KEKRISTENAN PROGRESIF, KEKRISTENAN AGRESIF, KEKRISTENAN REGRESIF? ENTAHLAH.
![]() |
Gambar: dari Googgle Search |
Sebuah Catatan Pengamatan Singkat
Oleh: Fransiskus Borgias.
Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung,
Jawa Barat, Indonesia.
Sebuah Pengantar Singkat
Beberapa hari yang lalu saya mendapat sebuah video pendek
(reels) sepanjang 59 detik dari sebuah WA Group yang saya ikuti. Video itu
melukiskan tentang seorang pendeta atau pengkotbah muda yang sangat energetic
dan pandai bicara. Rupanya ia sedang menyampaikan kotbah dari sebuah mimbar di
depan para pendengarnya (jemaat).
Imago Hominis: Sebuah Aksi Perversi
Dalam kotbahnya
itu, dengan sangat singkat dan padat, ia melukiskan keadaan dan tendensi sikap
hidup manusia modern masa kini yang sepertinya sedang mencoba “menciptakan”
Allah menurut gambar dan rupa mereka sendiri. Itulah yang disebut aksi perversi,
sebuah pembalikan, sebuah pengubahan, bahkan bisa juga sebuah penyimpangan.
Jadi, apa pun
kondisi yang sedang mereka alami dan rasakan saat ini (misalnya seperti keadaan
pusing, keadaan kemabukan, keadaan gamang, keadaan fly karena pemakaian
obat-obatan, ataupun karena minum-minum keras, dan bahkan juga keadaan “penyimpangan”
orientasi seksual), semuanya itu mau diproyeksikan kepada sebuah gambar atau
citra Allah.
Sang pendeta atau
pengkotbah muda itu lalu tiba-tiba berhenti dan memotong alur cara berpikir
seperti itu dengan mengatakan bahwa itu semua adalah ilusi manusia masa kini
belaka. Sebab wahyu yang ada dalam Kitab Suci justru menyampaikan sesuatu yang justru
sebaliknya. Yaitu bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia menurut
gambar dan rupaNya (imago Dei, the image of God). Bukan seperti yang
digambarkan di bagian awal tadi (yaitu imago hominis, atau bahkan jangan-jangan
imago diaboli). Oleh karena itu, jika tendensi yang sebaliknya itu yang
sedang dikerjakan oleh manusia-manusia masa kini, tentu saja itu adalah sebuah
kesalahan, sebuah kesesatan, sebuah kondisi error of mind, error of
belief.
Dua Model Kisah Penciptaan Manusia
Kitab Suci dengan tegas mengatakan bahwa Allah itu adalah
bagaikan si tukang pengrajin tanah liat (potter in His Pottery), dan
kita manusia-manusia inilah yang merupakan tanah-tanah liat-nya (clay).
Seperti kata syair sebuah lagu, yang mengadaptasi sebuah teks kitab suci dari
nabi Yesaya: Abba Father, You are the Potter, we are the clay. Hal itu
memang sangat sesuai dengan sebuah versi kitab penciptaan manusia di dalam Kitab
Kejadian. Setidaknya ada dua versi
kisah penciptaan manusia di dalam Kitab Kejadian. Versi pertama dapat
kita temukan dalam Kejadian 1:26-28. Di sana dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan
rupa-Nya. Dan hal itu sudah dikatakan di awal tulisan ini.
Sedangkan versi
kedua dapat kita temukan dalam Kejadian 2:5-7. Di sana kita mendapatkan sebuah
gambaran yang lebih bersifat antropomorfistik akan Allah. Allah dilukiskan
seperti sesosok tukang pengrajin bengkel tanah liat, a Potter. Di dalam
bengkel pottery-nya itu, Tuhan membentuk manusia dari tanah liat seperti
bentuk-bentuk orang-orangan. Tetapi, karena orang-orangan itu terbuat dari
tanah liat, maka mereka tidak hidup, tidak dapat bergerak. Boneka tanah liat
itu baru bisa hidup dan bergerak setelah Tuhan menghembuskan Roh-Nya ke dalam
boneka-boneka itu melalui lubang-lubang hidungnya, nostril, dan dengan itu patung-patung
tanah liat itupun lalu menjadi hidup, bergerak.
