MEMAKNAI SIMBOLISME BATU DALAM HIDUP MANUSIA

gambar: di ambil dari google picture. 



Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, M.A. 

Dosen dan peneliti Senior pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. 


Catatan Pengantar Singkat 

Hari ini saya mendampingi kegiatan perkuliahan untuk mata kuliah yang berjudul "Budaya Kematian" (The Culture of Death). Kiranya judul itu menimba ilham dari sebuah dokumen inspiratif dari Paus Yohanes Paulus II, yaitu ensiklik yang berjudul Evangelium Vitae, The Gospel of Life. Tetapi isi dari mata kuliah itu, tentu tidak membahas tema kematian secara negatif, melainkan terutama sekali membahas mengenai bagaimana upaya manusia memaknai peristiwa kematian itu sendiri agar bisa berguna bagi hidup manusia itu sendiri sekarang dan di sini. 

Adapun pokok pembahasan yang kami bahas pada hari ini adalah tentang hasil penelitian seorang peneliti antropologi dari Australian National University yang bernama Anthony Reid (sebagaimana termuat dalam buku The Potent Dead). Pada suatu saat ia meneliti tentang adat pemakaman yang ada dan hidup di kalangan orang-orang Batak Toba. Tidak seluruh detil hasil riset itu akan dibentangkan di sini. Memang bukan itu maksud dan tujuan tulisan ini. Tulisan ini dimaksudkan hanya untuk memberi tanggapan saya sebagai dosen terhadap pertanyaan diskusi yang diajukan oleh salah seorang mahasiswa saya, Herwanto Weya, mahasiswa asal Papua. 

Simbolisme Batu Dalam Hidup Manusia 

Herwanto kurang lebih mengajukan pertanyaan yang saya coba saya rumuskan kembali dengan kata-kata berikut ini: Dari hasil studi yang serba singkat selama ini, diperoleh kesan dan informasi bahwa rupanya batu (stone, lithos, watu), terutama batu yang berukuran sangat besar, biasa digunakan di dalam adat pemakaman khususnya pemakaman ulang bagi tulang-belulang dari para leluhur yang sudah lama mati. Hal itu dapat kita temukan dalam kuburan batu, sarcophagi yang ada di pulau Samosir maupun di beberapa titik di sekeliling danau Toba itu." 

Pertanyaan ini kiranya muncul karena dalam beberapa presentasi mahasiswa selama beberapa minggu belakangan ini, memang sering berurusan dengan makam dan batu. Misalnya, minggu yang lalu, seorang mahasiswa peserta kuliah ini (Herwanto Weya), sudah menampilkan presentasinya tentang adat istiadat pemakaman dan perlakuan terhadap orang mati sebagaimana dipraktekkan oleh orang-orang Toraja. Beberapa minggu sebelumnya, salah seorang mahasiswa (Dicky Ananda) menguraikan tentang praktik pemakaman orang mati di antara satu suku Daya Ahoeng. Di awal-awal semester ini, ada seorang mahasiswa (Erick Mutis) yang lain yang sudah mempresentasikan tentang adat kebiasaan perlakuan terhadap orang mati yang dipraktekkan oleh orang-orang di Nusa Penida. Ternyata dalam pengamatan sekilas, batu memainkan peranan yang sangat penting. 

Hari ini, dalam ruang diskusi, tanya jawab dan dialog interaktif, seorang mahasiswa, asal papua yang bernama Herwanto Weya, mengajukan sebuah pertanyaan kritis dan sangat menarik. Ia bertanya tentang fenomena batu itu yang hampir tersebar di mana-mana dalam pelbagai kehidupan suku-suku di dunia ini. Wanto bertanya, apakah ada sesuatu yang bisa menjelaskan tentang mengapa batu ini seperti ada dan hadir di mana-mana dalam kehidupan manusia? 

