NEKA BEHAS NEHO KENA, NEKA KOAS NEHO KOTA

Foto Ilustrasi: Dari Koleksi Pribadi 



Sebuah Idealisme Persatuan ala Manggarai. Sebuah Catatan Personal. 

Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, M.A.,

 

Catatan Pengantar

            Dalam rangka mempersiapkan perayaan misa inkulturasi Manggarai oleh IKAMMABA, salah satu tokoh tetua IKAMMABA, yaitu Bapak Alex Aben, mengontak saya untuk meminta beberapa go’et atau ungkapan-ungkapan sastrawi yang indah dalam Bahasa Manggarai, yang kiranya bisa dipakai sebagai sebuah semboyan pada Baliho untuk perayaan ekaristi itu. Saya ingat dengan sangat baik bahwa pada saat itu saya sudah mengusulkan beberapa ungkapan go’et Manggarai. Misalnya saya usulkan: 1). nai ca anggit, tuka ca leleng. 2). Padir wa’I, rentu sa’i. 3). Reje lele(ng), bantang cama

            Ternyata menurut Bapak Alex ketiga ungkapan itu sudah sering dipakai selama ini entah untuk pesta natal atau tahun baru Manggarai Bandung dan Cimahi. Lalu saya memberikan dua usulan berikut ini: Yang pertama, Mose seber, kudut di’a diang, kudur jari tayi mose de. Dan yang kedua, Ase agu ka’e, Neka behas neho kena, neka koas neho kota. Ternyata Bapak Alex menerima dan menyetujui usulan yang kedua ini. Maka inilah yang dipakai. 

            Oleh karena saya juga sudah diminta untuk memberikan semacam nasihat atau petuah sebagai salah satu orang tua di Bandung dalam untaian acara Misa Inkulturasi tersebut, maka saya pun mempersiapkan diri untuk memberi semacam komentar atau tafsiran saya atas ungkapan itu. Tulisan ini merupakan hasil dari persiapan tersebut. Dan tulisan ini dalam bentuk yang lebih ringkas, sudah disampaikan secara lisan sebagai sambutan saya pada kesempatan perayaan tersebut. Sekarang saya sajikan di sini agar bisa dibaca oleh publik yang lebih luas lagi di luar sana. Selamat membaca dan menikmati. 

 

Memahami Latar Belakang Konteks Asal-usul

            Dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini saya hanya mau mencoba menafsirkan ungkapan go’et Manggarai ini. Saya mulai dengan penelusuran makna harafiah dari ungkapan itu. Secara harafiah ungkapan ini berarti: (semoga/jangan/tidak/neka) mudah terbongkar (behas) seperti (neho) saat mulai membuat pagar (kena) dari anyaman bambu. Itu yang pertama. Yang kedua: (semoga/jangan/tidak) neka) mudah runtuh ambrol (koas) seperti (neho) susunan batu pagar (kota). Pertanyaannya ialah dari manakah para arif-bijaksana Manggarai dulu mengambil ungkapan ini?

           Nah untuk dapat memahami ungkapan ini dengan baik, kita harus terlebih dahulu memahami konteks dan latar belakang historisnya. Secara singkat latar belakang itu dapat diungkapkan demikian. Dulu pada umumnya kampung-kampung orang Manggarai itu dikelilingi dengan pagar pembatas, antara luar dan dalam (in and out), antara seberang sini (here) dan seberang sana (beyond). Imajinasi ruang seperti ini hanya bisa dibangun oleh sebuah pembatas berupa pagar. Pagar itu bisa terbuat dari pagar hidup, seperi pohon kesi (ada yang menyebutnya di Manggarai pohon Reo) dan pohon-pohon hidup lainnya, ataupun bisa juga terbuat dari bambu-bambu yang dibelah-belah dan disusun secara bersilangan dengan memakai tiga atau empat tiang vertical (sedangkan bambu-bambu belahan yang lain disusun secara horizontal). Belahan-belahan bambu itu disusun sedemikian rupa agar bisa menyatu sampai setinggi satu ataupun satu setengah meter. Pekerjaan Menyusun belahan-belahan bambu secara tersilangan itu disebut tentang dalam Bahasa Manggarai.

            Selain terbuat dari bambu atau pohon yang hidup, pagar itu juga bisa terbuat dari batu (biasanya sebesar ukuran kepala manusia) yang disusun sedemikian rupa sehingga bisa bertumpuk satu di atas yang lain tanpa disemen, tetapi harus kuat, kokoh. Ia harus tahan gempa, ataupun gesekan badan hewan yang menggaruk-garuk badannya, pada pagar batu seperti itu. Jika susunan batu itu sudah lama tersusun biasanya ia menjadi kuat karena cela-celanya sudah ditumbuhi lumut, dan lumut itulah yang mengikatnya menjadi kokoh. Fenomena kultur batu seperti ini pernah menarik para peneliti asing (saslah satunya ialah peneliti yang Bernama Catherine Allerton yang meneliti Waerebo dan Kombo pada awal tahun 1990) yang mencoba menafsirkannya. Tetapi hal itu tidak menjadi focus perhatian saya sekarang dan di sini.

 

Amat Menekankan dan Menghargai Proses

            Nah, para bijak-bestari Manggarai dulu, mengambil go’et di atas tadi dari proses membuat pagar itu. Ingat, dalam proses pembuatan. Bukan dari kondisi sudah jadi kuat dan mapan. Proses yang dimaksud ialah tatkala orang mulai Menyusun belahan bambu secara bersilangan (tentang). Tidak jarang pada saat itu orang mengalami kegagalan beberapa kali. Yaitu susunan bambu itu, karena satu dan lain hal, tiba-tiba terlepas lagi dari ikatan anyamannya. Itulah yang disebut dengan istilah behas tadi. Behas situ pada dasarnya berarti terlepas dari ikatan kesatuan; tentu dalam hal ini ialah ikatan kesatuan sebagai sebuah “anyaman.” Dan jika sudah behas atau terlepas, maka orang harus mulai dari awal untuk menyusunnya dengan lebih berhati-hati agar tidak terlepas lagi dan gagal lagi, gagal lagi. Setelah selesai teranyam, barulah orang menancapkan tiang-tiang vertical dari bambu anyaman tadi ke tanah. Tidak jarang bahwa dalam proses ini pun terjadi tragedy behas tadi. Biasanya hal itu terjadi karena tiang vertikalnya yang paling pinggir (entah kiri maupun kanan), mudah terlepas dari ikatan dan itu akan menyebabkan seluruh ikatan anyaman tadi ambrol, lepas, behas.

            Lain lagi halnya dengan batu. Orang-orang Manggarai dulu Menyusun batu pagar kampung atau pagar kebun bisa sampai setinggi satu atau satu setengah meter. Biasanya itulah pagar kampung ataupun pagar kebun. Jadi kampung dan kebun dikelilingi dengan pagar batu. Batu-batu itu disusun sedemikian rupa satu di atas yang lain tanpa perekat atau pengikat sama sekali. Hanya mengandalkan prinsip keseimbangan saja. Nah dalam proses Menyusun batu (tena watu) itulah tidak jarang terjadi bahwa batu-batu yang sudah disusun tadi, karena duduknya belum pas benar, bisa jatuh ke bawah dan amblas lagi, dan itu bisa runtuh semua dari atas sampai ke bawah. Nah itulah yang disebut koas tadi, yaitu lepas dari ikatan himpunan, ikatan kesatuan sehingga hilanglah sudah fungsinya sebagai pelindung dan pembatas (garis imajiner antara luar dan dalam, antara here dan beyond).

            Nah orang tua dulu (yang bijak-bestari) mengamati proses pembuatan pagar itu, yang bisa jadi mengalami peristiwa kegagalan koas sampai beberapa kali, sehingga harus mulai dari awal, dari titik nol. Dan hal itu tentu saja tidak mudah. Butuh kesabaran yang kuat dan komitmen yang tinggi. Dan setelah pagar itu selesai dibangun, biasanya orang membuat lewang atau gerbang yang terbuat dari pinatu bambu anyaman juga, dan di samping gerbang itu ada juga redang. Keduanya sama-sama berfungsi sebagai pintu atau jalan keluar dan masuk. Redang biasanya untuk orang, sedangkan lewang untuk hewan pemikul beban (seperti kerbau yang memikul karung-karung hasil panen). Tidak jarang juga saat orang membuat redang, kalau pagar, khususnya yang terbuat dari susunan batu, belum kuat, maka bisa saja akan behas dan koas lagi.

 

Makna Etis Sebuah Ikatan

            Dari seluruh proses inilah para bijak-bestari Manggarai dulu mengambil ungkapan untuk nasihat tentang proses dinamika hidup Bersama di Tengah Masyarakat. Yaitu bahwa persatuan dan ikatan itu harus kuat, harus kokoh dan tidak mudah lepas seperti dalam proses membikin pagar bambu ataupun batu tadi.

            Menarik bahwa kekerabatan atau kekeluargaan kita di tanah Rantau Bandung ini disebut Ikatan Keluarga. Lengkapnya Ikatan Keluarga Manggarai Mahasiswa Bandung. Disingkat menjadi IKAMMABA. Ada dua M di sana, karena ada unsur mahasiswa juga di dalamnya. Bahkan merekalah yang berjumlah paling besar.

            Menarik juga bahwa nama kekerabatan kita ini ialah ikatan. Dan kata ikat dan mengikat dalam Bahasa Manggarai artinya pongo. Dan sejauh pengetahuan saya, ada tiga jenis pongo dalam hidup orang Manggarai. 1). Pongo porus, 2). Pongo poti, 3). Pongo ici. Pongo porus adalah cara pongo yang mudah untuk dibuka lagi dan dibongkar, misalnya untuk menambah isian di dalam ikatan itu. Sedangkan pongo poti adalah ikatan dalam kebiasaan dari ata pele sina. Karena itu disebut pongo poti. Ada juga yang menyebutnya pongo darat. Lalu akhirnya pongo ici. Ini adalah ikatan dari kita manusia yang masih hidup dan ada di seberang sini dari sana. Cara pongo ici ini tidak muda dibuka lagi, selain dengan cara dipotong (wete).

            Perlu disadari juga bahwa kata ikat atau pongo ini sangat akrab dalam hidup sehari-hari orang Manggarai. Misalnya Ketika orang mengucapkan sumpah atau janji, orang juga memakai istilah ikat- mengikat dan ada tanda pengikatnya. Juga dalam hubungan kekerabatan perkawinan, ditandai dengan ikat atau pongo juga. Dan relasi di dalam ikatan itu menuntut sebuah komitmen dan kesetiaan timbal balik untuk menuju ke satu tujuan akhir tertentu yaitu kesatuan dan persatuan. Khususnya Ketika pagar bambu akan diberdirikan, ia akan diikat. Ikatan itu harus kuat agar tidak mudah terlepas lagi, menjadi behas, terlepas, pisah.

 

Penutup: Memaknai dan Menghargai Sebuah Idealisme

            Ketika Bapak Alex Aben menyetujui dan memilih ungkapan itu sebagai motto perayaan kita, tentu ia mempunyai cita-cita ideal dan harapan tertentu untuk IKAMMABA. Kiranya ktia semua berharap bahwa masing-masing anggota IKAMMABA membangun ikatan serius untuk persatuan dan kesatuan IKAMMABA tercinta ini. Dan ikatan itu bukan hanya sekadar pongo porus saja, ikatan sementara yang mudah terlepas atau dilepaskan dengan sengaja. Apalagi jangan sampai ikatan itu adalah ikatan setan, atau pongo poti tadi, karena kita semua ini (anggota IKAMMABA) bukanlah poti apalagi poti pande kose.

              Tetapi hendaknya ikatan itu adalah pongo ici. Dan pongo ici ini jelas menuntut suatu komitmen serius dari masing-masing anggota untuk setia. Mengapa begitu? Karena IKAMMABA adalah ikatan kekeluargaan kita di tanah Rantau, di diaspora ini. Jadi, prinsip penyatunya ialah rasa kekeluargaan. Bukan sesuatu yang lain. Jika itu yang dipegang, maka semua hal lain yang mengganggu kesatuan dan persatuan kita hendaknya disingkirkan dulu.

         Terdengar selentingan di luar sana, bahwa IKAMMABA ini “terbelah” dalam beberapa kelompok. Itu menurut pengamatan atau penilaian beberapa orang yang sempat saya dengar selama ini. Konon IKAMMABA ini terbelas dalam kelompok-kelompok berdasarkan latar belakang asal, usul, misalnya ada yang dari kota, ada yang dari desa (atau kampung, walaupun tidak kampungan tentu saja, juga tidak ndeso), ada yang anak petani dan ada yang anak pegawai. Ya, saya dengar kabar burung atau selentingan itu. Lalu berdasarkan analisis sosial itu lalu orang membentuk kelompok-kelompok alternatif, tandingan dalam ukuran kecil maupun besar. Entahlah. Mungkin saja benar. Mungkin juga salah.

            Secara jujur saja, saya sendiri tidak melihat dan merasakan hal itu. Saya anak kampung, walaupun anak guru, tetapi dari kampung dan juga tidak kampungan. Tetapi setelah saya merantau di tanah Rantau, saya sudah melampaui semua ikatan primordial itu untuk bisa Bersatu dalam solidaritas ikatan di tanah Rantau ini. Jika hal itu yang menjadi soal bagi beberapa pihak di antara kita, maka hal itulah yang kita coba Atasi sekarang dan di sini agar kita ini tidak “koas neho kota”, agar kita ini tidak “behas neho kena.” Sebab, jika itu yang terjadi, maka IKAMMABA kita ini pun lalu menjadi hampa makna dan juga tidak berguna sama sekali. Untuk kita renungkan. Sekian dan terima kasih.

 

Bandung, 21 Oktober 2023.

(PS: semua yang sudah dikatakan di atas barulah yang bersifat indikatif saja, berupa perintah larangan. Segi imperatifnya masih ada yang lain, yang belum sempat di bahas di sini. Tetapi saya sebut saja dulu: porong rao neho wase ajo, porong impung neho ipung one tiwu, dll).

 

Foto Ilustrasi: Dari Koleksi Pribadi 


 

Komentar

  1. Sangat menarik pak, dengan membaca tulisan ini, saya menjadi paham makna dari istilah "neka behas neho kena, neka koas neho kota".

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih banyak yah Frater Adrian atas komentarnya... syukur jika tulisan saya ini berguna untuk membantu memperdalam pemahamanmu tentang ungkapan itu. Sekali lagi, terima kasih yah...

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO