ECCE NATURA

Foto Ilustrasi: dari Koleksi Pribadi 


Dr. Fransiskus Borgias, M.A. 

Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR, Bandung.


Disclaimer: 

Teks ini, dalam bentuk yang sedikit lebih pendek, sudah pernah dimuat dalam majalah bulanan Komunikasi, KOMSOS Keuskupan Bandung, edisi tahun 2022. 


Pengantar

Judul tulisan saya kali ini ialah: Ecce Natura. Frasa itu bisa secara bebas diterjemahkan dengan Lihatlah Alam itu. Ilham judul ini muncul secara tiba-tiba dalam kalbu saya. Pada suatu saat tiba-tiba saya teringat, bahwa saya pernah membaca ungkapan Ecce natura ini dalam salah satu buku teologi. Tetapi saya tidak ingat lagi dengan pasti, entah buku dari siapa itu. Mungkin buku Edward Schillebeeckx, atau buku dari Juergen Moltmann. Mungkin juga buku Paul Tillich, atau Dennis Edward (seorang teolog Katolik dari Australia). Pokoknya salah satu dari keempat nama itu. Tetapi semuanya itu tidak sangat penting. Sebab yang terpenting sekarang ini ialah upaya saya memaknai ungkapan Ecce Natura itu secara kontekstual, sekarang dan di sini.

Untuk melakukan hal itu saya mulai dengan langkah pertama yaitu menelusuri proses pembentukan ungkapan itu sendiri. Ungkapan itu tentu saja dibentuk dengan mengikuti ungkapan lain yang sudah sangat terkenal di dalam teologi biblika, dan juga dalam teologi kehidupan rohani berdasarkan ilham alkitabiah, juga di dalam teologi dan praksis liturgi gereja (khususnya gereja Katolik). Di sana ada ungkapan yang terkenal, Ecce Homo. Dan kita semua tahu bahwa teks “Ecce Homo” itu sendiri diambil dari Injil Yohanes 19:15. Ungkapan itu dalam versi TB (Terjemahan Baru Alkitab ke dalam Bahasa Indonesia) kita ialah sbb: “Lihatlah orang itu!” Tentu dalam konteks injil Yohanes, orang yang dimaksudkan tidak lain ialah Yesus sendiri yang sedang berada di hadapan ruang pengadilan Pontius Pilatus.

 

Wajah Manusia Yang Menderita

Karena itu, kiranya sudah jelas dengan sendirinya juga bahwa di dalam Injil Yohanes, adalah Pilatus yang mengucapkan kalimat pendek “Ecce Homo” itu, setelah ia mengambil Yesus dan menyuruh orang menyesah-Nya. Nah, kata “menyesah” itu kesannya seperti lembut, seperti tidak keras sama sekali. Beda dengan konotasi yang terkandung di dalam kata “menyiksa” misalnya. Tetapi sesungguhnya, kata “menyesah” itu sendiri sama artinya dengan kata menyiksa dan memukul dengan cambuk, juga pukulan pakai tangan, tinju, tendangan, tonjokan, dan pasti diiringi dengan kata-kata kasar, juga disertai dengan hinaan, olokan, cemoohan, makian. Pokoknya segala macam tindak kekerasan yang dilakukan manusia terhadap manusia lain dalam rangka menyakitinya, membuatnya menjadi sangat menderita dan bersengsara.

Akibatnya, yang tampak pada tubuh korban, bisa kita bayangkan dengan sangat mudah. Korban aksi kekerasan itu akan menjadi sangat lemah. Ia akan segera “rubuh, patah,” meminjam kata-kata puitis Chairil Anwar (dalam puisinya yang berjudul Isa itu). Seluruh tubuh orang itu akan berlumuran darah bahkan seperti keringat darah, basah, ada yang sedang mengalir, tentu saja sudah ada yang membeku dan menghitam. Kita juga bisa membayangkan bahwa baunya amis (anyir). Mungkin hidung si korban sudah mimisan, berdarah, bibir dan hidung bengkak dan pecah, mata pun sudah sembab. Pokoknya seluruh penampang jasmani orang itu sangat rusak. Bahkan ia bisa sampai pada titik kita tidak lagi bisa mengenalnya, karena ia menjadi sangat buruk rupa. Sudah terjadi deformasi, perusakan yang sedemikian rupa atas seluruh diri orang itu sehingga kita tidak lagi mengenalnya, dan bahkan mungkin juga kita tidak lagi sudi mengakuinya. Hal itu mungkin terjadi karena sudah terjadi perubahan secara sangat drastis atas seluruh tubuh, khusus atas wajah, yang biasanya dipakai sebagai alat bantu untuk pengenalan kita akan jati-diri (identitas) seseorang.

 

Hamba Yahweh Yang Menderita

Kondisi seperti itu dapat juga kita baca dalam teks Yesaya 52:12-53:13, sebuah teks dalam Kitab Nabi Yesaya yang melukiskan tentang Ebed Adonai (Hamba Yahweh Yang Menderita, The Suffering Servant). Di dalam tradisi ilmu tafsir terhadap kitab Nabi Yesaya, teks ini dikenal dengan sebutan Lagu Hamba Tuhan yang keempat. Pokoknya, ada sesosok manusia yang menjadi sangat menderita karena aksi kekerasan yang ditimpakan oleh orang lain atas dirinya, tetapi tanpa satu kesalahan apa pun yang ia lakukan. Walaupun tanpa dosa dan salah, namun ia menjadi sangat menderita karena perbuatan dan perlakuan orang lain atas dirinya.

Saya tidak akan berlama-lama dalam mengulas ilmu tafsir tentang hal ini di sini karena memang tulisan singkat dan sederhana ini tidak dimaksudkan sebagai sebuah tafsir yang serius dan berat-berat terhadap kitab suci. Hal itu dilakukan pada tempat dan kesempatan yang lain. Di sini saya hanya mau mengatakan bahwa, paling tidak menurut Raymond E Brown, The Death of Messiah, sesungguhnya kisah sengsara keempat injil, khususnya Injil Yohanes, mempunyai latar belakang kisah Hamba Tuhan Yang menderita ini dalam Kitab Nabi Yesaya. Bisa juga dirumuskan secara demikian: para penginjil, khususnya Injil Yohanes, menyusun kisah mereka, dengan mengikuti pola kisah tentang sang Hamba Yahweh yang Menderita itu di dalam kitab nabi Yesaya (sebagaimana sudah dikatakan di atas tadi).

Kiranya hal itu tidak mengherankan. Sebab secara fisik kedua tokoh itu kurang lebih sama. Mereka sangat menderita. Wajah sudah tidak bisa lagi dikenal, bahkan menjadi sangat buruk rupa dan tampak amat menyeramkan. Yang paling penting ialah bahwa kedua tokoh ini, menurut kisah-kisah sengsara itu, menderita bukan karena kesalahan mereka sendiri, melainkan karena dosa-dosa dan kesalahan orang-orang lain. Hal yang juga penting diingat di sini ialah fakta bahwa sengsara dan bahkan kematian orang yang tidak bersalah ini, justru mempunyai arti penebusan, vicaristic meaning, makna vicaristik, bagi orang-orang yang berdosa.

 


Foto Ilustrasi: Dari Koleksi Pribadi 



Pontius Pilatus Masa Kini

Sekarang saya kembali ke ungkapan yang ada dalam judul tulisan ini: Ecce Natura. Ya, sebagaimana sudah dikatakan di awal tadi, ungkapan itu bisa diterjemahkan dengan, Lihatlah alam ini. Atau lebih spesifik, Lihat Bumi ini. Atau “Lihatlah Ibu Bumi (Ecce mater terra). Alam, bumi, saat ini mengalami penyiksaan keji oleh perilaku dan seluruh cara hidup manusia itu sendiri. Manusia modern sudah tidak lagi memiliki sikap dan kepekaan teologis-religius, yang memandang alam (ibu bumi) itu sebagai yang suci, kudus, dan karena itu tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang, diperlakukan secara sembarangan saja. Kepekaan rohani seperti itu sudah hilang, luntur, terkikis. Intuisi religious tentang kesucian alam rupanya sudah hilang dari hati dan budi manusia-manusia modern.

Semuanya sudah digantikan, digeser, digusur dengan sebuah pandangan ekonomis, fungsional, pragmatis. Dalam konteks yang terakhir ini, hal yang mengemuka ialah tolok ukur dan cara pandang ekonomis-fungsional. Alam, bumi dan segala isinya (termasuk hutan, laut, gunung, tanah, mata air, burung, ikan, dll) dipandang sekadar sebagai komoditas yang boleh dieksploitasi sedemikian rupa sehingga menjadi sangat rusak parah. Hutan hujan tropis yang terbentuk jutaan (atau bahkan mungkin miliaran tahun) yang berfungsi untuk melindungi humus tanah yang terletak di bawahnya, dihancurkan. Perut bumi diobok-obok habis-habisan dengan pelbagai macam aksi pertambangan (tambang minyak bumi, tambang batu bara, tambang emas, timah, tembaga, nikel, dll). Atmosfer yang menyelimuti permukaan bumi dengan udara yang sejuk, saat ini sudah tercemar juga oleh asap dari emisi gas buang, baik dari kendaraan, terutama pesawat terbang, industry, maupun juga pertanian. Semuanya menyumbang dalam proses mengotori dan mencemari udara.

Manusia masa kini, sudah berperilaku seperti Pontius Pilatus, yang menyuruh orang-orang menyesah dan menyengsarakan Yesus. Manusia masa kini juga menyesah alam semesta, ibu bumi. Akibatnya, bisa kita lihat dengan mudah. Alam rusak sangat parah. Ia penuh luka, ditimpa duka dan lara, penuh nestapa. Seperti Pilatus juga, manusia modern ini, tanpa rasa bersalah, tanpa rasa berdosa, berkata, entah kepada siapa, entah di hadapan siapa, Ecce Natura, Ecce Mater Terra, lihatlah alam ini, lihatlah ibu bumi. Ia rubuh, patah, kalau meminjam Chairil Anwar dalam puisinya, Isa itu.

Tetapi sama seperti para imam kepala dan para penjaga, yang setelah mendengar, pekik Pilatus, “Ecce Homo”, justru berteriak-teriak dengan sangat kencang dan bringas, penuh nafsu, “Salibkan Dia!,” begitu juga dengan kita, manusia modern sekarang dan di sini. Setelah melihat dan menyadari alam dan bumi yang sudah sangat rusak parah ini, saat kita mendengar seruan Ecce Natura, mereka pun, ya kita-kita ini juga, menjadi sangat marah-marah. Sama sekali tidak bisa berlaku ramah lagi terhadap alam.

 

Mengupayakan Sabat Kosmik

Pandemi Covid19 kemarin, ketika awal-awal mulai merebak, yang menyebabkan banyak negara melakukan aksi lock-down (yaitu penghentian semua aktifitas manusia), maka muncullah banyak berita, gambar dan tayangan di medsos tentang fakta bahwa udara menjadi lebih cerah lagi karena tidak ada polusi, air Sungai dan laut menjadi lebih bersih dan bening sehingga kegiatan makhluk dalam air bisa tampak jelas, beberapa Kawasan yang tadinya sudah tandus, tetapi karena tidak lagi dilewati manusia, semuanya bisa bertumbuh Kembali.

Seakan-akan bunda alam, ibu bumi ini memberi pesan yang sangat jelas kepada manusia bahwa jika manusia menghentikan semua kegiatannya maka ibu bumi akan bisa memulihkan dirinya sendiri. Mungkin itu sebabnya beberapa ahli teologi mengatakan bahwa pandemi covid19 itu adalah semacam sabat kosmis, atau cosmic sabbath bagi alam semesta. Dalam sabat manusia harus berhenti, harus beristirahat, dan tatkala manusia beristirahat, berhenti dari segala kegiatannya, itulah kesempatan bagi ibu bumi melakukan pembenahan diri.

Mungkin dewasa ini kita memerlukan cosmic sabbath itu agar ibu bumi bisa memulihkan dirinya sendiri agar kita bisa selamat dari krisis ekologi yang saat ini sangat mengancam kita semua.

 

Penutup: Sebuah Niat Etis

Setelah semuanya itu terjadi, ternyata Pilatus pun hanya bisa menyerah pasrah, seperti tidak bisa berbuat apa-apa. Sebagai tandanya, ia mencuci tangan. Itu adalah pertanda yang sangat jelas dan kuat bahwa ia tidak mau memikul tanggung-jawab atas nasib orang itu. Dengan simbolisme cuci-tangan, Pilatus melemparkan tugas dan tanggung jawab itu kepada orang lain. Sesudah aksi simbolisme cuci-tangan itu kita hanya mendengar gema yang menggelegar dan berulang-ulang dalam relung-relung sunyi sepi dari hidup kita: Ecce Natura. Lalu ada: Hancurkan dia. Hancurkan dia.

Samar-samar terdengar suara etik dan profetik: Tidak. Tidak boleh. Kita tidak bisa dan tidak boleh lagi bersikap seperti sedang dijangkiti penyakit apatheia dan amnesia, sakit mati rasa, sakit mudah lupa. Melainkan, mari kita membangun lagi rasa hati kita, membangun lagi daya ingatan kita dan mari kita tanggapi seruan “Ecce Natura” itu dengan penuh cinta dan solidaritas sesuatu yang digemakan dengan sangat kuat oleh Paus Benediktus, yang dikenal dengan gelar the Green Pope itu, dan juga Paus Fransiskus yang terkenal dengan ensikliknya tentang lingkugan hidup, Laudato si.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO