan walaupun dalam sebuah lingkup yang
kecil dan terbatas, namun sangat konkret, sangat nyata.
Oh ya, masih ada satu lagi obsesi
lain yang ada dan hidup dalam diri beliau. Sebagai seorang sosiolog, tentu ia
bisa membaca dan menganalisis persoalan sosial sebuah Masyarakat. Sebagai orang
manggarai yang tinggal di perantauan (diaspora Manggarai, Jakarta) ia ingin
sekali juga terlibat di dalam proses-proses keputusan politis untuk membangun,
mentransformasi Manggarai. Kiranya dengan latar belakang pemikiran seperti itu,
maka pada salah satu perhelatan pilkada pasca-reformasi (saya lupa persisnya,
tetapi kiranya pada tahun 2004 ataukah tahun 2009) ia maju untuk posisi bupati
Manggarai pada waktu itu. Tetapi ia gagal. Setidak-tidaknya ia sudah pernah mencobanya,
walaupun tidak bisa terwujud.
Sebuah Catatan Penutup Singkat
Terlepas dari kegagalan itu, saya
tetap menghargai keinginannya untuk berpartisipasi di dalam Upaya Bersama untuk
membangun Manggarai, mentransformasi Manggarai, dengan sebuah niat baru, sebuah
rencana baru, administrasi dan managemen keadilan, agar bisa menjadi terwujud
bagi sebanyak mungkin orang dan tidak hanya sekadar perjuangan untuk
kepentingan diri sendiri atau sedikit luas untuk kepentingan keluarga besar
sendiri, atau dalam Bahasa Manggarai disebut Uku.
Terkait dengan hal ini saya
teringat akan pelesetan yang pernah saya dengar sebuah pelesetan singkatan yang
dibuat oleh pater Flori Laot OFM untuk KUD, Kudu Uku Deru (Mengejar,
memperjuangan, kepentingan keluarga sendiri). Kiranya yang dipikirkan Bapak
Hubertus, melampaui sekadar cakupan Uku deru itu tadi. Sayangnya ia tidak
berhasil.
Sekali lagi, selamat beristirahat
dalam damai kekal bapak Hubertus. Tugasmu di dunia ini sudah selesai dan engkau
telah menyelesaikannya dengan sangat baik dan engkau sudah menggapai apa yang
engkau inginkan dan cita-citakan. Requiescat in Pace, Requiescat in Amore
aeterne, Amen.
Taman Kopo Indah II, Bandung.
Terima kasih tulisan singkat ini kraengtua, sudah membantu mengenal lebih jauh tentang Almarhum Kraeng Hubertus.
BalasHapusSama2 ge ase Komodo Flores Tour... delek ome manga gunan catatan singkat daku hoo... kiranya masih ada beberapa hal yang harus ditambahkan nanti... hehehehe....
Hapus