Upaya Menjawab Pertanyaan 

Sejenak saya tertegun mendengar pertanyaan itu. Tentu saja pertanyaan itu sangat menarik dan juga sangat penting. Tetapi tidak mudah juga untuk dijawab. Setelah berpikir sejenak, akhirnya saya mencoba memberi jawaban dan penjelasan sebagai berikut. Sebenarnya saya tidak ingat lagi di mana saya pernah membaca penjelasan filosofis ini. Mungkin dalam salah satu buku dari Mircea Eliade yang pernah menulis buku tentang agama-agama dan sejarah mitos. Mungkin juga dalam buku yang lain dari Karen Armstrong yang pernah menulis tentang agama-agama dan juga tentang sejarah mitos. Atau boleh jadi seorang pengarang yang lain, seperti Joseph Campbell (teoretikus besar mengenai mitologi) maupun sosiolog Amerika terkemuka, si Robert N. Bellah, yang pada tahun 2011 silam menulis buku menarik tentang agama di dalam perjalanan evolusi manusia (Religion in Human Evolution). 

Mungkin juga buku yang lain, entah siapa pengarangnya. Entahlah. Oh ya saya ingat sekarang. Yaitu dalam buku dari seorang antropolog yang pernah meneliti kehidupan orang Waerebo di Manggarai Selatan. Hasil dari penelitian itu ia rumuskan dalam sebuah buku yang berjudul sangat menarik: Potent Landscape. Place and Mobility in Eastern Indonesia (Hawaii, 2013). Di dalam buku itu antara lain, Catherine Allerton, juga membahas tentang fenomena pemakaian batu dalam hidup orang Manggarai, khususnya Waerebo, dan upaya pemahaman dan pemaknaannya. 

Tetapi penjelasan yang saya dapatkan di sana dapat dirumuskan dalam sebuah kalimat yang sangat indah. Yaitu bahwa tersebarnya budaya batu di antara para suku bangsa di dunia ini kiranya disebabkan oleh adanya intuisi akan keabadian yang hidup di dalam jiwa, kalbu dan budi setiap suku, orang-orang itu. Saat mereka mengintuisi akan keabadian, hampir secara alamiah mereka juga berusaha mencari ekspresi alamiah dan material dari intuisi dan kerinduan itu. Tatkala mereka memandang ke alam, di sana mereka menemukan sebuah fakta bahwa ada benda yang sangat perkasa yang tidak mudah dihancurkan oleh daya apa pun di alam ini. 

Batu: Simbolisme Keabadian, Kekuatan, Kestabilan 

Maka batu itu pun lalu menjadi symbol dari kekekalan, kekokohan dan bahkan keabadian itu sendiri. Tatkala manusia awali itu rindu akan keabadian maka mereka mencoba memperlambangkannya dalam perlambang atau simbolisme batu. Jadi batu itu, dengan kekokohan dan kekuatannya melambangkan keabadian. 

Tatkala suku bangsa manusia di mana-mana memakai simbolisme batu di dalam kehidupan mereka, maka bagi saya hal itu hanya mau menggambarkan bahwa mereka rindu akan keabadian dan kerinduan itu coba mereka lambangkan secara eksplisit di dalam simbolisme batu. Tatkala melihat batu orang terpikir akan keabadian, akan kekekalan. Bahkan orang rindu akan keabadian. Dan pikiran dan rindu akan keabadian itupun lalu dipadatkan dalam dan dengan simbolisme batu. Ya, Batu adalah simbolisme keabadian itu sendiri. 

Oleh karena itu, janganlah heran jika batu itu ada di mana-mana dalam praksis ritual dan hidup adat pelbagai kelompok manusia. Mengapa demikian? Karena sejauh dalam diri ingatan kolektif manusia itu dan juga dalam imajinasi religius mereka ada percik-percik pengenalan dan pengakuan akan keabadian, maka di sana akan muncul juga secara otomatis Upaya yang rasional dan sadar untuk memberi perlambang untuk keabadian itu. Dan lambang paling tepat tidak lain ialah, karena kekokohannya, batu. Keperkasaan batu mengingatkan kita manusia dengan sangat mudahnya akan keabadian. Batu, karena kuat dan kokoh, akan terus berada hingga keabadian. Begitulah kira-kira. 

Awan: Sebagai Kehadiran Yang Bersifat Tetap 

Ketika sedang menjelaskan hal ini saya tiba-tiba teringat bahwa sebenarnya awan juga adalah sesuatu yang melambangkan kehadiran yang bersifat abadi. Awan itu, walaupun tidak bisa diraba karena tidak menggumpal atau mengental, walaupun tampak seperti menggumpal bagaikan kapas ataupun tumpukan bulu domba hasil cukuran, tetapi tetap tidak bisa diraba, tidak bisa dipegang. Namun demikian ia selalu ada, ia selalu hadir di sekitar manusia, terutama yang hidup di atas ketinggian pegunungan. 

Oleh karena itu mudah saja bagi kita jika secara spontan terpikir akan keabadian itu saat melihat ataupun mengalami awan, memasuki awan. Bahkan Musa pun seperti terhanyut dan tenggelam di dalam keabadian Tuhan, saat masuk ke dalam awan-awan di puncak Sinai. Kiranya tidak meleset jika Kitab Suci memakai awan-awan itu sebagai simbol kehadiran sang Abadi itu sendiri, yakni Tuhan. Karena itu, ketika manusia masuk ke dalam awan-awan, ia seperti masuk ke dalam aura keabadian itu sendiri. 

Bagi orang Israel sendiri, di dalam perjalanan pengembaraan mereka yang panjang dari Mesir, ke Sinai, lalu ke negeri Kanaan, Tanah Terjanji itu, mereka selalu didampingi oleh kehadiran tiang awan, sebuah tanda (simbolisme) kehadiran dari sang Ilahi sendiri, Tuhan. Jadi, simbolisme awan sebagai tanda kehadiran Tuhan Allah, bukanlah sesuatu yang asing di dalam imajinasi religius umat manusia. Bahkan kitab suci Perjanjian Lama tetap merekam hal itu dengan sangat sempurna. 

Dan jejak dari awan sebagai tanda kehadiran langit itu tampak juga dalam kisah transfigurasi Yesus di atas gunung Tabor, sebuah kisah yang terkenal itu, Yesus berubah rupa, yang menyebabkan Petrus dan kedua murid yang lain itu, terhanyut di dalam sebuah pengalaman mistik yang sangat ajaib dan mendatangkan pengalaman kenyamanan yang tidak terlukiskan dalam dan dengan kata-kata. 

Fenomena "Rewung Taki Tana" 

Ketika saya menulis tentang hal ini saya teringat akan pengalaman masa kecil saya di Ketang dulu, di Manggarai. Dalam Bahasa Manggarai, khsusunya di Lelak, kita mengenal ungkapan "Rewung Taki Tana." Bahkan ungkapan ini juga terabadikan dalam syair lagu rakyat dari seorang seniman tunanetra Manggarai yang amat terkenal, Bapak Makarius Arus. Secara harafiah ungkapan rewung taki tana itu dapat diartikan sebagai, awan (rewung) yang menyentuh (taki) sampai ke tanah (tana). 

Manakala fenomena alam Rewung taki tana ini datang, biasanya pada musim kering yaitu mulai Juni, Juli, Agustus dan pertengahan September, maka jarak pandang kita tidak akan lebih jauh dari tiga meter. Lebih jauh dari itu kita tidak bisa melihat apa-apa atau siapa-siapa. Manakala fenomena itu datang, kita merasakan suatu aura mistis yang sangat mencengkam dan juga menakutkan. Mungkin karena memang ada sesuatu di balik atau bahkan di dalam awan itu. Mungkin karena di masa silam, di masa aksi penangkapan orang untuk dijual jadi budak, biasanya para pagora, para penculik manusia itu melakukan aksinya di Tengah awan yang kelam itu. Para pencuri juga melakukan aksinya di dalam awan itu. 

Manakala awan itu datang, anak-anak dilarang bermain di luar rumah. Itulah sebabnya bagi anak-anak seperti saya, kedatangan fenomena alam itu terasa sangat mencengkam dan menakutkan. Pada saat itu, sebagai seorang anak kecil saya sudah mempunyai pikiran intuitif bahwa ada sesuatu, entah apa, di balik awan, di dalam awan. Awan datang membawa sesuatu, entah apa, entah bagaimana. Tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tetapi dengan sangat kuat diyakini bahwa memang ada sesuatu di dalam sana. Sebuah kehadiran yang penuh misteri. 

Catatan Penutup: Dimensi Keluasan "Cloud" 

Di jaman kemajuan revolusi teknologi informasi dewasa ini, tiba-tiba muncul sebuah istilah yaitu kita dapat menyimpan semua dokumen kita di awan, di dalam cloud. Jadi, cloud atau awan itu adalah sebuah dimensi keluasan, sebuah dimensi ruang, yang di dalamnya kita dapat menyimpan sesuatu secara tidak terbatas. Fakta ini jugalah yang akhirnya mendorong saya untuk berpikir bahwa awan, cloud, dan kehadiran awan itu juga menyiratkan dan melambangkan keabadian, keluasan yang hampir tidak bertepi, justru karena tidak fisikal, tidak spasial, hanya berupa sebuah dimensi keluasan, tak bertepi, dan karena itu juga abadi. 

Ketika saya bentangkan wacana penjelasan seperti ini, saya memandang wajah ketiga mahasiswa saya, merasa seperti puas dan seperti terbuka sebuah cakrawal pengetahuan dan kesadaran baru di dalam diri mereka. Melihat hal itu saya sendiri merasa sangat senang, Bahagia dan puas. Sebab kebahagiaan apalagi yang bisa didambakan seorang guru, seorang dosen, selain melihat dan menyadari bahwa cakrawala pengetahuan dan kesadaran para muridnya tiba-tiba menjadi terbuka ke sebuah horizon yang baru, yang belum pernah terpikirkan sama sekali sebelumnya. 

Untuk semakin membuat mereka senang, bahagia, dan terkagum-kagum, saya pun menambahkan penjelasan berikut ini, sebuah penjelasan yang sebenarnya sudah pernah saya tulis dengan tulisan tangan di dalam buku harian (BH) saya. Saya katakan, jika di masa silam dan hingga saat ini, aktifitas menggali tambang untuk menemukan fosil-fosil itu dilakukan di atas tanah dan ke dalam tanah, maka mulai saat ini dan seterusnya ke masa depan, aktifitas tambang untuk menemukan fossil-fossil pemikiran, wacana manusia, akan dilakukan ke dalam awan-awan, into the clouds, tempat kita manusia pernah menaruh di dalam lipatan cluster-clusternya pemikiran dan renungan-renungan kita. 

Dan sebagaimana hasil tambang mineral kita selama ini sudah sangat memperkaya dan mempermudah hidup kita, maka di masa depan, hasil tambang dari dalam cloud itu, pasti juga akan memperkaya dan mempermudah hidup kita, entahlah bagaimana, entahlah seperti apa. Saya belum bisa membayangkan hal itu. Saya hanya bisa membayangkan bahwa hal itu mungkin akan terjadi di masa depan, karena kita sudah membuka ruang-ruang privat di dalam ruang penyimpanan awan-awan itu. 

Ah betapa awan-awan itu mengisyaratkan dan melambangkan keabadian. Saya ingat akan seorang penyair yang pernah berujar, tetapi sayangnya saya lupa namanya, bahwa kehadiran awan-awan, mengingatkan dia akan percik-percik keabadian. Dan memang benarlah demikian adanya. Awan-awan dan keabadian, bersatu di dalam ruang imajinasi seniman. 


Gambar: diambil dari Google picture. 



Dr. Fransiskus Borgias, M.A. 

Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. 

Jalan Nias, No.2, Bandung, 40117, Jawa Barat, Indonesia. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO