PERAYAAN PADA SORE-MALAM KAMIS PUTIH

Sebuah Catatan Kecil 

Oleh: Fransiskus Borgias. 


Hari ini, tanggal  6 April 2023, kita memasuki hari Kamis Putih. Kita akan merayakannya dengan segera. Terkait dengan perayaan ini, saya perlu ingatkan satu hal. Yatiu bahwa satu hari baru besok hari, biasanya sudah mulai dihitung dan dirayakan pada sore menjelang malam hari sebelumnya. Gagasan itu ada dalam tradisi Yudaisme dan juga pada masa Kekristenann kuno. Tidak hanya pada Kekristenan kuno saja. Bahkan di dalam liturgi Kristiani dewasa ini pun masih tetap demikian adanya. Yaitu perayaan hari raya dan hari Minggu sudah dimulai pada ibadat sore di hari sebelumnya. Kongkretnya, Hari Raya Minggu sudah mulai dirayakan dalam ibadat Sabtu sore dalam apa yang dikenal dengan sebutan Ibadat I. Ibadat keduanya ialah pada harrri Minggu sore di hari esoknya. 

Dengan cara berpikir seperti itu maka sore atau malam Kamis Putih bisa juga dipandang sebagai bagian dari Jumat agung. Karena itu, sore hari Kamis itu sudah dihitung sebagai hari pertama dari triduum (harfiah, tiga hari). Penyanndingan ini bisa dibenarkan dan juga bermakna dalam hal isinya. Mengapa demikian? Karena sejak peristiwa Perjamuan Akhir Yesus secara sakramental sudah mengantisipasi penyerahan-diri yang akan terlaksana dalam kurban kematianNya di kayu salib. Acara pembasuhan kaki pada sore-malam Kamis Putih juga merupakan sebeuah tanda lain yang jelas akan cintaNya yang penuh penegorbanan-diri untuk melayani sesamaNya. Lebih jauh seengsaraNya di Taman Zaitun (Getsemani), pengkhianatanNya oleh para musuhNya, dan peristiwa peneangkapanNya menandai permulaan yang sangat nyata dai sengsaraNya. 

Liturgi dari sore-malam Kamis Putih terutama skali merupakan satu peringatan akan Perjamuan Terakhir dari Yesus. Dan ada juga satu peristiwa yang lain, yaitu penetapan ekaristi, dan juga acara pembasuhan kaki para murid. Hal itu sendiri melambangkan aspek pelayanan dari cinta kasihNya. Seluruh jemaat harus ikut ambil bagian di dalam Perayaan Ekaristi sore atau malam ini. Biasanya, tidak ada misa lain lagi yang dirayakan hari itu, keecuali untuk Misa Krisma (pembeerkatan minyak, misa pembaharuan janji parra imam) di pagi hari. (Dewasa ini, misa pembaharuan janji ini dilaksanakan pada hari atau dua hari sebelumnya agar bisa melibatkan banyak imam). 

Antifon pembuka memberei gambaran bagi temea secara keseluruhan dari seluruh Triduum Paskah itu. Antifon itu sendiri diambil dari teks Gal 6:14 (tentang hal berebangga akan salib). Selengkapnya teks itu berbunyi demikian: "Kita harus berbangga akan salib Tuhan kita Yesus Kristus, seeebab Dialah keselamatan kita, hidup kita dan kebangkitan kita; melalui Dia kita diselamatkan dan dibebaskan." Dengan kata-kata ini, seluruh cakupan pandangan dari misteri paskah diungkapkan, karena sukacita dan kegirangan karena keebangkitan dan penebusan bergema bahkan di dalam derita dari penyaliban itu sendiri. 

Menurut keeteeetapan rubrik, selama Gloria dinyanyikan dengan meriah, lonceng-lonceng Gereja dibunyikan dan sesudah itu tidak lagi dibunyikan sampai Malam Paskah. Tetapi hal itu bisa saja disesuaikan menurut ketetapan konferensi wali gereja ataupun ketetapan sang ordinaris wilayah. Praktek heningnya lonceng gereja ini pada saat triduum Paskah adalah sebuah praktek yang paling tidak sudah dimulai pada jaman Karoling di Eropa. Tetapi apa makna dari keheningann itu? Ada orang yang melihat di dalam fakta keheningan itu, misalnya Amalarius dari Metz (wafat sekira 850), suatu tanda kerendahan hati yang meniru Tuhan di dalam kerendahan dan kedinaannyaNya; menurut pandangan si Amalarius ini, bunyi-bunyian yang terbuat dari kayu (clappers, kotretan; dalam bahasa Latin disebut crepitacula dan tabulaee) dianggap lebih cocok dibandingkan dengan lonceng-lonceng untuk mengungkapkan, selama hari-hari terakhir dari Pekan Suci, peristiwa penghampaan-diri yang dina dari Tuhan. Masih ada juga pendapat dari penulis yang lain yang kurang lebih mengatakan, "heningnya lonceng-lonceng dan pemakaian alat pengganti bunyi dari kayu di tempat mereka merupakan sisa-sisa dari masa-masa ketika lonceng-lonceng masih belum dikenal pemakaiannya di dalam Gereja." 

Selama kurun waktu yang sama ini pula, gereja-gereja di banyak tempat tidak lagi memakai tidak hanya lonceng-lonceng melainkan juga organ (alat musik), yang sejak akhir dari Abad Pertengahan semakin sering dipakai sebagai alat bagi musik liturgi. Alasan-alasan untuk praktek meniadakan bunyi-bunyi ini boleh jadi mempunyai alasan-alasan yang kurang lebih sama. Memang ada juga yang memberi penjelasan menarik berikut ini. Kedua alat ini (lonceng, bunyi dari logam, maupun bunyi dari kayu-karu) adalah alat yang dipakai di dalam pesta atau perayaan. Jika sekarang keduanya tidak dipakai, maka orang menyebutnya, "puasa telinga". Jadi telinga dipuasakan dari bunyi-bunyi yang menarik baginya. Dalam hal ini yang puasa tidak hanya perut, melainkan juga telinga. 

Istilah "puasa telinga" ini sebenarnya kurang lebih sejajar juga dengan istilah "puasa mata". Nah puasa mata ini pun dilakukan menjelang memasuki Pekan Suci ini. "Puasa mata" ini diungkapkan dengan peeenyeelubungan salib-salib, patung-patung dan gambar-gambar selama masa sengsara. Jika pada masa-masa biasa kita terbiasa memandang salib-salib, maka sekarang, selama pekan sengsara, mata kita berpuasa, yaitu "tidak lagi memandangnya." 

Tetapi perlu dicatat dan diingat bahwa baik Missale Romanum yang lama maupun yang baru tidak menyinggung apa pun terkait organ (entah dilarang maupun tidak dilarang). Hal ini hanya disinggung dalam sebuah dekrti dari Kongregasi Ritus. Bersambung

Disadur dengan sangat bebas dari, hlm.64-66. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO