PATUNG YESUS KRISTUS DI BUKIT SEBEABEA, DANAU TOBA

Oleh: Fransiskus Borgias

                                                Keterangan sumber gambar: Google Search. 

Pengantar Singkat 

Sejak dua atau tiga tahun belakangan ini, danau Toba yang sangat terkenal keindahannya itu, menjadi semakin terkenal lagi dan semakin menarik perhatian para wisatawan domestic maupun mancanegara, karena hadirnya Patung Yesus yang sangat tinggi di Bukit Sibea-bea. Konon saat ini, itulah Patung Yesus yang tertinggi di dunia (yang tingginya mencapai 61 Meter). Luar biasa. Sungguh. Jadi, patung Sibeabea itu jauh melampaui tingginya Patung Kristus Raja yang terkenal di Brazil itu (yang tingginya hanya 30 meter saja). Patung Yesus di tanah Toraja sana, hanya mencapai 40 meter saja. Sedangkan Patung Yesus di Manado hanya 34 meter saja (ditambah dengan tinggi tiang penopang 20 meter). Total 54 Meter. 

Oh ya, saya sendiri, hingga saat ini belum sempat lagi berkunjung ke Danau Toba, setelah sebelumnya saya sudah pernah dua kali datang berkunjung ke sana yaitu pada tahun 2007 dan 2008. Jadi, jauh sebelum Patung Yesus Sibeabea itu ada. Pada tahun 2007 saya hanya mengunjungi danau itu dari sebuah tepian dari daratan Sumatera saja (dari arah Parapat). Sedangkan pada tahun 2008 saya mengunjungi danau itu dengan menyeberang dan menginap beberapa hari di pulau Samosir karena mengikuti sebuah simposium nasional di sana dengan host Seminari Tinggi Pematang Siantar. 

Beberapa minggu yang lalu, saya membaca sebuah catatan dari bapak Yudi Latif tentang Patung itu. Catatan itu saya peroleh karena bapak YL memuat catatan itu dalam sebuah WAG yang saya ikuti bersama dengan beliau. Saya masih ingat beberapa hal yang penting dan menarik dari dalam catatan beliau. Pertama, dari catatan itu akhirnya saya tahu bahwa ide pemberdirian Patung Yesus itu ternyata bukan sebuah ide baru yang baru muncul kemarin sore. 

Konon ide besar itu sudah pernah diusulkan sejak jaman Orde Baru, dan diusulkan oleh Menteri Pariwisata jaman itu, Bapak Yoop Ave. Kurang lebih ia mengusulkan agar Patung Yesus didirikan di salah satu tempat di Danau Toba (di Pulau Samosir) sebab, demikian pandangan dan keyakinan beliau, kehadiran Patung itu nanti akan bisa menambah daya tarik danau Toba itu sebagai salah satu ikon Pariwisata Indonesia, khususnya Sumatera Utara tentunya. 

                                                   Keterangan gambar: Dari Google Search 


Mewujudkan Impian Yoop Ave 

Konon usul Bapa Yoop Ave itu tetap diingat dan disimpan baik-baik oleh dua insinyur muda Bapak, tamatan dari Bandung (salah satunya dari ITB); tetapi saya lupa nama kedua insinyur tersebut (nanti masih bisa dicek lagi di artikel Bapak YL). Setelah keduanya pensiun dan hidup mereka sudah mapan, dan keduanya pulang kampung di sana, kedua insinyur itu pun mulai mewujudkan ide dan rencana besar itu. Bapa YL menulis bahwa mereka mulai dengan perlahan-lahan dan secara bertahap. 

Kebetulan di salah satu bagian pinggir danau Toba (masih di daratan utama pulau Sumetera) ada bukit dan kebetulan juga tidak ada marga yang mengklaimnya sebagai miliknya (sebagai tanah ulayat misalnya). Jadi, itu sebuah daerah “tanpa tuan”. Karena itu tidak dibutuhkan dana untuk pembebasan lahan. Dan mereka pun mulai bekerja dengan mengetuk tanah untuk membuka jalan. Mereka memakai alat berat, ekskavator. Jalan pun lalu terbentuk, terbangun sampai ke puncak bukit. Lalu puncak bukit itu diratakan untuk dapat dijadikan landasan dasar tempat berdirinya patung itu. Singkat cerita, akhirnya patung itu pun jadi berdiri megah, kokoh, indah dan gagah perkasa di sana. 

Kemudian bapak YL juga mencatat bahwa kedua insinyur Batak itu, yang mewujudkan ide besar Bapak Yoop Ave tadi, salah satunya berlatar belakang Katolik, dan satunya lagi berlatar belakang Protestan. Jadi, keduanya berbeda visi teologisnya tentang hal-hal seperti itu. Yang Katolik, oke-oke saja dengan patung. Sedangkan si Protestan, rada-rada ikonoklastic-mentality gitu, cenderung ke arah tidak suka atau anti patung. Tetapi lagi-lagi, masih kata Bapak YL, tegangan teologis itu bisa dikompromikan, bisa dicarikan jalan keluarnya. 

“Patung” itu, kalau dari jauh, apalagi di sore hari, menjelang rembang petang datang menjelang, akan tampak samar-samar seperti sebuah siluet dan dalam keadaan seperti itu ia tampak seperti sebuah salib biasa saja, tentu sebuah salib berukuran raksasa. Jika pengamatan Bapak YL ini benar, tentu saja ini sungguh sebuah ide cemerlang, ide amalgemasi teologis yang luar biasa. Patung eksplisit, memuaskan di Batak Katolik, sedangkan tampakan sebagai siluet salib raksasa di rembang petang datang menjelang, memuaskan si Batak Protestan itu. 

Oh ya, terus terang saja, saya sendiri belum sempat bisa mengkonfirmasi tentang kebenaran dari pengamatan itu. Moga-moga saja catatan Bapak YL itu benar adanya. Tetapi di sini saya andaikan catatan itu benar adanya. Dan karena itu, saya beranggapan bahwa itu adalah benar-benar sebuah fusion of horizons, peleburan cakrawala, meminjam istilah dari Filsafat Hans Georg Gadamer; horizon teologis Katolik yang oke dengan patung, dan horizon Protestan yang anti patung atau alergi patung, “didamaikan”, disinergikan di dalam harmoni tampilan fisik sebuah patung. Sungguh luar biasa di pematung itu dan si penemu ide cemerlang itu. 

                                        Keterangan Gambar: Sumber dari Google Search 


Beberapa Catatan Kritis Teologis Personal 

Tetapi lepas dari kecemerlangan ide itu, saya mempunyai catatan kritis teologis. Begini. Biasanya, popularitas dan daya Tarik sebuah ikon wisata religius, di dalam tradisi Katolik, harus ditopang oleh hidup devosional umat yang hidup di sekitar patung tersebut. Jika hidup devosional mereka subur dan kuat, maka Patung itu akan bisa menarik banyak orang (wisatawan) ke sana, walaupun tidak otomatis begitu juga, sebab ada factor lain yang menjadi penentu (sebut saja misalnya, seperti dalam kasus Gua Maria Ziarah Kanada itu, di Rangkasbitung itu). 

Pada umumnya tempat-tempat ziarah seperti Gua Maria Sendangsono, dihidupkan oleh penghayatan devosional marianis umat di sana. Begitu juga halnya dengan Puh Sarang di Kediri, atau dengan Gua Maria Kerep Ambarawa, Sendang Sriningsih, Sendang Jatiningsih, Ganjuran. Atau Maria Velangkani di Medan sana, dan gua-gua Maria yang banyak tersebar di beberapa titik di daerah Flores dan NTT pada umumnya. Semuanya ditopang oleh hidup devosional orang-orang Katolik yang ada dan hidup di sekitarnya. 

Menarik juga bahwa hidup devosional umat di sekitar, memang ada kaitan devosionalitas dengan eksistensi patung tersebut. Devosi marial umat, terkait dengan patung Bunda Maria. Devosi Marial Bunda Berduka, terkait dengan patung Bunda berduka misalnya (Maria Mater Dolorosa). Begitu juga halnya dengan pelbagai macam devosi-devosi lainnya. Jika devosi umat itu adalah hati kudus Yesus, maka patungnya pun haruslah patung hati kudus Yesus (Sanctissima Cordis Iesu Christi). Atau jika devosi umatnya ialah Kristus Raja, maka Patungnya pun Patung Kristus Raja semesta alam. 

Saya melihat, tetapi bukannya meragukan devosionalitas umat Katolik di sekitar danau Toba dan di Pulau Samosir sana, bahwa Patung Yesus Kristus di Bukit Sibeabea itu tidaklah terkait dengan salah satu aspek devosi Kristologis di atas tadi. Jika pengamatan saya ini benar (bisa juga salah), maka eksistensi patung itu tidak ditopang oleh hidup devosi jemaat di sekitar. Apalagi jika Patung itu adalah hasil kompromi teologis Katoprot (sebuah singkatan dari Katolik-Protestan, yang saya temukan dalam salah satu artikel teologis yang melukiskan fenomena yang sangat lazim di Amerika Serikat sana, sejak tahun 80an paling tidak hingga tahun 2000an). Syukur jika eksistensi patung itu memang ditopang oleh hidup devosional umat Katolik di pinggir danau Toba di Sumetera mainland, maupun terutama di Pulau Samosirnya. 
                                                Keterangan Gambar: Dari Google Search 


Beberapa Peluang Pengembangan 

Kalaupun toh aspek devosional itu tidak ada atau tidak terlalu kuat, saya toh masih bisa melihat peluangnya untuk bisa terus hidup. Mana saja peluang untuk bersikap optimistik itu? Pertama, jika dilihat dari posisi tangan Patung Yesus yang terentang lebar-lebar itu, maka jelas itu adalah simbol dari sikap Raja alam semesta, simbol pemerintahan dan kuasa atas alam: Christus vincit, Christus regnat, Christus imperat. Posisi tangan yang merentang lebar itu bisa dipandang dengan cara seperti itu dan dari sana bisa dihidupkan dan dikembangkan devosi dan kepercayaan akan Kristus, sang Raja alam semesta, yang dipercaya akan datang lagi kelak di akhir jaman di atas awan-awan. Apalagi jika tanggal hari raya itu dibuatkan pestanya di kaki patung itu. Dalam penanggalan liturgi gereja Katolik, Hari Raya itu dirayakan pada hari Minggu terakhir sebelum minggu pertama Adven (yang dipandang sebagai tahun baru liturgis). 

Kedua, jika devosi dan kepercayaan ini dihidupkan dan dikuatkan dalam hidup umat di sekitar Patung maupun umat Katolik se keuskupan Agung Medan, maka bisa diharapkan bahwa keberadaan patung itu akan terus eksist dan lestari sebagai daerah tujuan wisata rohani devosional Katolik. Cara menghidupkannya tidak lain dengan cara yang sudah saya sebutkan di akhir usul pertama itu. Hari Minggu terakhir menjelang Adven dijadikan sebagai fokus perayaan teologis devosional Kristus Raja Semesta Alam. Hari Raya itu akan semakin menjadi berurat berakar, jika hari raya itu secara kuat dikaitkan dengan Hari Raya Semua orang Kudus (1 November) dan terutama Peringatan Segala Orang Kudus yang bisa dikaitkan dengan ritual asli penghormatan kepada leluhur (ancestor veneration rituals, yang banyak dihayati oleh orang-orang Batak walaupun mereka sudah menganut agama-agama modern). 

Tatkala saya menuliskan catatan tentang fenomena praktik ancestor veneration ini saya teringat akan hasil penelitian beberapa antropolog indonesianis di beberapa wilayah di Indonesia. Hasil penelitian mereka dikumpulkan dalam buku yang berjudul The Potent Death. Pada dasarnya buku itu berbicara tentang daya pengaruh (potent) orang-orang yang sudah mati (death), khususnya para leluhur yang Istimewa, terhadap cara orang-orang yang masih hidup (anak cucu, kaum keturunan) memperlakukan mereka dalam bentuk ritual-ritual rutin maupun cara pemakaman. Dan salah satu field research mereka ialah tentang fenomena pendirian tugu-tugu di kalangan keluarga Batak terutama yang Kristiani (Katolik maupun Protestan). 

Tentu saja, ketiga, dukungan pemerintah harus ada juga. Dalam hal ini dinas pariwisata. Dukungan ini amat perlu agar Daerah Tujuan Wisata rohani itu mendapat promosi yang kaut dengan disertai perawatan dan pemeliharaan yang rutin dengan gelontoran dana yang memadai dan terutama sekali juga proteksi dari ancaman kaum intoleran anti-patung, alergi-patung, seperti yang sudah pernah terjadi di beberapa tempat di tanah Jawa, dan terutama yang terkenal di Afganistan itu, di mana Patung Buddha Bamiyan yang maha terkenal itu dihancurkan pada bulan Maret 2001 dan tidak ada satu pun lembaga dunia (seperti PBB melalui UNESCO misalnya) yang bisa mencegahnya. 

Di sini saya teringat bagaimana pada tahun 1986an candi Borobudur pun pernah dibom oleh orang-orang yang sepertinya tidak suka akan adanya jejak peradaban lain di Nusantara ini selain jejak-jejak mereka sendiri yang sebenarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan jejak-jejak peradaban Hindu dan Buddha (sebagaimana tampak dalam dua kerajaan Maritim Raksasa Nusantara, Sriwijaya dan Majapahit itu). 


Diberkati Bapa Suci Fransiskus di Jakarta 

Pada awal bulan September 2024 yang baru lalu, Paus Fransiskus melakukan perjalanan dan kunjungan apostolik ke beberapa negara di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Selatan. Salah satu negara yang pertama disinggahinya dalam perjalanan itu ialah Indonesia. Tema pokok perjalanan beliau di Indonesia ialah FFC yang merupakan singkatan dari Faith Fraternity Compassion (yang biasanya diterjemahkan menjadi Iman, Persaudaraan, Belarasa). 

Konon salah satu agenda yang secara resmi dijadwalkan untuk kunjungan Paus Ke Indonesia (khususnya ke Jakarta, karena hanya di Jakarta saja) ialah meresmikan dan memberkati Patung Kristus di Bukit Sibeabea Danau Toba. Tetapi karena Bapa Suci tidak mungkin mengadakan perjalanan yang jauh ke sana, maka miniatur Patung itupun dibawa ke Jakarta (sepertinya diberkati dalam salah satu kesempatan di sela-sela kunjungan Bapa suci) untuk diberkati. 

Pada saat pemberkatan itu dilakukan, beberapa tokoh dari sekitar Danau Toba dan Samosir, kiranya termasuk kedua tokoh yang sudah disinggung di awal tadi, tampak datang menghadap Bapa Suci untuk memohon berkat beliau baik untuk mereka sendiri maupun untuk miniatur Patung tersebut. Tentu diharapkan agar berkat Sri Paus itu juga ikut serta membawa daya kekuatan tertentu untuk membuat Patung itu bisa bermanfaat bagi masyarakat. 


Catatan Penutup 

Tetapi dari ketiga poin yang sudah saya kemukakan di atas tadi, saya tetap menekankan dan memprioritaskan arti penting dari poin yang pertama. Yaitu hidupkan dan suburkan devosi umat, dan jika hal itu sudah dilakukan maka Patung itu akan selamat, Lestari dan juga bermanfaat untuk dunia Pariwisata Danau Toba/t. 

Tentu saya masih mau menambahkan sebuah aspek lagi di sini. Yaitu tentang aspek yang saya sebut aspek “mukjizat”. Tentu danau Toba itu sendiri sudah merupakan sebuah mukjizat alam yang sangat luar biasa. Danau Toba itu adalah “Kepingan Surga” katanya, yang jatuh ke bumi ini. Walaupun begitu, tetap perlu memikirkan sebuah mukjizat yang lain. Apakah pertumbuhan iman Kristiani yang cukup pesat di sekitar daerah itu bisa dipandang sebagai sebuah mukjizat juga. 

Di sini saya teringat akan sebuah pengalaman live in yang pernah saya alami dalam rangka kuliah lapangan teologi Ekaristi di Fakultas Teologi Kentungan Yogyakarta. Saat itu saya live in di Paroki Klepu dan saya ditempatkan di lingkungan yang ada gua Marianya. Saat itu gua Maria itu masih cukup baru. Saya bertanya kepada para pemuka lingkungan di sana: biasanya gua Maria didirikan untuk menunjukkan bahwa di tempat itu ada atau sudah terjadi mukjizat. Misalnya, Sendangsono didirikan Gua Maria karena di situ terjadi baptisan massal pada awal abad duapuluh oleh seorang misionaris Yesuit. 

Terhadap pertanyaan itu sang ketua lingkungan menjawab saya dengan cukup percara diri: Di sini juga (maksudnya di lingkungan mereka) ada dan sudah terjadi mukjizat yaitu bahwa dalam waktu yang relative singkat ada banyak warga kampung di sekitar yang dibaptis menjadi Katolik. Bagi kami itu juga adalah sebuah mukjizat agung. Saya tidak bisa lagi bertanya lebih lanjut. 

Dan akan halnya Toba dan Samosir dan sekitarnya? Adakah mukjizat? Menurut saya, ya ada mukjizat juga. Bagi saya Toba dan Samosir itu mengagumkan, karena sudah ada banyak orang yang menjadi Kristiani khususnya Katolik di sana. Bahkan sudah ada banyak panggilan menjadi imam dan biarawan-biarawati dari sana. Bahkan salah satu dari imam itu sudah ada yang menjadi uskup, yaitu Mgr. Martinus Dogma Situmorang, dan kiranya juga Mgr.Anicetus B. Sinaga, OFM.Cap. Luar biasa. Belum lagi sekian banyak para imam (dan juga pendeta) dan para suster biarawati dan biarawan lainnya. 

Dan perlu kiranya diketahui bahwa di dalam sejarah Gereja Katolik, di mana di suatu daerah sudah tumbuh benih panggilan khusus untuk hidup imamat dan hidup membiara (religius dan klerus), itu adalah pertanda sebuah pertanda yang pasti dan jelas bahwa iman Kristiani sudah berurat dan berakar di sana. Sebab panggilan khusus itu hanya bisa bertumbuh dan berkembang di daerah yang iman Kekristenannya sudah kuat dan berurat-berakar. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO