AKU MAU JADI SEMBUH

foto: dari koleksi pribadi

 

Endapan Refleksi Hari Minggu 

Oleh: Fransiskus Borgias 


Pengantar Singkat

Bacaan Ekaristi pada Hari Minggu kemarin (tanggal 11 Februari 2024) sangatlah menarik perhatian saya. Bacaan pertama diambil dari kitab Imamat 13:1-2, 45-46. Teks ini berbicara tentang orang yang tertular sakit kusta (sejenis penyakit kulit tetapi juga pada akhirnya menyerang sistem syarat dan jejaring otot kita manusia). Dalam masyarakat Perjanjian Lama (mungkin juga masyarakat lainnya, seperti yang terkenal di Pulau Molokai di dekat Hawaii itu) orang-orang yang terkena sakit kusta harus dikucilkan dari tengah masyarakat. 

Dan sebagai ciri penanda keberadaan mereka, para penderita kusta itu harus mengenakan busana khusus (dalam bacaan itu kemarin dikatakan pakaian sobek-sobek alias compang-camping), juga bergaya rambut khusus (yaitu terurai, tidak disisir atau dirapihkan). Dan manakala secara kebetulan mereka berjumpa dengan orang-orang lain di satu tempat tertentu, maka mereka harus memberitahu mereka agar tidak boleh datang mendekat. Hal itu mereka lakukan dengan cara menyerukan: "Najis-najis." Jika orang yang sehat itu mendengarkan seruan itu, maka mereka harus pergi dan menghindar dari sana agar tidak bertemu dengan penderita kusta dan demi mencegah penularan lebih jauh. 

Dari bacaan itu juga kemarin kita tahu bahwa tidak ada upaya penyembuhan sama sekali dari otoritas yang berwenang. Yang ada hanyalah proses pengucilan, proses labeling, proses prejudicing. Dengan demikian maka lengkap dan totallah sudah penderitaan mereka itu; mereka sudah menderita sakit secara jasmani, lalu masih harus menderita lagi secara rohani, yaitu berupa pengucilan keluar dari masyarakat "normal", masyarakat yang darinya mereka itu berasal. Jadi, betapa kuatnya kata-kata pengucilan itu. Memang hanya sekadar kata-kata saja, tetapi begitu terucapkan ia mempunyai dampak kemanusiaan yang tidak terpikirkan sama sekali. Keadaan dan nasib mereka benar-benar menyedihkan. Tidak ada prospek jalan keluar sama sekali. 

 

Yesus Menyembuhkan 

Dari bacaan pertama itu, saya langsung meloncat ke Injil (dengan melewati bacaan kedua). Teks Injil itu diambil dari Mrk 1:40-45. Teks ini berbicara tentang satu orang yang menderita sakit kusta yang datang kepada Yesus dan dengan sangat memohon kepadaNya agar disembuhkan. Hal yang sangat menarik bagi saya di sini ialah bahwa si orang Kusta ini, yang merupakan orang buangan sebagai hasil dari sebuah konstruksi sosial-teologis masyarakat Israel, sebagai warisan dari praksis hukum Perjanjian Lama, sekarang ini dibebaskan oleh Tuhan Yesus. Jadi, kehadiran Yesus itu membawa keselamatan dan pembebasan bagi si kusta itu. Ia disembuhkan. 

Berbeda dengan kondisi sakit kusta (yang harus dikucilkan), pengalaman sembuh tidak lain berarti pemulihan hak-hak sosial dan eksistensial dia. Dia dikucilkan dari masyarakat atas dasar penetapan dari seorang imam. Maka tatkala ia dinyatakan sudah sembuh, ia harus melaporkan peristiwa itu dan menunjukkan diri kepada Imam, agar sang imam bisa memberi persyaratan pembebasan itu, padahal imam itu bukan dokter. Itu tidak lain karena kusta itu dipandang sebagai kutuk dari Allah, dan karena itu, pembebasan dari kutuk harus dijustifikasi oleh seorang petugas suci, yaitu seorang imam. 

Apa yang oleh masyarakat lama dikungkung di dalam sebuah penjara sosial, oleh Tuhan Yesus dibebaskan. Apa yang dianggap najis oleh penetapan hukum lama, disentuh oleh Tuhan Yesus agar lewat sentuhan itu, orang sakit tadi mendapat rahmat penyembuhan (kesembuhan). Berbeda dengan tabu sosial-teologis-religius yang ada, Yesus tidak takut sama sekali bakal dinajiskan, menjadi najis karena menyentuh atau bersentuhan dengan orang yang sakit kusta. Kiranya keberanian itu juga yang mendatangkan rahmat "penyembuhan" dan "pembebasan" rohani kepada si kusta itu. 


Pertobatan Fransiskus Asisi

Tatkala mendengarkan bacaan injil itu kemarin, tiba-tiba saya teringat akan Bapak Serafik, Bapak Fransiskus dari Assisi. Tokoh ini hidup pada abad pertengahan di Italia sana (1185-1224). Dan kita semua tahu bahwa pada abad pertengahan itu, kusta dan orang kusta pun, sebagai warisan dari Perjanjian Lama, dipandang sebagai sebuah kutukan dari Tuhan sendiri, juga dikucilkan dan dipandang najis oleh masyarakat "normal". Fransiskus Assisi hidup di dalam situasi dan kondisi dan pandangan sosio religius seperti itu. 

Dalam perjalanan rohani menuju proses pertobatannya, salah satu adegan atau peristiwa penting yang menentukan arah hidup selanjutnya dari Fransiskus ialah pengalaman perjumpaan dia dengan orang Kusta. Munkin tidak semua orang mau menaruh perhatian khusus pada adegan ini. Tetapi saya secara pribadi menaruh perhatian padanya. Yang jelas ialah pada suatu saat Fransiskus bertemu dengan orang kusta. Sebagai seorang pemuda "normal" pasti ia mengalami pergolakan batin yang keras antara dua pilihan, atau ia datang mendekatnya atau lari menjauhinya. 

Puji Tuhan, tetapi pada akhirnya Fransiskus turun dari kudanya yang gagah perkasa dan dengan berani datang mendekati si orang kusta itu dan ia menciumnya. Tentu saja hal itu sangat bertentangan dengan norma masyarakat umum yang normal. Pada saat Fransiskus mencium orang kusta itu, Fransiskus mengalami satu pengalaman rohani yang luar biasa. 

 

Transformasi Hidup Batin Fransiskus 

Kisah hidup Fransiskus pada umumnya, hanya melukiskan bagi kita fakta, bahwa yang justru mengalami pembebasan rohani ialah justru Fransiskus. Kita tidak tahu apa-apa lagi tentang si orang kusta itu. Apakah ia sembuh, kita tidak tahu. Apakah ia mengalami sebuah pengalaman rohani tertentu, kita juga tidak tahu akan hal itu. Tentu saja kita bisa mengandaikan saja. Misalnya, si kusta itu pasti mengalami sebuah perubahan rohani, sebuah transformasi batin. 

Tetapi mengenai Fransiskus, kita tahu cukup banyak. Dikisahkan bahwa ia mengalami satu perubahan rohani, sebuah perubahan persepsi dan cara pandang: apa yang tadinya terasa pahit bagiku, begitu katanya, sekarang menjadi sebuah kemanisan yang luar biasa, yang meliputi jiwa dan badannya. Entahlah apa persis yang dialami dan dirasakan oleh Fransiskus. Kiranya itulah yang disesbut metanoia, metamorfosis, pertobatan, perubahan cara pandang hidup, sebuah perubahan orientasi hati, conversio cordis. 

Yang jelas ialah bahwa sejak saat itu, Fransiskus menjadi seorang pelayan orang-orang Kusta. Karya pelayanan orang kusta dipandangnya sebagai salah satu karya pelayanan kasih Fransiskus Asisi. Di dalam karya pelayanan kasih itu tampak jelas bahwa apa yang dikucilkan oleh masyarakat, justru dilayani dengan penuh kasih dan per-hati-an oleh Fransiksu dan para saudaranya dan juga kemudian para saudarinya. Kiranya kita bisa membayangkan pengalaman pembebasan rohani dan dialami dan dirasakan oleh para penderita kusta itu. Apa yang selama ini hilang dari diri mereka, yaitu harga diri dan makna hidup, sekarang seperti sudah ditemukan dan dikuatka, diteguhkan lagi oleh karya pelayanan para saudara Dina. 

Yang jelas ialah bahwa karya pelayanan kasih itu datang untuk membawa "penyembuhan" mungkin bukan secara jasmani semata-mata, tetapi juga pasti secara rohani. Mereka merasa hidup menjadi lebih berharga dan bermakna lagi, karena cinta dan per-hati-an dari sesama. 


Bekerja Di Tengah Orang Kusta

Cukup lama saya mengalami tempaan dalam Ordo Saudara Dina Fransiskan, mulai dari masa postulan dulu hingga menjelang kaul kekal (1981-1988 akhir). Pada masa itu saya ingat betul bahwa salah satu bagian dari proses formasi kami itu ialah mengalami apa yang disebut kerja liburan, atau exit work, di luar biasa. Selama tiga tahun studi Filsafat dan teologi di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, saya mengalami tiga kali kerja liburan. Saya mau mengisahkan pengalaman yang ketiga saja, yaitu pada bulan Juli 1986. 

Pada saat itu, angkatan kami baru saja selesai studi kami di tingkat Filsafat di STFD. Sebelum pindah ke Kentungan Yogyakarta, kami kerja selama hampir tiga minggu di Pati Jawa Tengah. Di sana kami bekerja di rumah sakit kusta. Itu adalah karya sosial para suster Fransiskanes Sambas (eh jangan-jangan Singkawang). Ya para suster Fransiskanes. Di kota Pati itu mereka memiliki dua Rumah Sakit. Yang satu disebut Panti Sani dan yang lain disebut Panti Salus. 

Kalau saya tidak salah ingat, Panti Salus itu adalah Rumah Sakit benaran. Maksudnya ialah bahwa di Panti itu para suster merasa orang yang menderita kusta. Mereka dirawat di dalam rumah itu. Tentu dalam rangka agar mereka menjadi sembuh. Sedangkan Panti sani, adalah panti penampungan orang-orang kusta yang sudah dinyatakan sembuh secara medis, dan juga aman yaitu tidak ada risiko untuk menularkan lagi pada yang lain. Nah, mereka yang tinggal di panti Sani ini adalah mereka yang sudah dinyatakan sembuh dan tinggal proses sosialisasi dan pembekalan keterampilan dalam rangka persiapan untuk kembali lagi ke dalam masyarakat. 

 

Tinggal Menyatu Dengan Mereka 

Pada tahun itu, biasanya para frater yang exit work, tinggal di biara para suster di tengah kota Pati. Di pagi, setelah ibadat pagi dan Ekaristi, mereka akan pergi kerja di panti Sani. Lalu sore hari nanti, mereka akan kembali lagi ke biara di kota. Oh ya, Panti Sani terletak agak di luar kota. Sebab mereka memiliki kebun, sawah, dan kandang-kandang ayam di sana. 

Ketika kami bekerja di sana, biara para suster sedang direnovasi. Oleh karena itu, kami tidak bisa tinggal di biara sebagaimana biasanya selama ini. Karena itu kami tinggal di Panti Sani bersama dengan orang-orang Kusta yang sudah dinyatakan sembuh tadi. Para suster meyakinkan kami semua bahwa mereka sudah sembuh dan tidak menular lagi. Jadi, para suster meyakinkan kami untuk tidak usah takut, tidak usah canggung, sebab cara kita "menyapa" mereka untuk pertama kali akan berbekas sangat kuat dalam hati dan perasaan orang-orang itu. Mereka itu sangat perasa. Mereka bisa merasakan apakah jabat tangan kita itu penuh ketakutan ataukah curiga. Begitulah kata-kata pengantar dari para suster yang mendampingi kami. 

Setelah mendapat pembekalan seperti itu, kami pun datng berbaur dan tinggal bersama dengan mereka. Kami makan dari dapur yang sama dengan mereka. Kami mandi di kamar mandi yang sama dengan mereka. Kami bermain bersama, rokok bersama, bekerja bersama. Kami tidak canggung sedikitpun. Benar-benar menghayati sikap Fransiskus. Dan hal itu membuat mereka sangat senang dan bahagia. Mereka merasa dihargai, dicintai, dan kiranya juga "disembuhkan." 

Terpancar rasa bahagia dan kecerahan dan keceriaan di wajah mereka semua. Mereka senang sekali. Kami pun juga menjadi bahagia karenanya. Setelah dua minggu lewat, kami akan pulang. Saat kami pulang, kami menjadi sangat sedih juga, sebab kami diratapi dengan sejadi-jadinya oleh mereka, seperti meratapi orang mati. Mereka sepertinya tidak siap membiarkan kami pulang. Tetapi kami harus pulang. Ya, cinta dan per-hati-an telah mengubah semuanya. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO