ECCE NATURA
Foto Ilustrasi: dari Koleksi Pribadi
Dr. Fransiskus Borgias, M.A.
Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR, Bandung.
Pengantar
Judul tulisan saya kali ini ialah: Ecce Natura. Frasa itu bisa secara bebas diterjemahkan dengan
Lihatlah Alam itu. Ilham judul ini muncul secara tiba-tiba dalam kalbu saya.
Pada suatu saat tiba-tiba saya teringat, bahwa saya pernah membaca
ungkapan Ecce natura ini dalam salah
satu buku teologi. Tetapi saya tidak ingat lagi dengan pasti, entah buku dari siapa itu. Mungkin
buku Edward Schillebeeckx, atau buku dari Juergen
Moltmann. Mungkin juga buku Paul
Tillich, atau Dennis Edward (seorang teolog Katolik dari Australia). Pokoknya salah satu dari keempat nama itu. Tetapi semuanya itu tidak sangat
penting. Sebab yang terpenting sekarang ini ialah upaya saya memaknai ungkapan Ecce Natura itu secara kontekstual,
sekarang dan di sini.
Untuk melakukan hal itu saya mulai dengan langkah pertama yaitu menelusuri
proses pembentukan ungkapan itu sendiri. Ungkapan itu tentu saja dibentuk
dengan mengikuti ungkapan lain yang sudah sangat terkenal di dalam teologi
biblika, dan juga dalam teologi kehidupan rohani berdasarkan ilham alkitabiah,
juga di dalam teologi dan praksis liturgi gereja (khususnya gereja Katolik). Di sana ada ungkapan yang terkenal, Ecce Homo. Dan kita semua tahu bahwa teks “Ecce Homo” itu sendiri diambil dari Injil Yohanes 19:15. Ungkapan itu dalam versi TB (Terjemahan
Baru Alkitab ke dalam Bahasa Indonesia) kita ialah sbb: “Lihatlah orang itu!” Tentu dalam konteks injil Yohanes, orang yang dimaksudkan tidak lain
ialah Yesus sendiri yang sedang berada di hadapan ruang pengadilan Pontius
Pilatus.
Wajah Manusia Yang Menderita
Karena itu, kiranya sudah jelas dengan sendirinya juga bahwa di dalam
Injil Yohanes, adalah Pilatus yang mengucapkan kalimat pendek “Ecce Homo” itu, setelah ia mengambil
Yesus dan menyuruh orang menyesah-Nya. Nah, kata “menyesah” itu kesannya
seperti lembut, seperti tidak keras sama sekali. Beda dengan konotasi yang terkandung di dalam kata “menyiksa”
misalnya. Tetapi sesungguhnya, kata “menyesah” itu sendiri sama artinya dengan kata menyiksa dan
memukul dengan cambuk, juga pukulan pakai tangan, tinju, tendangan, tonjokan, dan
pasti diiringi dengan kata-kata kasar, juga disertai dengan hinaan, olokan,
cemoohan, makian. Pokoknya segala macam tindak
kekerasan yang dilakukan manusia terhadap manusia lain dalam rangka
menyakitinya, membuatnya menjadi sangat menderita dan bersengsara.
Akibatnya, yang tampak pada tubuh korban, bisa kita bayangkan dengan sangat
mudah. Korban aksi kekerasan itu akan menjadi sangat lemah. Ia akan segera “rubuh, patah,” meminjam kata-kata
puitis Chairil Anwar (dalam puisinya yang berjudul Isa itu). Seluruh tubuh orang itu akan berlumuran darah bahkan seperti keringat darah, basah, ada yang
sedang mengalir, tentu saja sudah ada yang membeku dan menghitam. Kita juga bisa membayangkan bahwa baunya amis (anyir).
Mungkin hidung si korban
sudah mimisan, berdarah, bibir dan hidung bengkak dan pecah, mata pun sudah sembab. Pokoknya
seluruh penampang jasmani orang itu sangat rusak. Bahkan ia bisa sampai pada titik
kita tidak lagi bisa mengenalnya, karena ia menjadi sangat buruk rupa. Sudah terjadi deformasi, perusakan yang sedemikian rupa
atas seluruh diri orang itu sehingga kita tidak lagi mengenalnya, dan bahkan
mungkin juga kita tidak lagi sudi mengakuinya. Hal itu mungkin terjadi karena sudah terjadi perubahan secara sangat drastis
atas seluruh tubuh, khusus atas wajah, yang biasanya dipakai sebagai alat bantu
untuk pengenalan kita akan jati-diri (identitas) seseorang.
Hamba Yahweh Yang Menderita
Kondisi seperti itu dapat juga kita baca dalam teks Yesaya 52:12-53:13, sebuah teks dalam Kitab Nabi Yesaya yang melukiskan tentang Ebed Adonai (Hamba Yahweh Yang Menderita,
The Suffering Servant). Di dalam
tradisi ilmu tafsir terhadap kitab Nabi Yesaya, teks ini dikenal dengan sebutan
Lagu Hamba Tuhan yang keempat. Pokoknya, ada sesosok manusia yang menjadi
sangat menderita karena aksi kekerasan yang ditimpakan oleh orang lain atas
dirinya, tetapi tanpa satu kesalahan apa pun yang ia lakukan. Walaupun tanpa
dosa dan salah, namun ia menjadi sangat menderita karena perbuatan dan
perlakuan orang lain atas dirinya.
Saya tidak akan berlama-lama dalam mengulas ilmu
tafsir tentang hal ini di sini karena memang tulisan singkat dan sederhana ini
tidak dimaksudkan sebagai sebuah tafsir yang serius dan berat-berat terhadap kitab
suci. Hal itu dilakukan pada tempat dan kesempatan yang lain. Di sini saya
hanya mau mengatakan bahwa, paling tidak menurut Raymond E Brown, The Death
of Messiah, sesungguhnya kisah sengsara keempat injil, khususnya Injil
Yohanes, mempunyai latar belakang kisah Hamba Tuhan Yang menderita ini dalam
Kitab Nabi Yesaya. Bisa juga dirumuskan secara demikian: para penginjil, khususnya
Injil Yohanes, menyusun kisah mereka, dengan mengikuti pola kisah tentang sang
Hamba Yahweh yang Menderita itu di dalam kitab nabi Yesaya (sebagaimana sudah
dikatakan di atas tadi).
Kiranya hal itu tidak mengherankan. Sebab secara fisik
kedua tokoh itu kurang lebih sama. Mereka sangat menderita. Wajah sudah tidak
bisa lagi dikenal, bahkan menjadi sangat buruk rupa dan tampak amat menyeramkan.
Yang paling penting ialah bahwa kedua tokoh ini, menurut kisah-kisah sengsara
itu, menderita bukan karena kesalahan mereka sendiri, melainkan karena dosa-dosa
dan kesalahan orang-orang lain. Hal yang juga penting diingat di sini ialah
fakta bahwa sengsara dan bahkan kematian orang yang tidak bersalah ini, justru
mempunyai arti penebusan, vicaristic meaning, makna vicaristik, bagi
orang-orang yang berdosa.
Foto Ilustrasi: Dari Koleksi Pribadi
Pontius Pilatus Masa Kini
Sekarang saya kembali ke ungkapan yang ada dalam judul tulisan ini: Ecce Natura. Ya, sebagaimana sudah dikatakan di awal tadi, ungkapan itu bisa diterjemahkan dengan, “Lihatlah alam ini”. Atau lebih spesifik, “Lihat Bumi ini”. Atau “Lihatlah Ibu Bumi” (Ecce mater terra). Alam, bumi, saat ini mengalami
penyiksaan keji oleh perilaku dan seluruh
cara hidup manusia itu sendiri. Manusia modern sudah tidak lagi memiliki sikap dan kepekaan
teologis-religius, yang memandang alam (ibu bumi) itu sebagai yang suci, kudus, dan karena itu tidak boleh diperlakukan
sewenang-wenang, diperlakukan secara
sembarangan saja. Kepekaan rohani seperti itu sudah hilang, luntur, terkikis. Intuisi religious tentang kesucian alam rupanya sudah hilang dari hati
dan budi manusia-manusia modern.
Semuanya sudah digantikan, digeser, digusur dengan
sebuah pandangan ekonomis, fungsional, pragmatis. Dalam konteks yang terakhir
ini, hal yang mengemuka ialah tolok ukur dan cara pandang ekonomis-fungsional.
Alam, bumi dan segala isinya (termasuk hutan, laut, gunung, tanah, mata air, burung,
ikan, dll) dipandang sekadar sebagai komoditas yang boleh dieksploitasi
sedemikian rupa sehingga menjadi sangat rusak parah. Hutan hujan tropis yang terbentuk jutaan (atau bahkan mungkin miliaran
tahun) yang berfungsi untuk melindungi humus tanah yang terletak di bawahnya,
dihancurkan. Perut bumi diobok-obok habis-habisan dengan pelbagai macam aksi
pertambangan (tambang minyak bumi, tambang batu bara, tambang emas, timah,
tembaga, nikel, dll). Atmosfer yang menyelimuti permukaan bumi dengan udara
yang sejuk, saat ini sudah tercemar juga oleh asap dari emisi gas buang, baik
dari kendaraan, terutama pesawat terbang, industry, maupun juga pertanian. Semuanya
menyumbang dalam proses mengotori dan mencemari udara.
Manusia masa kini, sudah berperilaku seperti Pontius Pilatus, yang menyuruh orang-orang
menyesah dan menyengsarakan Yesus. Manusia masa kini juga menyesah alam semesta, ibu bumi. Akibatnya, bisa kita lihat dengan
mudah. Alam rusak sangat parah. Ia penuh luka, ditimpa duka dan lara, penuh nestapa. Seperti Pilatus juga,
manusia modern ini, tanpa rasa bersalah, tanpa rasa berdosa, berkata, entah
kepada siapa, entah di hadapan siapa, Ecce
Natura, Ecce Mater Terra,
lihatlah alam ini, lihatlah ibu bumi. Ia “rubuh, patah,” kalau meminjam
Chairil Anwar dalam puisinya, Isa itu.
Tetapi sama seperti para imam kepala dan para penjaga, yang setelah
mendengar, pekik Pilatus, “Ecce Homo”,
justru berteriak-teriak dengan sangat kencang dan
bringas, penuh nafsu, “Salibkan Dia!,” begitu juga dengan kita, manusia modern sekarang dan di sini. Setelah melihat dan menyadari alam dan bumi yang
sudah sangat rusak parah ini, saat kita mendengar seruan Ecce Natura, mereka pun, ya kita-kita ini juga, menjadi sangat marah-marah. Sama sekali tidak bisa berlaku ramah lagi terhadap
alam.
Mengupayakan Sabat Kosmik
Pandemi Covid19 kemarin, ketika awal-awal mulai
merebak, yang menyebabkan banyak negara melakukan aksi lock-down (yaitu
penghentian semua aktifitas manusia), maka muncullah banyak berita, gambar dan
tayangan di medsos tentang fakta bahwa udara menjadi lebih cerah lagi karena
tidak ada polusi, air Sungai dan laut menjadi lebih bersih dan bening sehingga
kegiatan makhluk dalam air bisa tampak jelas, beberapa Kawasan yang tadinya
sudah tandus, tetapi karena tidak lagi dilewati manusia, semuanya bisa bertumbuh
Kembali.
Seakan-akan bunda alam, ibu bumi ini memberi pesan
yang sangat jelas kepada manusia bahwa jika manusia menghentikan semua
kegiatannya maka ibu bumi akan bisa memulihkan dirinya sendiri. Mungkin itu
sebabnya beberapa ahli teologi mengatakan bahwa pandemi covid19 itu adalah
semacam sabat kosmis, atau cosmic sabbath bagi alam semesta. Dalam sabat
manusia harus berhenti, harus beristirahat, dan tatkala manusia beristirahat,
berhenti dari segala kegiatannya, itulah kesempatan bagi ibu bumi melakukan
pembenahan diri.
Mungkin dewasa ini kita memerlukan cosmic sabbath itu
agar ibu bumi bisa memulihkan dirinya sendiri agar kita bisa selamat dari krisis
ekologi yang saat ini sangat mengancam kita semua.
Penutup: Sebuah Niat Etis
Setelah semuanya itu
terjadi, ternyata Pilatus pun hanya bisa menyerah pasrah, seperti tidak bisa
berbuat apa-apa. Sebagai tandanya, ia mencuci tangan. Itu adalah pertanda yang sangat jelas dan kuat bahwa ia tidak mau memikul tanggung-jawab atas nasib orang itu. Dengan simbolisme cuci-tangan, Pilatus melemparkan tugas dan tanggung jawab itu kepada orang lain. Sesudah aksi simbolisme cuci-tangan itu kita hanya mendengar gema yang menggelegar dan berulang-ulang dalam relung-relung
sunyi sepi dari hidup kita: Ecce Natura.
Lalu ada: Hancurkan dia. Hancurkan dia.
Samar-samar terdengar suara etik dan profetik: Tidak.
Tidak boleh. Kita tidak bisa dan tidak boleh lagi bersikap seperti
sedang dijangkiti penyakit apatheia dan amnesia, sakit mati rasa, sakit mudah lupa. Melainkan, mari kita membangun lagi rasa
hati kita, membangun lagi daya ingatan kita dan mari kita tanggapi seruan “Ecce Natura” itu dengan penuh cinta dan solidaritas sesuatu yang
digemakan dengan sangat kuat oleh Paus Benediktus, yang dikenal dengan gelar the Green Pope itu, dan juga Paus
Fransiskus yang terkenal dengan ensikliknya tentang lingkugan hidup, Laudato si.
Komentar
Posting Komentar