NADA-NADA "EKUMENIS" LAGU "STILLE NACHT"
![]() |
foto: koleksi pribadi |
Sebuah Catatan Kecil Tentang Lagu "Malam Kudus."
Oleh: Fransiskus Borgias
Pengantar Singkat
Saya tidak ingat lagi secara persis, kapan untuk pertama kalinya saya mendengarkan nada-nada lagu yang sederhana namun indah ini? Yang jelas, saya sudah mendengarnya ketika saya masih sangat kecil, yaitu sebelum saya masuk ke Sekolah Dasar. Pada waktu itu, biasanya selama masa Advent, para guru SDK (Sekolah Dasar Katolik) tempat ayah saya mengajar, melatih koor untuk anak-anak sekolah dasar maupun untuk umat Katolik Dewasa, sebagai persiapan untuk menyongsong perayaan Natal. Rasanya pada saat-saat seperti itulah saya mendengar lagu ini untuk pertama kalinya. Maklum saat itu belum ada tape recorder di rumah kami. Semua masih sangat sederhana. Ketika saya duduk di kelas empat SD barulah ada sebuah radio kecil di rumah.
Yang jelas juga, saya juga ingat bahwa saya mendengar syair lagu itu dalam bahasa Manggarai, yang judulnya Wie Nggeluk Bail (Harfiah: Malam Yang sangat Kudus). Lagu itu dimuat dalam buku Dere Serani sudah dengan format empat suara. Bahkan sampai saya hafal nomor lagu itu dalam edisi Dere Serani yang lama. Lagu itu terdapat dalam Dere Serani No.20. (Oh ya buku Dere Serani itu sendiri adalah buku kumpulan nyanyian liturgi Gereja berbahasa Manggarai di Keuskupan Ruteng yang sudah tersedia sejak awal tahun 40an).
Bahkan sejak masih usia sekecil itu, saya juga sudah menyanyikan lagu itu. Entah mengapa, saya ingat bahwa nada-nada lagu itu sangat menyentuh hati dan kalbu saya. Seakan-akan ada sebuah ruang (space) yang indah yang tercipta oleh gema-gema nada-nada lagu itu dalam salah satu ruang kalbu saya yang nyata ada, tetapi tidak mudah untuk ditelusuri persisnya di mana. Ajaib sekali ruang indah itu.
![]() |
gambar: dari google search... |
Dentang Nada-nada Surgawi
Saya selalu yakin dan percaya bahwa apa yang disebut nubuat langit, nubuat surgawi, atau "celestial prophecy" itu, tidak selalu hanya dalam bentuk visiun, atau penampakan atau berupa sebuah penglihatan (menyangkut daya-daya netra, tatapan mata) saja. Hal itu juga tidak hanya dalam bentuk rumusan kata-kata verbal yang indah-indah dan puitis yang bisa menyentuh hati dan rasa para pendengar ataupun para pembaca.
Melainkan, nubuat langit itu bisa juga berupa dentangan bunyi-bunyi nada yang indah mempesona, yang sedemikian indahnya, sampai bisa menyentuh perasaan kita yang paling dalam, sehingga bahkan kita tidak tahu di kedalaman yang manakah bagian hati itu yang tersentuh oleh bunyi-bunyi yang indah dan ajaib itu. Pokoknya, begitu hati kita mendengar bunyi-bunyi nada-nada yang indah itu, maka kita pun seperti terhanyut dalam alunan melodi indah. Alunan melodi itu seperti arus air yang membawa kita pergi, membuai kita tetapi tidak menenggelamkan kita.
Yang jelas, kita hanya tahu BAHWA hati (kalbu) kita sudah tersentuh, tetapi kita tidak tahu BAGAIMANA persisnya kita tersentuh, ataupun BAGIAN MANA dari diri kita yang tersentuh. Pokoknya ada satu pengalaman KETERSENTUHAN begitu saja. Sedangkan sumber SENTUHAN itu sendiri tidak bisa kita ketahui dengan pasti. Tiba-tiba saja ia datang menerpa kita tanpa kita rencanakan. Ia datang "menimpa" kita. Ia seperti datang "menyergap" kita dan kita hanya bisa berseru Aha... (dari mana ungkapan Aha-Erlebniss dalam bahasa Jerman itu muncul).
Dari "Wie Nggluk Bail" ke "Stille Nacht"
Sekarang kembali ke lagu "Stille Nacht" tadi. Saya menghafal teks lagu Stille Nacht itu dalam bahasa Manggarai. Setelah masuk Sekolah Dasar Katolik Lamba-Ketang, saya juga sudah mulai menghafal versi terjemahan lagu itu dalam bahasa Indonesia: Malam Kudus. Tentu saja versi terjemahan yang tersedia bagi saya pada masa itu adalah versi terjemahan Yubilate dan sedikit kemudian versi terjemahan dari buku Syukur Kepada Bapa. Kedua buku itu adalah hasil terbitan dari Penerbit Nusa Indah Ende Flores. Oh ya, buku Dere Serani juga adalah terbitan Nusa Indah itu.
Ketika saya sudah tamat Sekolah Dasar Katolik di Lamba-Ketang, saya pun masuk ke SMP Seminari Pius XII Kisol. Di sanalah untuk pertama kalinya saya mulai mengenal teks Lagu "Wie Nggeluk Bail" itu, mula-mula dalam bahasa Inggris, karena kami belajar bahasa Inggris sejak kelas 1 SMP. Seperti sebuah perjalanan penyingkapan, dari sebuah perspektif "kampung" (walau tentu saja tidak kampungan yah) dengan teks bahasa Manggarai, lalu ke perspektif "nasional" dengan teks bahasa Indonesia, lalu ke perspektif "internasional-global" dengan teks bahasa-bahasa dunia (dalam bahasa Inggris dan bahasa Jerman).
Dan baru kemudian, saya mengenal teks lagu itu dalam bahasa Jerman, saat menginjak SMA Seminari yang sama, karena pada waktu itu kami juga mulai belajar bahasa Jerman. Saya juga mencoba menghafal teks-teks itu karena saya sangat mengagumi dan mencintainya. Salah satu cara yang dipakai para guru untuk memperkenalkan sebuah bahasa baru ialah mengenalkan lagu-lagu dan doa-doa rumusan hafalan dalam bahasa tersebut. Misalnya doa Bapa Kami, Vater unser (im Himmel), atau doa Salam Maria. Termasuk lagu Stille Nacht dan pelbagai macam lagu lainnya.
Nada-nada Berdaya Ekumenis
Pada kesempatan yang sekarang ini saya mau membuat sebuah catatan khusus tentang sebuah pemahaman yang baru dan lain tatkala saya mendengar lagi lagu ini pada masa Advent minggu ketiga, minggu Gaudete, Minggu Sukacita, yaitu minggu terakhir menjelang hari raya Natal. Saya katakan ini sebuah pemahaman atau persepsi baru, karena sebelumnya saya belum pernah mendapat ilham seperti ini. Karena itu, saya tidak mau melewatkan kesempatan itu untuk segera menuangkannya dalam bentuk tulisan agar tidak hilang dalam ruang kelupaan (disappeared in the space of forgetfulness).
Rupanya memang setiap kegiatan pembacaan dan setiap perenungan atas sebuah teks atau peristiwa (peristiwa itu sendiri juga sebagai teks) selalu ada dimensi lain yang terungkapkan, dan tersingkapkan. Itu yang oleh Paul Ricoeur disebut disclosure experience, pengalaman penyingkapan, pengalaman mendapatkan sebuah pemahaman dan pengertian baru dan lain. Sedemikian dahsyatnya disclosure experience ini, sehingga bahkan bisa juga disebut pengalaman perwahyuan, revelatory experience. Ada sebuah dimensi "atas" yang tersingkap kepada hati manusia yang peka di bumi ini. Hati manusia itu seperti memiliki antena yang mampu menangkap sinyal-sinyal transendensi.
Dan di bawah ini saya mencoba menuangkan dalam bentuk rumusan verbal percikan pemahaman yang lain yang saya dapatkan saat saya mendengar koleksi lagu Stille Nacht itu dalam beberapa bahasa Eropa yang dikirim seorang kolega teman Dosen di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Jauh lebih indah dan menarik lagi, karena dosen yang mengirim itu adalah dosen senior asal Bali, dan beragama Hindu.
Fakta bahwa dia mau dan sudah mengirimnya bagi kami dalam sebuah WAG, bagi saya itu adalah pertanda yang jelas bahwa beliau (kolega dosenku itu) mengaku bahwa dia sangat suka versi lagu itu dalam bahasa Belanda, mungkin karena dia belajar di sana dulu. Dalam hati kecilku saya berkata, bahkan nada-nada ekumenis lagu ini juga melampaui batas-batas kekristenan, "menyeberang" ke dinding-dinding religiositas yang lain.
Meminjam istilah Giles Deleuze, ternyata yang nomadic itu tidak hanya ide-ide inspirasional saja (nomadic ideas), melainkan juga "bunyi-bunyi" yang indah (nomadic kalofoni, nomadic voices, nomadic sounds, nomadic voices) yang seperti bertebaran di ruang hidup manusia dan sesekali masuk dan menyentuh kalbu manusia-manusia yang memiliki kepekaan yang tinggi untuk dapat merasakan hal seperti itu. Dan sifat nomadic dari bebunyian itu melampaui batas-batas dan sekat-sekat apa pun, bahkan termasuk sekat-sekat agama yang terkadang sangat kaku dengan ketetapan-ketetapan ritual dan doktrinalnya. "The Nomadic Voices" itu mengembara dan berkelana ke mana saja ia mau dan sudi mampir di mana saja ia kehendaki. Ah indah dan mengesankan sekali...
Tetapi Mengapa "Ekumenis?"
Setiap kali saya dan mendengar dan menikmati nada-nada lagu Silent Night ini, saya merasa bahwa inilah yang namanya ilham-ilham ekumenisme dalam untaian nada-nada, dalam bentuk syair sebuah lagu. Ekumenisme itu sendiri adalah cita-cita dan keinginan untuk merasa "satu" atau "disatukan" atau "bersatu" karena nyatanya saat ini, kita semua yaitu para pengikut Kristus, tidak lagi dapat bersatu karena pelbagai macam persoalan, kepentingan, ajaran, visi teologi, dll. Pokoknya ada banyak persoalan sejarah yang sangat rumit sehingga "persatuan" itu tidak lagi tampak nyata.
Oleh karena kita ini tidak lagi bersatu (karena drama tragis sejarah perpecahan dan pemisahan), maka muncullah dan ada sebuah dorongan dan keinginan untuk bersatu kembali. Nah gerak dinamis keinginan untuk bersatu itu, itulah yang disebut gerakan ekumenisme, yang mempunyai arti dasar harafiah "tinggal dalam satu rumah," oikos-menei... kira-kira begitulah jika kita melakukan penelusuran secara etimologis... (mohon maaf jika salah karena saya belum sempat mengecek kamus bahasa Yunani lagi).
Tetapi setiap kali saya mendengar nada-nada lagu ini, juga syairnya yang sederhana, sebenarnya kita semua sudah berada dalam suasana ekumenis, paling tidak suasana ekumenisme dalam untaian nada-nada, dalam untaian kata-kata. Ketika mendengar suara nada-nada itu, entah mengapa, kita merasa seperti bersatu dalam suatu ruang keakraban, ruang familiaris yang indah...
Jika ada yang disebut "ekumenisme minimalis," ya, menurut saya, "ekumenisme minimalis" itu bisa terwujud dan terbentuk dalam rupa pengalaman-pengalaman ketersentuhuan oleh bunyi-bunyi nada ajaib seperti ini. Sebelum merasakan dan menikmati "ekumenisme maximalis" yaitu persatuan yang sungguh-sungguh nyata, paling tidak kita sudah bisa merasakan dan menikmati ekumenisme minimalis itu lewat sentuhan-sentuhan inspirasional nada-nada dan bebunyian tadi.
Menembus Dinding Denominasi
Sebagaimana kita ketahui, syair lagu ini diciptakan oleh seorang pastor Katolik di sebuah gereja Paroki pedesaan di Austria. Konon pastor itu sangat terilhami oleh suasana sunyi malam itu yang penuh bintang, lalu terlahirlah syair lagu itu. Kemudian organis gereja itu konon membuat atau menuliskan nada-nada pada lagu itu. Setelah jadi, mereka menyanyikannya konon diiringi petikan gitar sang pastor (yang menulis syairnya tadi).
Ternyata dengan segera lagu itu dikenal orang dan mulai tersebar di mana-mana bahkan beberapa kapela istana para Raja (yang tidak semuanya Katolik melainakan Protestan, atau Lutheran, atau Calvnis, yang di Jawa dikenal dengan GKJ, Gereja Kalvinis Jawa eh Gereja "Kristen" Jawa), ada yang memesan secara khusus agar lagu itu dibawakan dalam pesta natal di kapela tersebut. Begitulah, singkat kata, ia tersebar di seluruh Austria, Jerman, Perancis, Inggris, dan Polandia, dan kemudian bahkan sampai menyeberang ke Amerika Serikat.
Nah, fakta bahwa nada-nada dan kata-kata lagu itu bisa "Berterima" oleh semua gereja (denominasi yang ada), itulah yang saya sebut potensi daya ikat ekumenis yang terkandung di dalam lagu tersebut (nada-nada dan kata-katanya). Seakan-akan, dengan mendengarkan lagu itu, kita semua yang berbeda gereja seakan-akan merasa diikatsatukan oleh nada dan kata itu. Dan di dalam suasana persatuan itu, orang tidak lagi merasa berbeda, dan juga tidak lagi merasa perlu bertanya atau mempersoalkan dari gereja mana sang pencipta lagu itu berasal.
Ingat bahwa pada awal abad ke-19 ketika lagu ini tercipta (1818), Eropa sejak abad ke-16 sudah terpecah dan terbagi-bagi dalam beberapa denominasi Gereja yang berbeda dan bahkan mungkin juga bertentangan atau memusuhi (membenci, mencurigai) satu sama lain. Awal mula semuanya tentu saja gerakan protes yang dilakukan Martin Luther yang menuntut diadakannya sebuah pembaruan, reformasi. Lalu sesudah itu, tanpa bisa dikendalikan lagi oleh sang inspirator Luther sendiri, gerakan itu kebablasan menjadi gerakan yang memecah-belah gereja. Dari sanalah muncul istilah denominasi. Nah lagu itu bergema dan menggemakan daya ilhamnya dalam konteks suasana seperti itu.
Mempersatukan Hati Nurani
Ciri-ciri dan daya ikat-ekumenisme nada-nada itulah yang kiranya bisa menjelaskan mengapa para tentara negara-negara Eropa yang sedang berperang dalam perang dunia pertama (1914-1918), jadi hampir 100 tahun sesudah lagu ini diciptakan, pada tahun 1818, bisa sejenak melupakan perang itu dan bisa rekreasi dan bermain bersama-sama, bercengkerama bersama.
Pada saat itu, semua senjata dan peralatan perang mereka dilepas dan mereka bisa bermain bersama. Seakan-akan visiun utopia Yesaya itu terwujud sekarang dan di sini, di mana orang menempa mata pedang dan tombak menjadi luku atau bajak: Transformasi alat perang menjadi alat pertanian, dari alat mematikan menjadi alat yang menjanjikan hidup.
Dan itu hanya mungkin dengan spirit dan daya ikat ekumenisme yang digetarkan dan dibangkitkan nada-nada dan kata-kata lagu "Stille Nacht" atau "Malam Kudus" (Sebenarnya lebih tepat "Malam Sunyi)" itu. Tanpa adanya lantunan getar-getar nada-nada itu, mustahil para tentara yang sedang bersetegang terus di medan perang itu, bisa berdamai sejenak, walaupun itu adalah damai yang tegang, karena hanya sejenak, karena ada senjata yang siaga.
![]() |
Keterangan: gambar dari google search. |
Nada-nada di Malam Tenang
Konon cerita awal munculnya sukacita bersama di medan perang itu karena mereka (yaitu para tentara yang bertugas jaga malam dan penuh sikap awas dan siaga penuh) mendengar nada-nada suara di malam sunyi. Entah dari kubu tentara mana yang mulai mendengungkan nada-nada itu? Tidak ada yang tahu secara pasti, dari mana datangnya bunyi nada-nada itu. Pokoknya nada-nada itu seperti terdengar melayang-layang di udara malam yang sunyi dan dingin itu.
Seakan-akan nada-nada lagu "malam kudus" yang pasti berasal dari "the nomadic inspirational voice", pada malam natal di medan perang itu seperti kembali lagi ke eksistensi awalnya sebagai "the nomadic inspirational voice" yang menyentuh dan menggerakkan hati sanubari para tentara dan hal itu telah menyebabkan mereka "melupakan" sejenak perang dan kembali menjadi para sahabat. Yang tadinya suasanya ditandai oleh apa yang disebut Thomas Hobhes "homo homini lupus" lalu tetiba menjadi "homo homini socius". Transformasi hati seperti itu hanya dimungkinkan oleh ada dan kehadiran dari "the nomadic inspirational voices" itu.
Nah pada saat seperti ini, saya membayangkan dan mengimajinasikan, jangan-jangan itu adalah sebuah paduan suara malaekat, paduan suara surgawi, yang mengilhami hati manusia agar jangan lagi berperang atau agar tidak lagi berperang. Alunan suara yang terdengar sayup-sayup di udara malam itu, seperti menyampaikan sebuah pesan perdamaian, pesan kemanusiaan.
Apa pun itu, atau dari mana pun sumber asalnya suara itu, yang jelas, tatkala nada-nada itu makin jelas terdengar, semua tentara yang mendapat giliran jaga malam di parit-parit pertahanan, keluar semua dan menyanyikan lagu itu dalam bahasa masing-masing, dan satu lagi, semuanya melepaskan senjata. Orang merasa secara otomatis, natural dan naluriah, bahwa kita tidak bisa dan tidak boleh nyanyikan lagu itu dengan memegang senjata.
Catatan Penutup
Menurut saya, memang nada-nada dan kata-kata lagu itu benar-benar ajaib, mendatangkan kedamaian, damai di hati, damai di bumi, et in terra pax hominibus bonae voluntatis... dan damai di bumi bagi manusia-manusia yang berkehendak baik.... dan di sini yang dominan ialah bonae voluntatis itu, yang berkehendak baik itu. Jika hal itu disadari, maka di sana akan ada kedamaian....
Dan malam pun jadi sunyi dan tenang... di mana tidak ada lagi perang, tiada lagi muka yang garang-garang... muka yang beringas dan berang... semuanya seperti sudah diganti dengan suasana girang dan riang dalam cahaya gilang-gemilang... Oh malam natal yang penuh daya pesona yang membahagiakan dan mengagumkan. Selamat mengarungi masa Natal dan Oktaf Natal.
Komentar
Posting Komentar