KONSTITUSI KFSL, FRATELLI TUTTI, DAN SUSTER EGIDINA SARAGIH KFSL
Sebuah catatan Kilas Balik
Oleh:
Dr. Fransiskus Borgias, M.A.
Catatan
Pengantar Singkat
Tanggal 04 Agustus
2023 kemarin,
saya Bersama tim komite tesis pada program studi Magisteri Ilmu Teologi Fakultas Filsafat UNPAR
Bandung, menguji tesis dalam sidang tesis untuk seorang mahasiswi yang bernama Eramartina Saragih
(Sr.Egidina Saragih). Saya sendiri berperan sebagai pembimbing tesis dia selama
ini. Dan anggota komite tesis terdiri atas dua pembahas yang sekaligus juga
sebagai penguji di akhir, yaitu Prof., Ignatius Bambang Sugiharto, dan Pastor
R.F.A., Bhanu Viktorahadi.
Suster Egi, begitu
nama panggilan akrab suster ini, menulis sebuah tesis yang mencoba menggali dan
mendalami tentang konstitusi KSFL dan Fratelli Tutti (dari Bapa Paus Fransiskus).
Konstitusi adalah pegangan hidup kongregasi dia selama ini yang sudah lama
mereka hayati Bersama-sama. Dia berharap bahwa dengan insight-insight dari
ensiklik Fratelli Tutti, ia bisa melihat dan memahami secara baru
konstitusi mereka selama ini. Untuk itu ia melakukan semacam studi perbandingan
antara kedua dokumen itu. Hasilnya ia menemukan perbedaan dan persamaan di
antara keduanya.
Berharap
Ilham Dari Fratelli Tutti
Nah, terkait
dengan hal ini, saya mengajukan sebuah pertanyaan penting yang saya rumuskan
demikian:
Secara historis, Konstitusi
KFSL sudah sekian lama mengatur dan mengarahkan hidup para suster, tetapi tetap
saja ada masalah, tetap saja ada konflik hidup bersama yang tidak sehat.
Lalu sekarang suster mau memakai sebuah dokumen lain. Kalau selama ini saja
Konstitusi KSFL sudah gagal, apalagi yang bisa diharapkan dari sebuah dokumen
eksternal, dokumen yang datang
dari luar?
Puji
Tuhan, suster Egi, bisa
menjawab pertanyaan itu dengan sangat baik dan sangat memuaskan. Inti dari
jawaban itu hanya mengatakan bahwa tidak jarang, sebuah dokumen baru yang
diucapkan dari sebuah otoritas tertentu, apalagi dalam hal ini, otoritas
kepausan, melalui ensiklik Fratelli Tutti, bisa mendorong para suster untuk
melihat Kembali dengan lebih baik apa yang sudah ada di dalam konstitusi mereka
sendiri. Diharapkan bahwa sudut pandang dan otoritas Bapa Suci membawa sebuah
cara baru bagi para suster untuk membaca dan memahami konstitusi mereka
sendiri, yang, sama seperti Fratelli Tutti, juga memperjuangkan sebuah
cita-cita persaudaraan sejati.
Sebuah
Penelusuran Historis Yang Penting
Masih ada sebuah
pertanyaan lain yang saya ajukan kemarin kepada suster dan hal itu terkait
dengan apa yang bisa ditimba dan dipelajari dari Sejarah KSFL yang sudah cukup
Panjang. Terkait dengan pertanyaan ini, akhirnya saya juga melebar ke
pertanyaan tentang Sejarah awal mula kongregasi para suster di Belanda (Breda)
sana, dan juga Sejarah kedatangan mereka ke Indonesia.
Nah dari
pengembangan pertanyaan ini, saya akhirnya bisa mengetahui beberapa hal
penting. Pertama, saya tahu dan sadar ternyata kehadiran kongregasi
suster-suster ini sudah cukup lama, sebab dalam waktu dekat ini, mereka akan
merayakan seratus tahun kehadirannya di Indonesia. Sungguh luar biasa,
kehadiran yang pasti sangat signifikan dan kontributif bagi perjalanan hidup
bangsa Indonesia itu sendiri.
Kedua, saya juga
tahu bahwa saat ini di Indonesia ada empat kongregasi para suster, yang sekian
lama merasa bahwa mereka itu berbeda satu sama lain. Tetapi akhirnya, lewat
sebuah riset historis seorang suster yang menempuh studi doctoral, akhirnya
diketahui dan disadari bahwa sesungguhnya secara historis keempat kongregasi para
suster itu, pada awal mulanya di Belanda sana (Breda) merupakan satu kongregasi
saja.
Tetapi Sejarah
konflik yang melanda beberapa daerah atau propinsi di Belanda pada masa itu,
menyebabkan komunikasi dan konsolidasi dan koordinasi antara beberapa komunitas
yang ada terasa sangat sulit, sehingga akhirnya hal itu menyebabkan munculnya
empat kongregasi yang berbeda di tempat atau di kota yang berbeda (Breda,
Amsterdam, dan beberapa kota yang lainnya). Di dalam perkembangan sejarahnya
juga, ternyata keempat kongregasi yang awalnya satu itu, juga datang ke
Indonesia.
Sebuah
Eksperimen Historis Menuju Cita-cita “Penyatuan” Kembali
Yang menariknya
ialah, dan ini yang ketiga, setelah mereka mulai sadar akan kesatuan asal-usul
mereka secara historis dan geografis di Belanda sana (Breda), maka dibuatlah
sebuah komunitas eksperimen, sebuah komunitas yang diangan-angankan, imagined
community (meminjam istilah dari Anderson yang diadaptasi di sini) di Mentawai:
ada satu komunitas yang para anggota komunitasnya terdiri atas wakil dari para
suster dari masing-masing keempat kongregasi tadi.
Saya hanya
berharap bahwa “eksperimen” historis itu bakal membuahkan hasil yang positif ke
masa depan, entah dalam bentuk apa? Paling tidak, mungkin bisa dalam bentuk
sebuah koordinasi karya pelayanan yang jauh lebih efektif dan efisien sehingga
mendatangkan karya pelayanan yang sangat unggul dan juga membuahkan hasil di
dalam pertobatan dalam rangka pelaksanaan Grand Mission dari Tuhan Yesus
Kristus itu (Mat 29:19-20).
Kembali lagi
kepada penelusuran historis di atas tadi. Tentu di dalam perjalanan dan
perkembangan historis kongregasi, ada banyak sekali collective memories
yang kiranya bisa dijadikan sebagai modal dan model untuk perbaikan hidup
kongregasi sekarang ini dan di dalam pergerakan menuju ke masa depannya. Saya
membayangkan bahwa di dalam Sejarah yang Panjang itu tersimpan banyak catatan
dan ingatan historis tentang pelbagai macam konflik dan terutama sekali
conflict resolution, peace initiative and movements di dalam kongregasi itu
sendiri. Tetapi rupanya hal itu belum banyak digali sehingga belum ada model
yang bisa diangkat dari Sejarah untuk mengatasi krisis akibat konflik pada masa
sekarang ini.
Perjalanan
Ke Depan Bersama Fratelli Tutti
Sebagai
pembimbing, saya hanya berharap bahwa suster Egi, setelah menyelesaikan studi
ini dengan menulis tesis teologis-pastoral tentang hal ini, bisa memainkan
peranan yang penting lagi di dalam menata Kembali hidup kongregasi di masa-masa
yang akan datang dengan cara yang lebih baik lagi. Terkait dengan hal ini, pada
kesempatan lain sebelumnya, saya juga pernah menyampaikan kepada suster, dalam
sebuah percakapan dan dialog pribadi, bahwa berdasarkan pengalaman dan
pengamatan saya selama ini, sebuah serikat hidup bakti itu bisa hidup dan punya
masa depan yang cerah jika mereka, di dalam program kaderisasi generasi
mudanya, memperhatikan kaderisasi di tiga bidang yang utama ini.
Pertama,
kaderisasi pemimpin manajerial organisatoris. Memang ada yang mengatakan bahwa
pemimpin itu dilahirkan dan bukan dijadikan. Tetapi pada umumnya, dalam situasi
yang normal pada umumnya, pemimpin itu dijadikan, dibentuk dalam sebuah proses
Pendidikan dan pelatihan terus menerus. Serikat hidup bakti bisa membuat
program agar kaderisasi dalam bidang ini tidak mati, melainkan ada terus
menerus.
Kedua, kaderisasi
pemimpin intelektual. Di dalam serikat hidup bakti harus ada orang-orang
pintar, kaum intelektual, para pemikir, yang bisa memikirkan secara serius dan
mendalam akan serikat mereka, dan bisa terlibat di dalam Lembaga Pendidikan
umum untuk membentuk dan membina generasi muda bangsa. Para pemimpin intelektual
ini, biasanya juga menjadi tokoh panutan para anggota komunitas yang muda, yang
tatkala melihat mereka, menjadi sangat bangga karenanya. Ada seseorang yang
patut dibanggakan, yang membuat orang lain menjadi sangat bangga.
Ketiga, kaderisasi
pemimpin Rohani, dimensi spiritualitas dari seluruh program kaderisasi itu.
Orang-orang seperti ini adalah orang yang menjadi contoh teladan dalam kesalehan
hidup Rohani dalam tradisi dan ilham hidup kesalehan serikat itu sendiri. Ketika
melihat orang seperti itu, para anggota serikat, khususnya generasi mudanya,
langsung merasakan bahwa cara hidup orang itulah yang menjadi pemadatan secara nyata
idealisme hidup spiritualitas serikat. Orang bisa melihat dalam diri orang
seperti itu, seakan-akan sabda sudah menjelma menjadi daging, perkataan
menjelma menjadi untaian perbuatan nyata. Dan kehadiran orang seperti itu, akan
bisa mendatangkan efek penguatan yang luar biasa bagi orang lain. Tanpa ada dan
kehadiran dari hal itu semua, maka sebuah serikat hidup bakti akan terasa
menjadi kosong.
Jika sampai harus
memilih prioritas, yaitu mana dari ketiganya yang lebih penting dan menentukan,
saya harus mengatakan bahwa prioritas harus diberikan kepada yang ketiga.
Mengapa begitu? Karena serikat itu bukanlah sebuah organisasi Lembaga swadaya
Masyarakat. Serikat hidup bakti adalah sebuah cara hidup. Karena itu adalah sebuah
cara hidup, maka ia amat membutuhkan contoh teladan di dalam inti dasar dari
cara hidup itu sendiri. Walaupun sesungguhnya di dalam situasi normal, ketiga
hal itu erat terkait satu sama lain dan eksistensi historis mereka dalam
kenyataannya harus saling mendukung satu sama lain.
Catatan
Penutup Singkat
Selamat yah suster
Egi. Tahap ini sudah dilewatkan dengan sangat baik. Tentu saja ini hanya sebuah
modal awal. Masih harus diwujudkan secara nyata di dalam seluruh dinamika dan
perjuangan hidup itu sendiri. Semoga dinamika dan perjuangan suster selama satu
semester untuk menulis tesis ini bisa membawa hasil yang baik, pertama-tama
untuk kehidupan suster sendiri, dan kedua, untuk kehidupan para suster di dalam
kongregasi suster sendiri. Semoga dokumen Fratelli Tutti bisa dijadikan
sebagai bahan kajian di dalam pekan atau bulan studi kongregasi suster sendiri.
Jika hal itu dilakukan, pasti akan mendatangkan efek transformative yang luar
biasa bagi kongregasi suster sendiri.
Dari proses tanya
jawab kemarin dalam sidang tesis, akhirnya suster mengungkapkan sebuah
cita-cita dasar suster sendiri, yang saya dengar sendiri secara langsung,
seperti dirumuskan dalam rumusan ego-eimi atau ego sum ala
Yohanian itu, ketika
menyampaikan gambaran tentang Yesus: ego sum pastor bonus, ego sum panis
caelicus, ego sum panis vitae. Nah, kemarin dalam dinamika tanya-jawab
ujian, Ketika menjawab pertanyaan Prof. Bambang dan pastor Banu, dan juga saya
sendiri, akhirnya suster mengungkapkan dengan sangat singkat dan jelas, bahwa “aku mau menjadi tulisan
yang hidup itu sendiri.”
Dalam rangkuman
penutup saya katakan bahwa suster harus mencatat hal ini: “Akulah tulisan yang hidup”, ego sum scriptio
vitae, akulah tulisan yang hidup. I am the living writing. Artinya,
tulisan yang tampak diterapkan dan dihayati di dalam hidup. Tulisan yang
menjadi menarik karena sudah dihidupi, sudah dihayati, sebab verba volant,
scripta manent, verba docent exempla trahunt. Tesis suster sebagai verba
semoga bisa mengajar, tetapi cara hidup suster sebagai exempla bisa menarik orang
banyak. Semoga suster menjadi tulisan yang hidup yang mampu menginspirasi,
memotivasi mereka yang membacanya.
Akhirnya, Ya,
seperti kata Fransiskus Assisi sendiri, bapa kita semua, “Mari kita mulai lagi,
sebab sampai saat ini sebenarnya kita belum berbuat apa-apa.” Dan semoga
semuanya dibaktikan kepada Tuhan Allah yang di dalam penghayatan hidup
Fransiskus adalah segala-galanya di dalam segala-galanya, Deus meus et omnia.
Amin.
Bandung,
06 Agustus 2023.
Dr.
Fransiskus Borgias, M.A.
Komentar
Posting Komentar