TERPAAN VUCA, BANI DAN DAYA ILHAM DARI INTUISI NOAH


Foto: Dari koleksi Pribadi 


Sebuah Refleksi Kritis Seorang Beriman 

Oleh: Fransiskus Borgias 

 

Pengantar Singkat

Tanggal 15 Februari 2024 yang lalu, persis sehari sesudah coblos pemilu (pilpres, pileg), beberapa anggota Senat Universitas Katolik Parahyangan Bandung (ada 16 orang), bersama sang Ketua, Prof. Judy Retty, mengadakan kunjungan studi (kerja) ke "Rumah Perubahan" dari Prof.Renald Kasali, yang terletak di Bilangan Pondok Gede, Bekasi.

Dalam kegiatan kunjungan itu, antara lain kami melakukan dialog interaktif dengan Prof.Rhenald, setelah sebelumnya beliau memaparkan beberapa pandangan dan pengamatan beliau sebagai seorang pakar dan professional di bidangnya. Pada saat itu, saya mendengar beberapa paparan pandangan yang diberikan oleh Prof.Renald, sang pemilik Rumah Perubahan yang sangat asri, sejuk, segar itu. Kami semua sangat menikmati situasi di tempat itu. Bagi saya, itu benar-benar luar biasa. Mengagumkan. Kawasan Rumah Perubahan benar-benar menawarkan sesuatu yang sangat kontras dengan keadaan Bekasi dan Jakarta pada umumnya. Hijau, sejuk, indah, dan tenang (cenderung ke arah hening). 

 

Terpaan Gelombang Disrupsi VUCA

Antara lain saat itu beliau memaparkan sebuah gagasan yang disebutnya dengan singkatan BANI. Beliau mengatakan bahwa BANI itu adalah kondisi baru yang dianggap sebagai sebuah gelombang disrupsi baru pasca gelombang VUCA yang dipandangnya sudah mulai lewat berlalu. VUCA sendiri, sebagaimana yang kita ketahui semua, adalah singkatan dari Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity.

Volatility pada dasarnya menunjuk kepada suatu keadaan yang tidak stabil, melainkan selalu berubah-ubah sehingga menyulitkan manusia untuk merancang atau merencanakan sesuatu ataupun mewujudkan sesuatu dalam hidupnya. Manusia, di Tengah keadaan tidak stabil itu, mudah menjadi gamang karena semuanya cepat sekali berubah, seperti kata filsuf Yunani Kuno dulu, panta rei, kai uden menei (segala sesuatu berubah, dan tidak ada yang tinggal tetap; ini adalah sebuah kontra-tesis dari pandangan Parmenides yang melihat alam semesta ini sebagai sesuatu yang bersifat statis, bersifat tetap, tidak ada lagi perubahan di dalamnya).

Uncertainty, tentu saja sangat erat terkait dengan V tadi, yaitu keadaan yang serba tidak pasti (certain), karena adanya gelombang perubahan yang berlangsung cepat itu. Dua hal itu saja, VU, sudah mendatangkan masalah dan kerumitan tersendiri dalam dan bagi hidup manusia. Kerumitan itu semakin diperparah lagi dengan adanya unsur yang ketiga yaitu Complexity; ini adalah suatu keadaan hidup manusia yang ditandai dengan kerumitan (complex) yang tiada tara, tiada terkira, suatu keadaan kerumitan seperti benang kusut melilit jentera, seperti tumpukan gulungan macam-macam kabel di atas tiang telpon yang sangat ngawur, dan semrawut.

Dan akhirnya keadaan itu semakin diperparah lagi dengan kata atau initial yang keempat, yaitu A, yang tidak lain adalah inisial dari Ambiguity; biasanya kata ini diterjemahkan dengan ambiguitas, atau keadaan ambigu. Yang dimaksud tidak lain ialah keadaan mendua, kemenduaan, yang sudah pasti akan menimbulkan kebingungan dan kekacauan juga. (Oh ya ada yang menerjemahkan kata ambigu ini dengan taksa, atau menjadi nomina, ketaksaan. Tetapi hal ini masih harus saya cek di KBBI).

 

Gambar: Dari Google Search. 

Terpaan Gelombang Disrupsi BANI

Belum selesai kita-kita ini memikirkan secara tuntas (mungkin tidak akan pernah bisa juga) tentang tragedy dramatis VUCA ini, Prof.Rhenald sudah berbicara tentang sesuatu yang lain, yang ia sebut BANI. Karena memang di mata Prof.Renald, VUCA itu sudah digeser oleh gelombang baru yang ia sebut BANI. Nah, apa itu? Sama seperti halnya VUCA, ya BANI ini pun adalah sebuah singkatan, sebuah akronim (kata yang dibentuk dari singkatan atau inisial kata atau konsep tertentu). Mana sajakah unsur-unsur inisial itu? Kita mulai dengan yang pertama.

B adalah singkatan dari Brittle, yang bisa diartikan dengan kerapuhan (jadi, ini adalah kata lain dari fragile, fragility). B ini, oleh Prof.Renald dikaitkan dengan “the illusion of strength.” Dalam slides pemaparannya, B ini diberi keterangan rinci sbb: “Meski terlihat kokoh, Perkasa, Besar, Ternyata Tak Sekuat/Sehebat Yang Diduga.” Ternyata mudah retak, Breakable, mudah pecah, rentan (atau fragile tadi). Hal ini menunjuk pada fakta kondisi kerentangan hidup manusia yang memang serba rapuh itu. Jadi, ini sebuah keadaan ilusi, keadaan tertipu, karena keadaan itu memang menipu, mengelabui sehingga menimbulkan salah sangka, salah kira. Inisial yang kedua ialah A. A ini dikaitkan dengan kata Anxious, yang pada gilirannya dikaitkan lebih lanjut dengan keterangan berikut ini: “The Illusion of Control.” Prof.Renald memberi keterangan berikut ini tentang A tadi, “Merasa Tak Berdaya, Cemas, Khawatir, Tak Kuasa. Terlalu banyak Informasi Tak Sesuai Dengan Harapan.” Jadi, A ini sesungguhnya erat terkait dengan rasa insecure, rasa tidak aman.

Lalu selanjutnya ada inisial N. Dan N ini adalah huruf awal dari kata Nonlinear yang dikaitkan dengan keterangan berikut ini: “The Illusion of Predictability.” Deskripsi lengkapnya ialah sebagai berikut: “Tidak ada lagi jalan yang lurus, Chaos, Butterfly effect.” Suatu keadaan tidak teramal, keadaan yang tidak terduga-duga. Dan karena itu pasti menimbulkan kekacauan dan kebingungan juga. Akhirnya ada inisial I, yaitu dari kata Incomprehensible. Hal ini dikaitkan dengan “the illusion of knowledge.” Lebih lanjut hal ini diberi keterangan khusus sbb: “Penuh Misteri. Kita Pikir kita Tahu. Ternyata Banyak yang Tak Kita Ketahui.”

Gambar: Dari Koleksi Pribadi. 


 Perjalanan Mencari Tuntunan

Bagi saya, baik VUCA maupun BANI, sama-sama mendatangkan kekacauan dan kebingungan dalam pikiran kita (saya), sebab gambaran atau kesan gambaran sosial yang muncul ialah serba suram, bahkan serba gelap, sangat pesimistik, dan gamang. Ngeri sekali rasanya kondisi seperti itu, baik VUCA maupun BANI. Manusia, sepertinya serba terhimpit, dan terkurung dalam sebuah ruangan yang serba tertutup, dan keadaan serba menimbulkan kesesakan. Maka saya pun berpikir, adakah jalan keluar bagi manusia untuk bisa keluar dari krisis itu?

Jawaban atas pertanyaan ini bagi saya sangat perlu sebab paling tidak saya membutuhkan sebuah tuntunan, kira-kira sebuah tuntunan bagi orang yang bingung, seperti judul sebuah risalat dari Moses Maimonides dulu, The Guide for the Perplexed, Tuntunan Bagi Orang Yang Bingung. (Rasanya di abad keduapuluh silam, judul itu dipakai Kembali oleh seorang pemikir lain, F.Schumacher, yang terkenal dengan buku mungilnya, Kecil itu Indah, Small is Beautiful).

Oleh karena pikiran saya yang terus menerus bertanya itu, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan diskusi kepada Prof.Rhenald. Saya katakan bahwa keadaan manusia, baik VUCA maupun BANI itu, serba sangat suram, bahkan gelap; Seperti keadaan No Exit yang dilukiskan dalam sebuah drama dari Sartre itu, Pintu Tertutup. Tidak ada jalan keluar. Kebetulan selama ini saya terlibat dalam pengajaran dan juga penelitian teologi Biblis.

Dan dalam perspektif biblis itu, separah apa pun keadaan manusia (VUCA dan BANI), pasti selalu ada jalan keluar. Tidak mungkin intuisi dan kecerdasan manusia (individu maupun terutama komunal sebagai kemanusiaan, humanity) bakal membiarkan diri terus menerus ada di bawah himpitan, tinggal dalam Lorong gelap yang bikin sesak nafas, lumpuh layung, dan juga bisa akhirnya mati lemas. Pasti ada terobosan kecerdasan manusia untuk bisa keluar dari pusaran gelombang VUCA maupun BANI ini.

 

Gambar: Dari Google Search. 

Menimba Ilham dari Kisah Noah

Mengapa saya seoptimistik seperti ini? Optimisme saya ada dasar biblisnya. Dasar itu saya timba dari kisah penuh inspirasi tentang Noah (Nuh). Noah, dengan kecerdasan dan intuisi kemanusiaannya akhirnya bisa membawa seluruh kemanusiaan dan seluruh ciptaan bisa keluar dari situasi kritis. Jadi, selalu ada alasan dan dasar untuk optimistic dan penuh pengharapan. Sesungguhnya pertanyaan saya sampai di situ. Tetapi setelah sampai di Bandung, saya mencoba mengembangkan lebih lanjut pertanyaan dasar itu dengan menggali Kembali beberapa tafsiran eksegetis tentang kisah Noah tersebut. Itulah yang coba saya paparkan dalam bagian lanjut dari tulisan saya ini. Tetapi paparan exegetis ini tentu masih dalam rangka menanggapi situasi kritis akibat terpaan gelombang VUCA maupun BANI itu tadi.

Dari cerita Kitab Suci kita tahu bahwa Noah yang saleh dan benar itu hidup dalam bumi yang sudah rusak parah dan penuh dengan kekerasan (Kej 6:11). Bahkan Allah sendiri pun bersaksi bahwa bumi itu memang benar-benar telah rusak parah (ay 12). Kerusakan bumi itu disebabkan oleh hidup manusia yang rusak parah (ay 12). Jadi, kerusakan hidup manusia, mempunyai dampak ekologis yang sangat nyata dan tragis. Karena kerusakan itulah, Allah pun mendatangkan hukuman atasnya. Hukuman itu tidak main-main, yaitu Allah akan mengakhiri hidiup segala makhluk dengan cara memusnahkan mereka semuanya (Kej 6:13). Hukuman itu dilaksanakan dengan mendatangkan Air Bah, banjir bandang, Flood (Kej 6:17), “…untuk memusnahkan segala makhluk yang memiliki napas hidup di kolong langit; sgala yang ada di bumi akan binasa” (ay 17).

Walaupun dalam murka-Nya, Tuhan Allah tetap menjanjikan kepastian shalom (keselamatan) bagi Noah, tetapi tetap saja berita dan titah langit itu menjadi sebuah disrupsi yang dahsyat bagi Noah, atau menjadi VUCA dan bahkan BANI bagi Noah. Walaupun Upaya Noah untuk menyelamatkan diri dan keluarga didorong oleh sebuah titah langit juga, tetapi saya tetap melihatnya sebagai sebuah intuisi kodrati Noah sebagai seorang anak manusia untuk dapat keluar dari circuit kemelut itu, meminjam judul novel (semula cerbung di Kompas) Ashadi Siregar, tahun 70an. Perintah langit itu dideskripsikan dengan sangat jelas dalam Kej 6:14-16;18-21.

Tidak setiap perintah langit itu ditaati oleh manusia. Buktinya dalam Kej 3, titah langit yang sudah sangat jelas itu, justru dilanggar oleh manusia, mula-mula oleh Hawa, lalu akhirnya juga oleh Adam. Tetapi berbeda dengan itu, Noah memperlihatkan ketaatnnya kepada titah langit. Beginilah teks Kitab Suci melukiskannya: “Lalu Nuh melakukan semuanya itu; tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya, demikianlah dilakukannya.” (Kej 6:22; cetak miring dari saya). Ya, saya memberi garis bawah (berupa cetak miring pada teks itu) pada kata kerja dan frasa keterangan di sana. Hal itu dimaksudkan untuk menekankan adanya intuisi kodrati Noah untuk bersikap taat dan mau mendengarkan. Dalam Bahasa resmi teologi hal itu disebut potentia oebedientialis. Dan intuisi itu pada akhirnya menyelamatkan, mendatangkan keselamtan.

Gambar: Dari Koleksi Pribadi.

Pembacaan Secara Hermeneutik

Kitab suci hanya menceritakan kepada kita tentang Noah saja. Kita sama sekali tidak mendengar atau membaca tentang orang-orang lain di sekitar Noah. Jangankan tentang orang-orang lain di luar sana. Bahkan suara-suara dari sanak keluarga Noah sendiri tidak ada sama sekali. Tetapi sebenarnya kita bisa membayangkan suara-suara dan pandangan-pandangan itu dengan cara “menggali” dari teks itu sendiri. Saya kira dan bahkan bisa memastikan bahwa tatkala orang-orang melihat apa yang diperbuat Noah, mereka pasti bertanya-tanya. Pasti Noah juga menjawabnya. Dan setelah mendengar jawaban itu, pasti mereka bingung dan gamang. Mungkin juga panik, takut.

Untuk mendalami efek kegamangan dan kebingungan yang ditimbulkan oleh “ulah” Noah itu, kita perlu melihat reaksi para pendengar dan penonton Noah (semacam implied spectator, jika meminjam istilah yang saya adaptasi dari Phenomenology of Reading-nya Wolfgang Isher). Hanya sayangnya, kita tidak menemukan hal itu di dalam teks Kitab Suci. Tetapi kitab isa merekonstruksi ada dan kehadiran mereka dengan cara menerapkan satu prinsip pembacaan hermeneutic tertentu.

Dalam tradisi hermeneutic kritis, ada tiga cara baca. Pertama, we have to read the lines, yaitu membaca apa yang disampaikan dalam dan melalui huruf-huruf yang tertulis. Kedua, we have to read between the lines, yaitu membaca apa yang ada di antara baris. Yang dimaksudkan ialah semua yang diandaikan bisa dibayangkan ada dan terjadi di sekitar apa yang ditulis. Misalnya, ditulis bahwa Noah membuat bahtera. Itulah faktanya, the lines-nya. Yang tidak ditulis itu memang sebuah wilayah yang sangat lentur, bisa sangat banyak. Salah satunya ialah bahwa orang akan bertanya mengapa anda lakukan itu, memangnya anda ini mau ke mana sih, dan pelbagai macam pertanyaan yang lainnya.

Ketiga, we have to read also the lies, membaca juga kebohongan-kebohongan yang dibangun untuk menyembunyikan sesuatu. Tidak semuanya dibahas di sini. Yang paling relevan untuk tulisan ini adalah versi kedua, read between the lines. Dengan cara baca seperti ini, kita dapat membayangkan secara imajinatif bahwa orang-orang di sekitar Noah pasti dilanda rasa penasaran yang hebat karena melihat aktifitas Noah yang tidak lazim itu. Mereka pun bertanya? Mengapa? Untuk apa? Anda mau ke mana? Pasti Noah menjawabnya walau tidak ada rekaman jejak dari dialog interaktif itu. Tetapi yang jelas, saya bisa juga membayangkan betapa resah dan gelisahnya orang-orang itu yang melihat Noah membuat bahternya dan mendengarkan penjelasan tentang hal itu.


Foto: Dari Koleksi Pribadi. 

Rekonstruksi Imajinatif Dari Ruang Antar Baris

Kita juga bisa membayangkan bahwa tentu saja “jawaban dan penjelasan” Noah (hasil rekonstruksi imajinatif tadi) tentang Bahtera itu pasti mendatangkan disrupsi mental dalam diri orang-orang itu. Lalu kita pun bisa membayangkan dengan mudah pelbagai ragam reaksi, tanggapan dan sikap mereka. Pasti yang ada yang takut dan percaya akan cerita itu, tetapi mereka ini merasa tidak berdaya, lalu tidak berbuat apa-apa juga untuk mengatasinya. Itu kelompok yang pertama.

Kelompok kedua, pasti ada juga yang nekat dan tidak takut sama sekali, dan tidak percaya dan bahkan mungkin menertawakan perbuatan Noah yang dipandangnya aneh-aneh dan bukan-bukan itu. Mereka memandang hal itu sebagai sia-sia belaka. Semuanya sia-sia, kata si Pengkotbah itu. Kelompok ini, karena terlalu percaya diri dengan pandangan dan keyakinannya, tidak berbuat apa-apa juga untuk mengatasi masalah, sebab mereka tidak menganggap “bualan” Noah itu sebagai sebuah masalah.

Dan sekarang mari kita melihat orang dalam lingkaran Noah. Semua yang di atas itu tadi adalah orang-orang luar, mereka berada di luar lingkaran Noah. Orang-orang dalam Noah juga pasti bingung, sebab titah langit itu hanya tertuju kepada Noah seorang diri saja. Mereka tidak mendengar titah langit itu. Namun mereka taat karena diminta demikian oleh Noah. Tetapi bisa dipastikan juga bahwa mereka taat di dalam ketakutan dan kebingungan. Tetapi apa pun itu, pada akhirnya mereka semua selamat Bersama dengan Noah di dalam Bahteranya.

 

Gambar: Dari Koleksi Pribadi. 

Selalu Masih Ada Harapan

Jadi, di dalam perspektif alkitabiah, walaupun hidup ini ditandai oleh awan kelam pesimistik (juga awan kelam VUCA dan BANI sekalipun), saya tetap saja optimistic, “masih ada harapan” meminjam judul artikel Pater Alex Lanur OFM yang menjadi judul Cover majalah bulanan Basis pada tahun 1983 dulu, yang pada dasarnya berbicara tentang filsafat pengharapan dalam perspektif Gabriel Marcel. Maka dalam rangka itu saya menggemakan lagi sebagian dari Mazmur 23 itu: sekalipun aku berjalan di Lembah yang kelam, aku tidak takut bahaya, sebab Tuhan besertaku.

Memang harapan itu adalah dinamika dalam hati manusia, termasuk dalam tiga serangkai Paulinian: Iman, Harapan, dan Kasih (yang kelak oleh Tomas Aquinas disebut Kebajikan Adikodrati itu dalam Summa Theologica-nya itu). Tetapi harapan itu pasti datang dari kuasa Ilahi, berasal dari titah langit, yang menyalakan asa di dalam kalbu manusia, dan karena itu bisa menyambung pada intuisi kodrati manusia untuk taat, untuk mendengarkan. Ketaatan dan kesediaan untuk mendengarkan dan bersikap setia itulah yang pada akhirnya mendatangkan shalom bagi manusia dan kemanusiaan dan bahkan seluruh kosmos. Itulah arti penting dari ketaatan Noah. Ketaatan itu menyelamatkan.

Tanpa adanya intuisi ketaatan itu, maka itu adalah bencana besar bagi manusia dan kemanusiaan dan bagi seluruh alam. Intuisi dan kepekaan akan ketaatan itu memang sebuah potensi yang tidak secara otomatis bisa dimiliki semua orang. Hanya ada pada orang tertentu saja. Ia mengilhami segelintir orang saja, bahkan orang “pilihan” saja. Orang banyak yang lain, adalah masa terkutuk, massa perdicta, yang tidak bisa selamat. Intuisi ketaatan itu ada pada Noah, karena hidup dan relasi yang benar, yang dihayati Noah dalam seluruh hidupnya, sebagaimana dilukiskan di awal kisah itu.

 

Faktor Sentral: GOD’S REMEMBERING

Walaupun di atas tadi, saya sudah menekankan intuisi kodrati Noah untuk taat sebagai titik awal shalom, namun menurut dua exeget kondang Gereja Katolik, Pater Richard J. Clifford SJ dan Pater Roland E. Murphy, O.Carm., yang menulis sebuah tafsir dan commentary yang sangat bagus atas kitab Kejadian untuk The New Jerome Biblical Commentary, ternyata kisah Noah ini dibangun dalam sebuah bangunan arsitektural yang bercorak Chiastik (TNJBC, p.15). Dan inilah gambaran dari struktur chiastiktik kisah Noah itu.

Struktur chiastik kisah Noah.

Kej 6:9-10: Introduksi: Noah, orang benar yang hidup dalam Angkatan yang fasik.

01). Kej 6:11-12: Ciptaan rusak dan kacau-balau.

      02). Kej 6:13-22: Perintah Ilahi I: Hancurkan.

            03). Kej 7:1-10: Perintah Ilahi II: Masuk Bahtera.

                  04). Kej 7:11-16: Permulaan Air Bah.

                        05). Kej 7:17-23: Air Bah Meluap, Meninggi.

                              TUHAN ALLAH INGAT AKAN NOAH

                        06). Kej 7:24-8:5: Air Bah mulai surut.

                  07). Kej 8:6-14: Bumi mulai mongering.

            08). Kej 8:15-19: Perintah Ilahi III: Keluarlah dari Bahtera

      09). Kej 8:20-22: Sumpah Allah, tidak akan merusak lagi.

10). Kej 9:1-17: Perintah Ilahi IV: Mengulang Janji awal dan tegakkan damai.

 

Di dalam bangunan yang bercorak chiastic itu, sebagaimana tampak dalam bagan di atas, selalu ada dua unsur penting: Bagian pertama (nomor 1 sampai 5) dan Bagian Kedua (nomor 6 sampai 10). Masing-masing unsur dalam bagian pertama digunakan dan dielaborasi lebih lanjut dalam bagian kedua (sebab struktur chiasme itu selalu ada dua bagian). Dan bagian pusat dari Chiasme itu, yang menjadi semacam engsel penghubung antara kedua bagian dari Chiasme tadi, tidak lain ialah, kehendak Allah sendiri, untuk INGAT akan Noah (GOD’S REMEMBERING OF NOAH). Nah, ingatan itulah (remembering) itu yang menyelamatkan (saving).

Justru karena kisah itu terpusat pada ingatan Allah (GOD’S REMEMBERING), maka efeknya lalu bersifat total: Shalom itu tidak hanya bercorak antroposentis belaka, melainkan bercorak ekosentris, kosmosentris, dan di dalam bingkai kosmos dan oikos itulah manusia ikut diselamatkan. Tidak terbalik, yaitu manusia diselamatkan, lalu seluruh makhluk hidup lain menjadi selamat. Melainkan manusia ikut shalom karena semua makhluk lain sudah shalom. Itulah sumber optimisme humanistic dan ekosentris saya yang berdasar pada insight-insight biblis dan sumber itu tidak lain ialah Allah sendiri, yang tidak lupa akan ciptaan-Nya, Allah ingat akan ciptaan-Nya. Jadi, GOD’S REMEMBERING is a saving factor for all creation. Ingatan yang menyelamatkan.

 

Catatan Penutup

Jika dilihat dalam bingkai chiastic seperti di atas tadi, maka sebenarnya kisah ini bukanlah terutama kisah Noah yang membangun Bahtera untuk menghadapi bencana kosmik, banjir bandang yang sangat dahsyat karena semua tingkap-tingkap langit terbuka dan mengeluarkan air di atas bumi (berupa hujan), dan semua mata air di permukaan tanah terbuka dan mulai mengeluarkan air yang di bawah bumi. Walaupun Kitab Suci kita melukiskan seakan-akan tokoh protagonis kisah itu ialah Noah. Ternyata tidak. Lalu siapa tokoh protagonisnya?

Tidak lain tidak bukan, tokoh Protagonis itu ialah Tuhan Allah sendiri. Jadi sebenarnya ini adalah kisah tentang Allah yang meningat, Allah yang tidak lupa akan makhluk ciptaan-Nya, kisah tentang GOD’S REMEMBERING OF NOAH AND OF EVERY CREATION BECAUSE OF NOAH. Ya, Tuhan Allah tidak lupa. Dalam rumusan yang positif Tuhan Allah itu selalu mengingat. Kiranya rumusan positif itulah yang digemakan dengan sangat indah oleh Nabi yesaya sebagaimana tampak dalam teks berikut ini, yang telah digubah oleh seorang komponis Yesuit, Dan Schutte, menjadi sebuah syair lagu:

“I will never forget you my people, I have carved you on the palm of My Hand, I will never forget, I will not leave you orphan, I will never forget my own.” Itulah verses pertama lagu itu. Lalu disusul beberapa verses yang lainnya. Tetapi di sini saya hanya akan kutip verses pertama dan kedua. Inilah bunyi dari verses yang kedua: “Does a mother forget her baby, or a woman a child within her womb, Yet even if these forget, Yes even if these forget, I will never forget my own.” (Teks ini diadaptasi dari Yes 49:15-16). Indah sekali. Hangat. Melegakan.

 

Komentar

  1. Pak, terima kasih tulisan yg luar biasa. Saya jadi belajar 2 akronim bar " VUCA dan BANI"🙏

    BalasHapus
  2. Sama2... trims juga atas apresiasinya... syukur jika ini berguna... boleh tahu, anda tinggal di mana? apakah kita pernah kenalan sebelumnya? Makasih....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO