PELUCUTAN ASET KEMAJUAN ORANG-ORANG INDIAN
![]() |
Gambar Ilustrasi: Dari Koleksi Pribadi |
Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, M.A.
Dosen dan Peneliti Senior pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Catatan Pengantar Singkat
Dalam kuliah Teologi Pembebasan untuk para mahasiswa S2 teologi di tempat kami kemarin (hari Senin tanggal 27 November 2023), saya tidak membahas bahan yang sudah saya siapkan dalam bentuk slide-slides power point tentang Sejarah Amerika Latin, melainkan saya ganti dengan kegiatan menonton Film Bersama-sama di kelas. Film yang kami tonton itu ialah sebuah film yang berjudul The Mission, sebuah Film yang terkenal dari tahun 1985 (1986). Memang Film itu mengambil latar belakang Sejarah dari Abad 17 dan 18. Tetapi percikan-percikan refleksi historis yang ada di dalamnya, saya harapkan bisa memberi gambaran sedikit kepada para mahasiswa tentang ingatan-ingatan Sejarah dari Kawasan itu.
Saya sendiri sudah sangat sering menonton Film itu. Entah sudah berapa kali saya menontonnya. Bahkan saya juga sudah beberapa kali menulis percikan refleksi personal saya setelah menonton film itu. Dan ternyata setelah setiap kali menontonnya selalu saja masih ada percikan refleksi yang muncul dari film itu untuk dicatat dalam lembar-lembar Buku Harian (BH) saya. Pada kesempatan kali ini saya mau menulis tentang sebuah adegan khusus yang ada kaitannya dengan kelindan antara petinggi gereja setempat dan petinggi colonial Portugis untuk merebut dan menguasai orang-orang setempat.
Aksi Ekspansionis Kolonial Portugis-Spanyol
Dikisahkan bahwa orang-orang Portugis dan Spanyol di Amerika Latin itu, gencar sekali melakukan aksi penangkapan terhadap orang-orang Indian untuk dijadikan maupun untuk diperdagangkan sebagai budak-budak di pasar-pasar budak pada masa itu. Sampai pada suatu saat, seorang tentara bayaran, Rodrigo Pedroza, dalam salah satu aksinya menangkap budak-budak yaitu orang-orang Indian di hutan-hutan tempat kediaman mereka, akhirnya bertemu dengan seorang Romo Yesuit yang sudah bekerja di antara orang-orang Indian Guarani untuk mengubah hidup mereka ke arah yang lebih baik dan kalau bisa juga mempertobatkan mereka untuk dibaptis menjadi para pengikut Kristus.
Di dalam laporannya setelah Kembali ke Kota, Rodrigo mengatakan kepada si Boss kolonialis penampung budak-budak itu bahwa sekarang kita tidak bisa bebas lagi menangkap orang-orang Indian untuk dijual dan dijadikan sebagai budak-budak karena ada aktifitas misioner yang dilakukan oleh para romo Yesuit di Tengah-tengah mereka dan menjadi pembela orang-orang Indian tersebut. Informasi yang singkat itu, ternyata bukan merupakan kabar gembira bagi penguasa colonial Portugis. Melainkan itu adalah sesuatu yang amat mengganggu di dalam aksi ambisius dan nafsu kolonisasi mereka untuk menguasai seluruh Amerika Latin.
Rodrigo: Tentara Bayaran dan Pelaku Fratrisida
Rodrigo sendiri, setelah aksi penangkapan orang-orang Indian itu untuk dijadikan sebagai komoditas dagang di pasar budak, terseret dalam api cemburu terhadap adiknya yang sebenarnya sangat ia cintai dan sangat ia banggakan juga, tetapi ternyata terlibat dalam jalinan asmara dengan seorang Perempuan yang sebenarnya menjadi kekasih Rodrigo sang kakak. Dan ternyata Perempuan itu lebih mencintai sang adik dan bahkan dalam salah satu keramaian pesta rakyat, Rodrigo memergoki mereka sedang “berpesta” berdua dalam sebuah kamar.
Dalam amarah, Rodrigo pergi. Dan dalam perjalanan pergi ke tempat ramai itu, kiranya untuk menenangkan diri, ia terlibat dalam sebuah pertengkaran dengan seseorang yang ia curiga sedang menertawakan dan mengolok dia. Dalam titik genting pertengkaran itu, si adik datang untuk melerai dan terjadilah bencana itu. Mereka berdua justru terlibat dalam sebuah adu duel pedang. Sebagai seorang tentara bayaran professional, Rodrigo, dalam waktu yang sangat singkat menyudahi perlawanan sang adik yang masih sangat belia itu. Sang adik mati bersimbah darah dan jatuh terjerembab di kakinya.
Sejak saat itu, Rodrigo diliputi sebuah rasa bersalah yang sangat mengerikan, sehingga kemudian ia pergi menutup diri dan melakukan aksi penintensial dengan mengurung diri dalam sebuah ruangan tahanan di sebuah biara kaum Yesuit. Dia sama sekali tidak mau menerima tamu siapa pun juga, bahkan termasuk para imam Yesuit yang ada dalam rumah para romo Yesuit itu. Sampai pada satu saat, ia bisa dilunakkan hatinya oleh kunjungan seorang romo, Pater Rafael (Gabriel?) yang sudah beberapa waktu lamanya bekerja di antara orang-orang Indian Guarani. Pater inilah yang berhasil mendorong Rodrigo untuk bisa keluar dari siksaan dan belenggu rasa bersalah itu, dengan cara melakukan aksi penitensial, penghukuman atas semua dosa yang telah ia lakukan, dan terutama dosa membunuh sang adik, karena terbakar amarah dan api cemburu.
Penitensi Rodrigo Menuju Manusia Baru
Dan sesuai dengan teologi sakramen pengakuan dosa pada jaman itu, maka si Rodrigo pun mau melakukan penitensi yang sangat berat, yaitu ikut serta dalam perjalanan ekspedisi para Romo Yesuit dengan menempuh perjalanan yang sangat Panjang, melelahkan dan sangat berbahaya. Rodrigo harus memanjat tebing untuk bisa naik ke atas ke tempat hidup orang-orang Indian Guarani. Rodrigo tidak hanya memanjat dengan membawa badannya saja, melainkan ia harus memanjat sambil menarik sebuah karung besar yang berisi semua peralatan militer dalam aksinya untuk menangkap orang-orang Indian untuk dijadikan budak.
Dengan suatu usaha yang sangat berat dan susah-payah, akhirnya Rodrigo dan Bersama para Yesuit itu berhasil mencapai puncak dan diterima oleh komunitas Guarani. Di sanalah, salah satu anggota suku Indian Guarani itu, memotong tali karung yang diseret Rodrigo dengan badannya, dan kemudian membuang karung itu ke Sungai dan tenggelam. Simbolisme dosa sudah dilepaskan dan ditenggelamkan dan dihanyutkan ke dalam Sungai. Maka Rodrigo pun sudah bebas dari dosa-dosanya dan diharapkan akan menjadi manusia baru, the new man, the new person, sebuah gagasan yang dilontarkan santo Paulus, sebagai hasil karya penebusan Allah dalam diri Yesus Kristus.
Perjuangan Menjadi Yesuit di Medan Pelayanan Misi
Sejak saat itu, Rodrigo pun ikut serta di dalam karya pelayanan misi para imam Yesuit itu untuk orang-orang Guarani. Lambat laun Rodrigo merasa tertarik juga untuk ikut bergabung menjadi seorang biarawan Yesuit. Dan lewat sebuah pembinaan dan dialog yang Panjang, akhirnya ia diterima menjadi Yesuit. Singkat cerita, pada suatu saat, para biarawan Yesuit ini akhirnya bertemu dengan Uskup dan petinggi colonial Portugis untuk membahas tentang Nasib kaum Indian. Di mata orang-orang Portugis, orang-orang Indian itu bukanlah manusia yang sama seperti orang-orang Eropa. Sedangkan di mata para biarawan Yesuit, mereka itu adalah manusia sama seperti kita dan karena itu tidak boleh ditangkap untuk diperdagangkan sebagai komoditas dagang di arena pasar budak.
Persis pada saat itulah terjadi pertengkaran antara sang petinggi penjajah Portugal itu dengan Biarawan Rodrigo, yang kini sudah menjadi Yesuit, tetapi yang tadinya adalah bekas tentara bayaran professional penangkap budak, yang jasanya pernah dipakai oleh si petinggi koloni Portugal itu. Akibat pertengkaran itu, si petinggi sangat marah dan tidak sudi dirinya disanggah oleh seorang biarawan yang bekas tentara bayaran penangkap budak. Bapak Uskup dan pater petinggi Yesuit setempat membujuk dan meminta Rodrigo agar mau melakukan ritual permohonan maaf kepada sang petinggi.
Setelah berhasil mengalahkan egonya sendiri, dengan bantuan bapak Uskup dan Romo Pemimpin Yesuit, akhirnya Rodrigo mau juga melakukan ritual pendamaian itu dengan disaksikan oleh banyak orang. Dan permohonan maaf itu diterima oleh si petinggi dengan sikap angkuh dan tampak setengah hati saja.
Ekspansi Koloni Portugal
Persoalan tidak berhenti di sana. Karena si petinggi colonial itu membentangkan rencananya untuk merebut wilayah Indian seluas-luasnya untuk dijadikan tanah jajahan mereka. Tetapi hal itu tidak mudah dilakukan karena terhalang oleh karya misi para imam Yesuit. Karena itu, si boss colonial itu mendekati bapa Uskup agar dengan jasa Bapa uskup bisa membujuk para Yesuit itu, agar mau menyerahkan daerah misi mereka kepada orang-orang Portugis.
Ternyata hal itu tidak mudah juga, sebab kantong-kantong misi Yesuit itu sudah sangat maju dalam banyak segi kehidupan dan bahkan juga sudah memberi sumbangan kepada pemerintah melalui retribusi pajak. Tetapi hal itu tetap tidak memuaskan nafsu ambisi kolonisasi orang-orang Portugis. Mereka menghendaki agar para Yesuit itu, yang berlatar belakang Spanyol, seluruhnya angkat kaki dari daerah jajahan Portugis. Tetapi para imam Yesuit tetap berjuang keras untuk mempertahankan kantong-kantong misi mereka.
Visitasi Episkopalis ke Communio San Carlos
Untuk itu mereka mau meyakinkan sang Uskup bahwa karya mereka sudah berhasil mengubah hidup orang-orang itu menjadi manusia sama seperti diri mereka sendiri (orang-orang Eropa). Maka bapa uskup diberi kesempatan untuk datang meninjau salah satu kantong terdekat yaitu komunitas San Carlos. Memang hingga saat itu, komunitas Indian San Carlos merupakan salah satu symbol kisah sukses karya pelayanan misi transformative para imam Yesuit.
Hasil transformasi itu tampak sangat nyata dibentangkan di hadapan Bapa Uskup yang datang meninjau (visitasi). Hidup pertanian sangat maju, khususnya pisang. Bengkel kerja tangan dengan pelbagai macam kerajinan, bahkan kerajinan tangkat tinggi seperti membuat biola dan Oboe (seruling kayu) dengan mutu bunyi yang sangat berkwalitas, juga sangat maju dan menghasilkan uang yang berlimpah. Liturgi, perayaan liturgi, music liturgi juga sangat maju. Salah satu buktinya ialah paduan suara gerejawi yang berhasil menyanyikan lagu-lagu klasik standar kelas tinggi dari Eropa, suatu yang berhasil membuat bapa Uskup sangat terkesan dan terkagum-kagum karenanya.
Kesenian juga sangat maju, sebab mereka berhasil membuat hiasan-hiasan dinding gereja dengan karya tangan mereka sendiri. Sungguh luar biasa mengagumkan. Lebih dari itu, setelah orang-orang itu menjadi Kristen, bahkan ada juga dari antara mereka yang sudah menjadi imam Yesuit dan sebagai Yesuit sehari-hari ia mengenakan jubah imam Yesuit dan bertugas mendampingi bapa Uskup di dalam visitasinya itu.
Dalam salah satu dialog Bapa Uskup dengan imam Yesuit Indian itu, terbersit sebuah “konflik” pandangan dan penilaian teologis. Bapa Uskup bertanya, tentang hasil tahunan komunitas itu, dan dijawab dengan sangat rinci oleh sang Imam, dalam bentuk laporan keuangan yang sangat rinci dan jelas. Termasuk juga kontribusi untuk negara (baca: penguasa colonial tentu saja). Lalu uskup bertanya, bagaimana semua hasil itu dinikmati di sini? Pastor itu dengan tenang menjawab dan menjelaskan, bahwa kami orang Indian di San Carlos ini adalah sebuah hidup komunitas, sebuah communio, sebuah Persekutuan di dalam iman, harapan, dan kasih. Oleh karena itu, semua hasil dibagi dan dinikmati Bersama-sama oleh semua orang di dalam komunitas ini.
Mendengar jawaban itu, bapa Uskup memberi penilaian bahwa praktek itu adalah praktek benih-benih ide-ide komunis dan kemudian mengental dalam ajaran marxistis, dan di balik penilaian itu ada sedikit nada-nada kecurigaan. Mendengar penilaian yang sepertinya penuh curiga itu, dengan tenang sang imam Yesuit Indian tadi, mengatakan bahwa cara hidup itu adalah cara hidup yang ditimba dari ilham dasar Perjanjian Baru itu sendiri, persisnya dari Kisah Para Rasul.
