CURHAT TENTANG "MARIA BINTANG LAUT"
![]() |
Gambar Ilustrasi: dari Google search |
KISAH-KISAH MENARIK DARI SYINDHU DKK
Catatan Kecil, Oleh: Fransiskus Borgias.
Catatan Pengantar Singkat
Pada bulan Juli 2023 kemarin kami berkumpul di rumah teman kami, Almarhum Oktafianus Olla Lazar. Kami mau mengikuti perayaan ekaristi di rumah isterinya, Iin dan ketiga putrinya. Misa berlangsung cukup meriah, lengkap dengan iringan musik dan koor. Sungguh luar biasa. Nah, dalam pertemuan di Bekasi itu, selesai perayaan ekaristi, dan juga tentu saja sesudah perayaan ekaristi itu, kami juga saling bertukar informasi dan bermacam-macam cerita dan pengalaman.
Bahan cerita kami sangat banyak dan bermacam-macam. Mulai dari politik, gossip percintaan para pastor dan biarawan-biarawati, sejarah, dan agama. Di sini saya akan mengisahkan kembali beberapa kisah yang menarik sejauh yang masih saya ingat dari rekaman ingatan akan percakapan itu.
Devosi dan Gelar-gelar Maria
Pertama, kisah pengalaman dari teman saya Plasidus Gala, yang biasa dipanggil Syindhu. Entah bagaimana, perjalanan kisah kami akhirnya sampai kepada salah satu devosi yang sangat kuat dalam kalangan orang Katolik, yaitu devosi Maria dengan salah satu bentuk prakteknya, ziarah ke gua Maria ataupun tempat-tempat suci Maria dan berdoa Rosario. Dalam konteks itu, saya menyinggung bahwa Bunda Maria itu di dalam tradisi gereja Katolik dan Ortodoks diberi atau mendapat banyak gelar yang indah dan unik-unik.
Salah satunya ialah gelar Stella Maris itu. Dan erat terkait dengan gelar Stella Maris itu, Bunda Maria juga mendapat gelar Stella Duce. Yang pertama, Stella Maris itu artinya Bintang (Stella) Laut (Maris, Mare). Yang kedua, Stella Duce itu artinya Bintang (Stella) Penunjuk (Dux, Duce). Duce itu dari kata dasar (nominativus, Dux, Ducis, Duce). Dulu biasanya dalam buku-buku Nyanyian Maria yang lama ungkapan Stella Duce ini diterjemahkan dengan Bintang Penganjur atau Bintang Penuntun.
Maria, dalam imajinasi religius (religious imagination) orang-orang Katolik digambarkan sebagai orang yang berjalan di depan, penuntun, penganjur, dux, yang memimpin para pelaut dan kapalnya, mengarungi laut itu untuk dapat sampai ke tujuan. Fungsi penuntun dan pemimpin (dux) itu dikaitkan dengan peranan bintang (stella) sebab memang dalam ilmu astronomi tradisional para bangsa dikenal ada bintang biduk, bintang timur, bintang pagi. Bintang pagi itu, konon dikaitkan dengan Venus, yang memang di kala pagi hari bersinar sangat cerah. Sebenarnya bintang ini sudah bersinar sejak malam hari juga. Dan jika ditarik garis lurus dari bintang itu ke horizon di bumi, maka titik jatuhnya garis itu, adalah arah timur. Para pelaut yang sedang berada di tengah lautan malam, akan menanti datangnya surya pagi yang terbit dari arah itu.
Lain lagi halnya dengan bintang pari. Bintang pari ini, sebenarnya konstelasi bintang yang berbentuk seperti layang-layang, ataupun ikan pari (asal-usul nama bintang pari itu) yang sedang membentangkan sayap-sayapnya lebar-lebar. Bintang pari juga dikenal dengan sebutan bintang palang, karena memang jika keempat titik atas-bawah dan kiri-kanan dihubungkan dengan garis imajiner, maka garis itu akan berbentuk seperti palang, salib, tanda plus. Lalu di dalam ilmu perbintangan dikatakan bahwa garis lurus dari titik atas ke titik bawah dan diteruskan ke horizon bumi, maka titik temunya adalah titik arah selatan.
Maria, lebih dihubungkan dengan bintang timur itu (mungkin karena timur itu memang tempat matahari terbit, yang secara tradisional dikaitkan dengan Yesus, sang matahari sejati, sehingga di sini pun kita bisa melihat pepatah lama, per Mariam ada Iesum). Kita, paling tidak diri saya sendiri, tidak pernah mendengar Maria itu dihubungkan dengan bintang pari, yang menunjukkan titik arah selatan tadi. Melainkan lebih dihubungkan dengan titik arah timur, dengan alasan dan penjelasan sebagaimana yang baru saja diungkapkan di atas.
Bunda Maria dan Laut
Kembali ke alur cerita kami pada bulan Juli tahun kemarin itu. Entah mengapa dan bagaimana, saya akhirnya bercerita bahwa peranan Maria di laut (khususnya di malam hari) konon sangat terkenal di kalangan para pelaut, tidak hanya para pelaut Katolik tetapi juga para pelaut yang lain-lain (termasuk para pelaut Islam). Saya pernah membaca cerita dalam sebuah buku sejarah bahwa tatkala ada badai di laut, ada tradisi di mana kapten kapal akan membebaskan orang-orang yang beragama katolik di dalam kapal itu dari kewajiban mengurus kapal. Sebagai gantinya sang kapten akan meminta mereka untuk berdoa Rosario.
Ketika mendengar informasi itu, teman saya Syindhu mengatakan bahwa hal itu memang benar. Dia sendiri pernah mengalaminya secara langsung dan nyata. Pada awal atau pertengahan tahun 80an, dia pernah naik kapal Ferry dari Larantuka ke Kupang menyeberangi laut Sawu yang terkenal ombaknya yang ganas dan tinggi. Di tengah Laut malam Sawu, kapal mereka dihadang gelombang dan badai laut yang sangat dahsyat dan mengerikan. Ombak laut Sawu memang sangat tinggi. Tentu saja semua penumpang di dalam kapal Ferry itu sangat gugup dan ketakutan. Mereka membayangkan nasib apa yang akan terjadi pada diri mereka di malam hari di tengah laut ini.
Tiba-tiba di tengah rasa takut yang ngeri itu, terdengar pengumuman dari Kapten Kapal: Kalau ada salah satu penumpang kapal ini adalah seorang romo Katolik atau pun orang Katolik awam, kami mohon bantuannya untuk memimpin doa Rosario. Begitu cerita Syindhu. Pada saat itu ada seorang penumpang bapa-bapa (pria berkulit putih) Bule. Semua orang mengira bahwa dia adalah turis. Ternyata dia adalah seorang pastor. Lalu ia memegang pengeras suara dan mengumumkan agar semua orang katolik yang ada dalam kapal ini hendaknya bangun dan duduk. Juga mereka yang sedang tertidur, jika mereka katolik bangunlah dan mari kita berdoa.
Kata Syindhu di tengah badai itu, pastor tadi memimpin mereka berdoa Rosario dengan intensi tunggal memohon agar mereka tiba dengan selamat di pelabuhan Kupang. Semua penumpang yang beragama Katolik mulai berdoa Rosario dipimpin oleh romo itu. Setelah setelah lima peristiwa (tidak diceritakan peristiwa apa yang dipakai dari antara tiga untaian misteri itu), pastor itu mengatakan marilah kita bersikap tenang. Pokoknya kita sudah berdoa dan memohon penyelenggeraan kasih Tuhan kepada kita.
Cerita Syindhu kemarin, gelombang laut Sawu itu memang tidak reda, tetapi rasanya kok seperti ada ada rasa nyaman dan aman yang ajaib. Menjelang pagi, gelombang laut itu sudah reda dan laut menjadi sangat tenang. Dan kapal dan para penumpang itu tiba dengan selamat tanpa kurang suatu apa pun di pelabuhan di Kupang, tepat seperti yang dijadikan sebagai intensi doa Rosario itu, memohon "agar tiba dengan selamat di Kupang" (bukan meminta agar ombak laut ditenangkan).
Banyak Kesaksian dan Pengalaman Lain
Mendengar cerita itu saya lalu menjadi sangat merinding. Saya membayangkan perasaan para penumpang Ferry itu setelah tiba di Kupang. Mungkin ada yang percaya. Mungkin ada juga yang tertawa. Apapun sikap dan perasaan mereka, hanya ada satu hal yang sangat jelas yang tidak bisa mereka sangsikan: mereka semua sudah tiba dengan selamat di pelabuhan di Kupang. Titik.
Dan pada saat itu, saya tiba-tiba teringat akan cerita dari adikku sendiri, Kanis Sarimin. Dulu pada suatu waktu saat ia sedang melakukan perjalanan dari Jawa ke Flores melalui jalan laut. Ia katakan, ia pernah naik ferry penyeberangan dari Bali ke Lombok, dan Ferry mereka dihadang badai dan gelombang yang sangat mengerikan. Semua orang takut dan menjadi sangat gugup.
Kanis dan beberapa temannya yang ia tahu katolik, mulai berdoa Rosario memohon perlindungan Bunda Maria agar pelayaran mereka itu bisa tiba dengan selamat. Masing-masing meraba saku celana untuk mencari rosario. Dan Kanis menyatakan bahwa mereka tiba dengan selamat di Lombok. Dan bagi Kanis (adik kandungku yang kini sudah almarhum) itu adalah berkat perlindungan dan penyelenggaraan sang Bunda Maria). Benar-benar cerita yang indah dan mengharukan.
Catatan Penutup
Akhirnya, saya juga ingat bahwa pada tahun 60an (mungkin sudah mulai dari tahun 50an) sampai tahun 70an, ada dua kapal misi Katolik yang melayani rute pelayaran dari Surabaya ke Reo dan Larantuka. Menarik bahwa kapal misi itu mengambil nama Stella Maris dan satunya lagi bernama Ratu Rosari. Tentu saja penamaan itu diberikan berdasarkan latar belakang devosi dan keyakinan yang sangat kuat akan penyelenggaraan Tuhan dengan pengantaraan sang Bunda Penebus yang maharahim, Alma Redemptoris Mater.
Sayang sekali bahwa kedua kapal itu sudah tidak ada lagi. Beberapa tahun silam, saya pernah mendapatkan cerita di laman Facebook seseorang, bahwa sebenarnya kedua kapal itu masih ada di suatu tempat di Indonesia Timur, karena konon kedua kapal itu dibeli oleh seseorang di Surabaya dan mengoperasikannya di tempat yang lain. Benar-benar suatu jasa laut yang luar biasa mengagumkan dan mengesankan.
Komentar
Posting Komentar