Nah, dengan
memakai bingkai kisah yang kedua ini, dikatakan bahwa sikap yang paling tepat untuk
diambil manusia ialah membiarkan diri kita dibentuk oleh-Nya, bukan malah kita
yang berusaha membentuk Dia menurut gambar dan rupa kita. Sikap yang benar
ialah bersikap pasrah dan berserah dan membiarkan tangan-tangan sang Pencipta,
sang Seniman Agung itu, the Greatest Artist (jika tidak salah istilah
dari filsuf Rabi Moses Maimonides), membentuk tanah liat tubuh kita menjadi
seperti yang Ia inginkan, seperti yang Ia imajinasikan (bukan seperti yang saya
inginkan). Dan kita percaya bahwa itu adalah sesuatu yang sangat agung dan
mulia, karena kita lalu mulai berada sebagai makhluk ada yang sesuai dengan
gambar dan rupa-Nya, dan bukan sebaliknya, sekali lagi, kitalah yang berambisi
untuk membentuk gambar dan rupa Tuhan.
Agama Sebagai Sebuah Proyeksi Belaka: Ludwig Feuerbach
Ambisi gila
seperti ini (menciptakan Allah menurut gambar dan rupa manusia), sebenarnya
dalam sejarah pemikiran filosofis dan teologis Kristiani Barat, bukanlah
sesuatu yang baru sama sekali. Pada masanya, filsuf Jerman Ludwig Feuerbach
pernah membalikkan ucapan Allah dalam kitab Kejadian 1:26-28 itu. Jika di dalam
kitab Kejadian itu Tuhan berkata, marilah Kita (We) menciptakan manusia menurut
gambar dan rupa Kita, maka Feuerbach membalikannya menjadi, marilah kita
menciptakan Allah menurut gambar dan rupa kita. Jika di dalam yang pertama,
Allah-lah yang menjadi subjek pelakunya, maka di dalam skema pemikiran
filosofis Feuerbach, manusia-lah yang menjadi subjek pelakunya.
Memang menurut
dia, Allah tidak lain adalah proyeksi gambaran dan keinginan unggul dan ideal manusia
kepada sebuah ide atau gagasan asing yang berjarak (alienated, alienation) dari
dirinya sendiri yang di dalam agama disebut dengan sebutan Tuhan atau Allah.
Karena itu Tuhan atau Allah yang diwartakan oleh agama-agama sebenarnya pada
dasarnya mewartakan drama tragis keterasingan (alienasi) manusia dari keagungan
dan keunggulannya sendiri. Mengapa demikian? Karena semua dimensi unggul dan
ideal dari manusia dan kemanusiaan itu, oleh manusia itu sendiri, didorong oleh
agama, diproyeksikan, harafiah berarti, dilemparkan keluar dari dirinya
sendiri, kepada sesuatu sosok imajiner extraterrestrial, sehingga manusia lalu
menjadi kosong, menjadi hampa, sedangkan sosok imajiner itu menjadi sangat
perkasa dan sangat berkuasa.
Sesungguhnya cara
berpikir seperti itulah yang ditampakkan dalam kutipan bagian awal dari kotbah
sang pendeta muda di atas tadi. Jika dilihat dengan cara seperti itu, maka
singgungan sang pendeta muda tadi sebenarnya tidak lain adalah sebuah gerak
kebangkitan pemikiran filosofis Feuerbach itu. Dia yang sebenarnya sudah
menjadi usang karena ditelan waktu dan sejarah, justru seperti diangkat dan
dibangkitkan kembali oleh wacana-wacana varian masa kini yang mungkin tidak
sadar akan sejarah pemikiran filosofis dan teologis yang sudah mengajarkan
kesesatan-kesesatan seperti itu.
Perversi Dalam Sikap Politik
Trend
pemutar-balikkan teks-teks kitab suci sebagaimana yang dibuat oleh Feuerbach di
atas tadi, di dalam sejarah pemikiran manusia, khususnya dalam dunia politik,
sebenarnya sering juga muncul dan mencuat ke permukaan panggung sejarah
kehidupan perpolitikan umat manusia. Salah satu contoh yang terkenal ialah teks
yang sangat terkenal di dalam kitab Kejadian terkait dengan misteri penyatuan
manusia, pria dan wanita, atas kehendak dan rencana Allah di dalam relasi dan
hidup perkawinan. Di sana, dalam kitab Kejadian dikatakan bahwa setelah Eva (dengan
sengaja saya tulis Eva dan bukan Hawa) muncul di hadapan Adam, Adam merasa
seperti langsung mengenalnya, entah bagaimana caranya dan entah sejak kapan “pengenalan”
itu sudah terjadi.
Oleh karena itu,
ia pun meluap di dalam sebuah kegirangan mistikal dan berkata, ini adalah
tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Kemudian mereka pun
bersatu dan disatukan di dalam satu ikatan relasi hidup perkawinan. Dan peristiwa
penyatuan personal menjadi communion of persons itu dipuncaki dengan
sebuah wacana sakramentalistik, yaitu “apa yang sudah dipersatukan Allah,
janganlah diceraikan manusia.”
Para pemikir politik di belahan dunia yang mempraktekkan
rasisme dan rasialisme, memakai teks itu dengan cara membalikkan ucapan atau
wacana sakramentalistik di atas tadi. Khususnya dalam konteks praksis politik
apartheid, yang dengan jelas membedakan antara kelompok manusia kulit hitam dan
manusia kulit putih, hal ini menjadi sangat kentara. Fakta bahwa ada yang hitam
dan ada yang putih, itu dikatakan sebagai sebuah kehendak dan rencana dan bahkan
penetapan Allah sendiri. Itu adalah sebuah fakta pemisahan, sebuah pembedaan
yang dikehendaki dan ditetapkan secara Ilahi.
Oleh karena itu, para pendukung praksis politik apartheid
pun mulai berkata, dengan membalikkan kalimat agung perkawinan di atas tadi, “apa
yang sudah dipisahkan atau diceraikan Allah, yaitu fakta bawah manusia itu ada
yang hitam dan ada yang putih, janganlah disatukan (dipersatukan) manusia”
dalam sebuah eksperimen tata hidup politik yang disebut demokrasi itu. Upaya
pembalikan teks-teks biblis seperti ini tidak lain adalah sebuah Upaya politik
yang sangat sadar yang dimaksudkan untuk melestarikan atau melanggengkan sebuah
struktur apartheid, struktur dan pemikiran rasis dan rasialis, yang membedakan
manusia berdasarkan warna kulit tentu dengan tendensi yang sangat peyoratif
terhadap kaum yang berkulit hitam.
Jejak-jejak Perversi di Amerika Latin
Sejak beberapa tahun belakangan ini, saya mendapat tugas
mengajarkan teologi-teologi pembebasan di Amerika Latin. Dalam kerangka itu saya mendalami Sejarah
kolonialisme dan imperialisme Spanyol dan Portugis di sana. Dan saya mendapati
fakta bahwa para penjajah Spanyol dan Portugis itu mempraktekkan sikap dan
pandangan yang sangat rasis dan rasialis terhadap penduduk pribumi di benua
Amerika Selatan itu. Misalnya, mereka dengan sangat gencar menangkap
orang-orang pribumi itu untuk dijadikan budak, dan bahkan dijadikan sebagai
komoditas dagang di pasar-pasar budak yang sangat merebak pada masa itu,
sebagaimana yang juga terjadi dan menimpa orang-orang kulit hitam dari Afrika
Sub-Sahara.
Untuk membenarkan
praksis yang jahat itu, mereka membenarkan diri, kiranya untuk mengurangi rasa
bersalah, dengan menganut sebuah pandangan bahwa orang-orang pribumi itu “bukanlah”
manusia, atau masih berada dalam proses berkembang menjadi manusia. Oleh karena
itu adalah sah-sah saja jika mereka itu bisa dan boleh ditangkap untuk
dijadikan budak dan diperdagangkan sebagai komoditas dagang. Pandangan atau
anggapan seperti itu akan dapat kita rasakan jika kita menonton ucapan beberapa
tokoh kolonialis Portugis di dalam Film The Mission yang terkenal dan fenomenal
itu (Martin Scorsese).
Saya juga harus segera
menambahkan bahwa sikap dan tendensi kolonialis dan imperialis seperti itu,
bukannya tidak mendapat perlawanan dari dalam tubuh hirarki gereja dan para
teolog Spanyol dan Portugis itu sendiri. Para teolog besar Spanyol (Francisco Suarez,
Melchior Cano, Bartolomeo de Las Casas, Ripalda, dll), sudah menyuarakan fakta
bahwa orang-orang pribumi di Amerika Latin itu adalah manusia, sama seperti
para penjajah itu, dan itu berarti mereka juga diciptakan Allah menurut gambar
dan rupa sang pencipta itu sendiri. Tetapi suara kenabian para teolog biasanya
adalah suara minor yang gampang dibungkam, baik dengan kekuatan militer maupun
pelbagai macam daya kekuatan yang lainnya.
The New Heretics?
Kembali ke
cuplikan video di awal tadi. Akhirnya saya berpikir dan bertanya, mengapa pada
akhir-akhir ini pendeta muda itu berbicara seperti itu? Mungkin karena memang
ada tanda-tanda dan gejala-gejala munculnya kembali sebentuk ateisme baru di
dalam sementara kalangan orang-orang Kristiani di dunia modern, khususnya di
Amerika serikat sana yang antara lain muncul di dalam pemikiran Rebekka King,
yang akhir-akhir ini heboh dengan bukunya The New Heretics itu (Kaum
Bidaah Baru). Judul kecilnya juga menentukan arah orientasi
pemikiran dasar buku itu: Skepticism, Secularism, and Progressive
Christianity (Skeptisisme, Sekularisme, dan Kristianitas Progresif).
Entah apa pula yang dipikirkannya. Entah mengapa ia
mengambil judul yang sangat provokatif itu, The New Heretics. Entah
siapa pula yang dicapnya dengan cap the new heretics itu. Mungkin tidak
lain adalah kecenderungan pemikiran yang nyeleneh ala Feuerbach tadi,
atau ala pendukung pemikiran apartheid (rasis, rasialis) dalam dunia politik.
Saya memang belum membaca buku itu. Saya sedang membacanya dan baru selesai
membaca bagian introduction-nya. Mungkin ia mau omong tentang fenomena ateisme
baru yang terselubung dalam bungkusan agama sipil, agama yang dihayati sebagai
sebuah kultur saja. Tidak lebih.
Orang bisa ke gereja, sebagai sebuah rutinitas kultur,
tetapi hal itu tidak sama sekali menjamin bahwa orang itu percaya kepada Tuhan.
Ia ke gereja, bukan karena percaya akan Tuhan, melainkan karena begitulah
tuntutan rutinitas kultur agama sipil (civil religion) dalam mana ia
hidup dan berada. Orang ke gereja hanya untuk menemukan sebuah place and
space di mana orang bisa bergabung tanpa harus percaya, belonging
without believing, menurut istilah yang sering mereka pakai (Rebekka King,
p.2). Ah sebuah tragedy hidup iman yang baru. Entah apa obatnya. Entah kapan
bisa mendapatkan obatnya. Tetapi saya sangat yakin, Tuhan sendiri yang akan
mengobatinya. Pada waktunya dan dengan cara-cara-Nya sendiri pula.
![]() |
Gambar: dari Google Search |
Komentar
Posting Komentar