Tekanan Internasional Atas Yesuit
Mendengar jawaban itu, tampak Bapak Uskup seperti kebingungan juga. Bahkan bapak Uskup bingung juga harus memutuskan apa. Tetapi lewat intrik dan tekanan politik internasional di Eropa, termasuk ada kemungkinan bahwa Serikat Yesuit diusir keluar dari Portugal dan semua jajahannya, dan jika itu terjadi, bukan tidak mungkin relasi-relasi Portugal akan mengikuti Langkah itu. Walau tetap ada penolakan dari para imam Yesuit, akhirnya kantong-kantong misi yang sudah sangat maju dan swasembada secara ekonomis itu diserahkan karena dirampas secara paksa kepada colonial Portugis.
Di San Carlos pada hari itu terjadi perlucutan, bahkan aksi pembunuhan. Bahkan sang imam Yesuit Indian itu juga dilarang mengenakan busana kebiaraan. Ia juga dipaksa melepaskan jubahnya dan diserahkan kepada orang-orang Portugis. Saya bisa membayangkan betapa romo Yesuit Indian itu sangat kebingungan. Apa yang selama ini telah ia terima dengan sepenuh hati dan dengan penuh iman, harapan, dan kasih, sekarang dirampas Kembali dari padanya justru oleh orang-orang Eropa itu sendiri juga. Dua sisi aksi orang Eropa sungguh membingungkan orang-orang setempat.
Bagi saya, simbolisme itu sangat indah. Simbolisme itu menjadi bukti yang sangat kuat mengenai kelindan yang sangat rumit antara kuasa penjajah dan kuasa gereja melalui bapa Uskup. Seperti ada sebuah kolaborasi jahat antara gereja dan penguasa sipil untuk menguasai orang-orang setempat dan merebut aset-aset tanah milik mereka, dan kemudian mengusir mereka keluar dari tanah leluhurnya, tanah tumpah darahnya.
Setelah melihat apa yang dilakukan orang-orang Portugis atas San Carlos, bapa Uskup sangat sedih dan marah juga. Tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa juga untuk mengatasinya. Sebagai pembelaan diri, salah seorang juru bicara penguasa penjajah mengatakan, bahwa begitulah cara-cara dunia ini berlaku. Sang uskup mencoba mengoreksi hal itu dan membela diri: bukan. Itu bukanlah cara-cara dunia, melainkan cara-cara kita semua menjalankan dunia ini.
Catatan Penutup: Perlawanan Orang-orang Guarani
Akan halnya komunitas Guarani yang terletak sangat terisolir di atas puncak tebing air terjun yang sangat besar itu, akhirnya juga dikuasai lewat sebuah aksi militer. Tetapi hal itu tidak mudah juga. Sebab Rodrigo dan beberapa imam Yesuit lainnya, akhirnya melepaskan Kembali sumpah mereka sebagai Yesuit, melakukan perlawanan dengan menggalang kekuatan orang-orang Indian Guarani. Mereka memberi perlawanan. Sedangkan romo Rafael, sang pemimpin misi Guarani itu, tetap tidak mau memberi perlawanan senjata.
Tatkala tentara professional kolonial datang menyerang, kedua bentuk perlawanan itu tampil. Rodrigo memberi perlawanan dengan senjata. Pater Rafael memberi perlawanan dengan kekuatan Rohani. Ternyata keduanya kalah, jatuh terjerembab. Akhirnya komunitas Indian Guarani itu juga hancur dan binasa. Semua orang dewasa mati. Yang tersisa hanyalah anak-anak kecil. Wajah mereka suram, murung, bingung, menatap masa depan yang entah seperti apa.
Bahasa symbol
film itu mengakhiri film itu dengan sebuah deskripsi sedih. Beberapa anak
kecil, mengarungi Sungai hidup masa depan, dengan sebuah sampan kecil, dengan
membawa (menyelamatkan) serpihan kenangan misi, berupa sebuah biola yang patah dan basah terendam. Hanya itu yang masih tersisa dari masa kejayaan dan keemasan kantong misi Yesuit. Mungkin mereka mau menyimpan kenangan patah itu dalam relung-relung ingatan mereka sebagai
bekal mengarungi masa depan di Sungai, di hutan kehidupan masa depan yang serba
misterius, penuh kabut. Indah sekali.
![]() |
Gambar Ilustrasi: Dari Google Pictures |
Dr. Fransiskus Borgias, M.A
Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Jl.Nias No.2, Bandung, 40117, Jawa Barat, Indonesia.
Komentar
Posting Komentar