UNGKAPAN DOA PENGHARAPAN ORANG MANGGARAI
Sebuah Catatan Singkat dan Sederhana
Oleh: Fransiskus Borgias
Dalam sebuah kesempatan istimewa dalam hidupku beberapa tahun yang lalu (persisnya, saat saya merayakan ulang tahunku), ada beberapa teman yang berasal dari Manggarai yang mengucapkan selamat kepada saya dengan memakai beberapa ungkapan dalam bahasa Manggarai. Mereka terutama sekali memakai beberapa doa permohonan yang mengandung doa-doa pengharapan asli dalam bahasa Manggarai dengan memakai go’et-go’et (ungkapan puitis) yang indah-indah. Di sini saya menyebutnya “Doa-doa permohonan," atau "Doa-doa pengharapan.”
Intinya ungkapan itu adalah sebuah untaian doa permohonan yang mengandung pengharapan untuk hidup seseorang. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih karena ketika membaca dan menikmati go’et-go’et itu serta-merta memunculkan sebuah ilham pemikiran dalam kepala saya untuk menulis sesuatu. Maka saya pun segera mengambil alat tulis dan menuliskan percikan ide-ide itu dalam buku harian saya.
Dua Jenis Doa Pengharapan Asli Manggarai
Menurut pengamatan sederhana saya, setelah membaca pelbagai ucapan itu, doa-doa pengharapan asli orang Manggarai itu dapat dikategorikan dalam dua jenis yang besar berikut ini. Pertama, doa permohonan yang mengandung harapan itu berbunyi sbb: “porong wake s/celer ngger wa, saung bembang ngger eta.” Jika diterjemahkan secara harfiah maka artinya ialah sbb: semoga (engkau yang didoakan ini, atau yang sedang merayakan pesta tertentu) dapat bertumbuh menjadi sebuah pohon yang kuat dan subur, indah, dan permai.
Segi kuatnya dalam doa itu disimbolkan dengan akar yang kuat menancap dan merengkuh punggung bumi dan bahkan masuk ke dalam rahim bumi pertiwi. Memang akar pohon yang kuat, akan menancap ke dalam perut bumi, menukik ke dalam rahim pertiwi. Fakta itulah yang coba diungkapkan dengan kata-kata, wake selern ngger wa, akar-akar yang menancap ke bawah. Dengan yang menancap dalam-dalam itu, pohon tadi dapat bertahan terhadap terpaan angin dan pelbagai macam daya-daya perusak lainnya, seperti aksi pencabutan secara paksa. Dengan masuk dalam-dalam ke dalam tanah maka pohon itu juga dapat mengisap air dari dalam tanah dengan sangat kuat, dan juga bisa mengambil bahan makanan dari dalam tanah yang diolah secara ajaib oleh mikroba purba, dan setelah sampai ke daun (sebagai dapur) diolah berkat bantuan sinar matahari lewat proses yang dikenal dengan sebutan ilmiah photosintesis itu (sintesis yang bisa terjadi berkat daya kekuatan phos atau cahaya yang terpancar dari matahari).
Segi kuatnya dalam doa itu disimbolkan dengan akar yang kuat menancap dan merengkuh punggung bumi dan bahkan masuk ke dalam rahim bumi pertiwi. Memang akar pohon yang kuat, akan menancap ke dalam perut bumi, menukik ke dalam rahim pertiwi. Fakta itulah yang coba diungkapkan dengan kata-kata, wake selern ngger wa, akar-akar yang menancap ke bawah. Dengan yang menancap dalam-dalam itu, pohon tadi dapat bertahan terhadap terpaan angin dan pelbagai macam daya-daya perusak lainnya, seperti aksi pencabutan secara paksa. Dengan masuk dalam-dalam ke dalam tanah maka pohon itu juga dapat mengisap air dari dalam tanah dengan sangat kuat, dan juga bisa mengambil bahan makanan dari dalam tanah yang diolah secara ajaib oleh mikroba purba, dan setelah sampai ke daun (sebagai dapur) diolah berkat bantuan sinar matahari lewat proses yang dikenal dengan sebutan ilmiah photosintesis itu (sintesis yang bisa terjadi berkat daya kekuatan phos atau cahaya yang terpancar dari matahari).
Tetapi akar yang menukik dan menancap dalam-dalam seperti itu juga mampu memasukkan dan mengikat oksigen di dalam tanah. Pada gilirannya hal itu dapat juga meningkatkan kesuburan tanah. Selain itu, jalur-jalur yang diciptakan oleh akar pohon tadi, bisa membantu cacing-cacing tanah melobangi tanah, dan dengan itu bisa membantu proses peresapan air ke dalam tanah menjadi sumber-sumber abadi air tanah yang sangat bersih, segar, tidak tercemar. Jadi, seluruh proses itu dapat membantu proses penyediaan air tanah yang sangat perlu bagi kehidupan seluruh makhluk hidup.
Oleh karena itu, jika kita rajin menanam pohon, maka sebenarnya, dengan cara tertentu, kita juga sedang memanen hujan, atau meningkatkan kemampuan permukaan bumi untuk memanen hujan, sehingga ketika musim hujan tiba, ada banyak debit air yang bisa diserap dan diresap oleh tanah, berkat bantuan akar-akar tadi. Akar-akar pohon yang menukik ke dalam tanah, memperbesar pori-pori pada permukaan bumi sehingga memungkinkan permukaan bumi itu bisa meresap air hujan dengan lebih banyak lagi.
Memandang Ke Atas
Jika dalam bagian terdahulu di atas tadi, mata kita terutama sekali diarahkan ke bawah, yaitu ke dalam permukaan bumi, maka dalam bagian ini mata kita terutama sekali diarahkan ke atas permukaan bumi. Baru pada saat itulah kita akan segera menyadari sesuatu yang penting. Yaitu bahwa pohon itu, di samping memiliki akar yang kuat yang menancap dengan kuat ke dalam bumi, juga memiliki dedaunan. Saat memandang dedaunan pohon, pada umumnya kita harus bersedia memandang ke atas.
Nah, menurut saya, segi subur, indah, dan permainya dilambangkan dengan dedaunan yang bertumbuh subur, lebat, rimbun, rindang, hijau di atas permukaan tanah. Dan dedaunan itu tumbuh ke atas, dan dari situlah kita mendapat ungkapan dalam doa tadi, saung bembang ngger eta, atau daun yang lebat subur ke atas. Dedaunan memang selalu tumbuh ke atas, untuk siap menyongsong dan menangkap sinar matahari yang amat diperlukan dedaunan itu untuk proses fotosintesis yang luar biasa.
Kita tahu bahwa dedaunan yang lebat dan rindang kita tahu menjadi sumber kesegaran bagi makhluk hidup yang lain seperti binatang dan juga manusia, sebab dedaunan itu mengeluarkan oxygen yang tidak mereka perlukan (tetapi diperlukan manusia dan makhluk hidup bernafas lainnya) dan mengisap zat arang (CO2, Carbondyoxida) yang dihasilkan oleh pernafasan manusia dan makhluk hidup mamalia yang lain dan juga emisi gas buang yang dihasilkan oleh perbagai alat-alat modern lainnya. Berkat kehadiran dan mekanisme kerja dedauan seperti itu, maka muncullah rasa sejuk dan segar. Dedaunan menciptakan efek segar dan juga efek estetik.
Jadi, dalam artian tertentu, doa ini bagi saya adalah sebuah doa ekologis juga, yakni sebuah doa yang mengarahkan dan bahkan menukikkan perhatian kita sebagai manusia ke bumi, ke dalam rahim pertiwi. Doa ini adalah doa bumi, doa imanen, doa yang merayap di atas permukaan bumi, mengusap punggung-punggung ibu bumi pertiwi. Manusia didoakan agar dapat menjadi seperti pohon yang berguna itu, yang mendatangkan manfaat bagi makhluk hidup yang lain di sekitarnya.
Metafora Astral
Dalam jenis doa permohonan yang pertama di atas tadi, metafora yang dipakai ialah metafora floral, karena memakai metafora yang diangkat dari dunia tetumbuhan. Sedangkan jenis doa permohonan yang kedua ini memakai metafora astral yaitu diangkat dari dua benda langit, benda angkasa, celestial creature, yaitu dalam hal ini ialah bulan dan bintang.
Nah doa permohonan yang mengandung harapan yang keuda itu berbunyi sbb: “porong uwa haeng wulang, porong langkas koe haeng ntala.” Jika diterjemahkan secara harfiah maka bunyinya ialah sbb: Semoga (engkau. yaitu orang yang didoakan ini) bisa bertumbuh (uwa) hingga (haeng) mencapai rembulan (wulang), dan bertambah tinggi (langkas) hingga mencapai (haeng) bintang (ntala).
Doa permohonan harapan yang kedua ini sangat menarik juga karena ia mengarahkan perhatian manusia ke atas, bukan lagi ke bumi. Jika doa yang pertama di atas tadi menukik ke bumi, maka doa yang kedua ini mengangkat kita ke atas, ke langit, ke angkasa, ke surga. Jadi di sini, kita diharapkan untuk bergerak melampaui bumi ini, walau itu tidak berarti harus meninggalkan bumi, sebab bumi ini tetap menjadi landasan berpijak abadi dari mana kita diharapkan dapat menggapai bulan dan bintang-bintang.
Dalam bahasa teologi, gerak ini boleh disebut gerakan men-transendensi diri, gerakan menaik ke atas, melampaui bumi, dunia ini. Doa itu sama sekali tidak menyarankan bahwa kita menggapai bulan dan bintang itu dengan terbang misalnya atau dengan memakai peralatan modern lain. Karena itu saya menolak jika ada penafsiran yang mengatakan bahwa di dalam doa ini sebenarnya tersirat cita-cita luhur orang Manggarai untuk pergi ke bulan dan bintang. Kiranya tidak seperti itu. Melainkan kita diharapkan menggapai bulan dan bintang itu dengan dinamika pemikiran dan budi kita, sementara itu kita tetap diharapkan untuk terus sambil berpijak di atas permukaan bumi ini.
Jadi, di satu pihak, kita diharapkan untuk membumi, berorientasi imanen, intramundan, tetapi di pihak lain kita itu juga melangit, atau bersifat transenden, supramundan, melampaui dunia ini. Tentu yang terakhir ini (dalam doa kedua) ini bukan lagi terutama perkara pertumbuhan jasmani belaka, melainkan perkara pertumbuhan budi, akal, jiwa, segi kerohanian kita. Badan kita memang boleh hanya melata di punggung bumi ini saja, mengikuti hukum-hukum alam yang memang tidak terhindarkan sama sekali, tetapi hati dan budi kita hendaknya terbang tinggi di atas awan-awan, menjangkau rentang cakrawala yang jauh dan bahkan rahasia. Kalau doa permohonan harapan yang pertama tadi berdimensi ekologis, maka doa permohonan harapan yang kedua ini berdimensi teologis, eskatologis, ultramundan.
Catatan Penutup Singkat
Menurut hemat saya, itulah paradoks filsafat manusia Manggarai: terarah ke bawah, sekaligus juga terarah ke atas. Berorientasi realisme, sekaligus idealisme, sekaligus mengikuti Plato (idealisme) dan sekaligus juga mengamini Aristoteles (realisme). Itulah paradoksnya. Tetapi tidak apa-apa. Kita diharapkan berjalan sambil sekaligus memandang ke bawah dan ke atas. Sebuah perjalanan yang dinamis, penuh dinamika.
Jadi, di satu pihak, kita diharapkan untuk membumi, berorientasi imanen, intramundan, tetapi di pihak lain kita itu juga melangit, atau bersifat transenden, supramundan, melampaui dunia ini. Tentu yang terakhir ini (dalam doa kedua) ini bukan lagi terutama perkara pertumbuhan jasmani belaka, melainkan perkara pertumbuhan budi, akal, jiwa, segi kerohanian kita. Badan kita memang boleh hanya melata di punggung bumi ini saja, mengikuti hukum-hukum alam yang memang tidak terhindarkan sama sekali, tetapi hati dan budi kita hendaknya terbang tinggi di atas awan-awan, menjangkau rentang cakrawala yang jauh dan bahkan rahasia. Kalau doa permohonan harapan yang pertama tadi berdimensi ekologis, maka doa permohonan harapan yang kedua ini berdimensi teologis, eskatologis, ultramundan.
Catatan Penutup Singkat
Menurut hemat saya, itulah paradoks filsafat manusia Manggarai: terarah ke bawah, sekaligus juga terarah ke atas. Berorientasi realisme, sekaligus idealisme, sekaligus mengikuti Plato (idealisme) dan sekaligus juga mengamini Aristoteles (realisme). Itulah paradoksnya. Tetapi tidak apa-apa. Kita diharapkan berjalan sambil sekaligus memandang ke bawah dan ke atas. Sebuah perjalanan yang dinamis, penuh dinamika.
Memang orang harus berjalan dengan sangat hati-hati antara memandang ke atas untuk menikmati dan mengagumi benda-benda angkasa yang memang sangat indah dan mengagumkan, dan sekaligus juga memandang ke bawah, yaitu ke bumi, tepatnya ke kaki, agar kaki itu tidak tersandung pada bau, melainkan dengan lincah mencari landasan-landasan pijak baru dan terpercaya untuk menjadi batu pijakan dalam menempuh langkah-langkah perjalanan hidup selanjutnya.
Sekali lagi, jika orang Manggarai berdoa bagi sesamanya ia selalu berkata, porong wake celern ngger wa, agu saung bembang nggere eta. Doa ini membawa kita ke bawah, ke muka bumi. Dan juga porong langkas haeng ntala, uwa haeng wulang. Sebaliknya doa ini membawa kita ke atas, melampaui bumi. Semoga dengan itu ada dan tersedia kemakmuran dan keselamatan. Itu pun harapan kita juga.
Bandung, ditulis ulang pada 05 Agustus 2023
Sekali lagi, jika orang Manggarai berdoa bagi sesamanya ia selalu berkata, porong wake celern ngger wa, agu saung bembang nggere eta. Doa ini membawa kita ke bawah, ke muka bumi. Dan juga porong langkas haeng ntala, uwa haeng wulang. Sebaliknya doa ini membawa kita ke atas, melampaui bumi. Semoga dengan itu ada dan tersedia kemakmuran dan keselamatan. Itu pun harapan kita juga.
Bandung, ditulis ulang pada 05 Agustus 2023
(Tulisan asli dimuat pada: 03 Oktober 2009)
Komentar
Posting Komentar