SAYA BERLANGGANAN "KETUKAN"
![]() |
Gambar: dari Google Search |
Oleh: Fransiskus Borgias
Pengantar
Sekira bulan September 2023 yang silam, dalam sebuah WAG yang
saya ikuti, ada seorang teman yang menyuguhkan sebuah refleksi yang sangat
menarik. Cerita singkatnya kira-kira demikian: Ada seorang bapa tua yang
tinggal seorang diri di sebuah kota. Ia tinggal sendirian karena ia sudah
ditinggal mati oleh isterinya. Sedangkan anak-anaknya sudah tinggal jauh
darinya bahkan ada dari mereka (anak-anaknya itu) yang tinggal di luar negeri. Selama
ini, Bapa tua ini berlangganan sebuah koran. Sementara itu ada seorang pria
yang baru saja mengalami PHK dari kantornya yang lama. Untuk menyambung hidup,
ia melakukan pekerjaan sebagai looper koran.
Pada suatu hari ia
tiba ke rumah bapa tua itu, yang memang salah satu pelanggannya. Tetapi bapa
tua itu justru sudah menutup lubang kotak posnya sehingga koran tidak bisa
dimasukkan ke dalam kotak itu. Oleh karena itu si Looper koran pun harus
mengetuk pintu rumah bapa tua tadi agar dia keluar. “Jadi bapa ini yang berlangganan
koran ini?” Tanya si Looper koran itu. “Tetapi mengapa bapak menutup lobang
kotak posnya?” Tanya si looper koran itu lagi. “Tidak.” Kata si bapa tua itu. “Saya
tidak melanggan koran. Melainkan, saya melanggan ‘ketukan’.”
Tentu jawaban itu
membuat si tukang koran menjadi bingung juga tercampur rasa terharu. Begini,
kata bapa tua itu. “Saya ini sudah tua. Ketika anda ke sini, anda harus
mengetuk pintu saya. Saya tidak keberatan untuk memberi bayaran tambahan
untuk tugas itu. Bila saya keluar menjawab ketukan anda, berarti saya masih
hidup. Jika pada suatu hari, saya tidak keluar, maka segeralah telepon polisi.
Bersamaan dengan itu, bapa itu serahkan sebuah kartu yang berisi nomor telepon
anak-anaknya di luar negeri. Dan tolong juga mengontak anak-anak saya ini,
beritahu mereka, bahwa aku sudah mati.” Begitulah versi singkat cerita itu.
Percikan-percikan Kesepian
Setelah membaca cerita itu saya ucapkan terima kasih banyak
kepada Keraeng Ben Vinsen Jeharu yang sudah mengirim cerita yang sangat menarik
dan menyentuh perasaan ini. Hal yang paling saya rasakan di dalam baris
kata-kata cerita ini adalah rasa sunyi dan sepi yang dialami si Bapa tua yang
tinggal sendirian itu di masa-masa dan hari-hari tuanya. Si penulis cerita di
atas tadi mengungkapkan realitas sunyi dan sepi itu dalam sebuah metafora yang
sangat langka dan indah: "Saya berlangganan ketukan." Dengan kata
lain, ia rindu kunjungan, ia rindu perjumpaan, ia rindu percakapan. Ia rindu
interaksi interpersonal.
Begitu dalamnya keadaan sunyi dan sepi itu, sampai si Bapa
tua itu mengapresiasi sangat tinggi harga sebuah kunjungan rutin, biar pun itu
hanya berupa ketukan saja. Ketukan itu bagi dia adalah sebuah pertanda bahwa
masih ada manusia, masih ada sesama yang menaruh peduli padanya. Masih ada
relasi, masih ada komunikasi. Masih ada drama dan dinamika perjumpaan antar
manusia. Memang, si bapa tua itu sendiri yang seperti "memaksakan"
datangnya kunjungan ketukan itu, karena ia menutup lobang kotak posnya. Tetapi
bagi saya itu adalah sebuah kreatifitas yang terlahir dari sebuah kepahitan
rasa sunyi, sepi, dan sendiri.
Ketika membaca hal itu saya merasa sangat sedih karena
membayangkan beberapa hal. Pertama, saya membayangkan hidup yang sunyi si bapa
tua itu. Ia tinggal sebatang kara,
sudah ditinggal mati sang isteri tercinta. Sudah ditinggal pergi anak-anak
tercinta. Tercinta? Hemmmm.... mungkin... yang jelas saat ini si bapa tua itu
terlunta-lunta karena jauh dari cinta. Kedua, saya memuji kreatifitas si Bapa
tua, yang dari dalam jurang kesepian yang dalam, ia mampu melahirkan sebuah
metafora verbal yang indah, membangun sebuah relasi nyata, walaupun itu hanya
sebuah bunyi ketukan belaka. Tetapi bagi si bapa tua itu, sebuah bunyi ketukan
di dalam cengkeraman sunyi yang teramat panjang, means something, bahkan
means everything.
Ketiga, saya juga
membayangkan betapa hati si bapa tua itu berbunga-bunga dan berbinar-ria
tatkala mendengar bunyi ketukan itu. Saya juga membayangkan betapa
hatinya juga berbunga-bunga, ketika setiap pagi, menantikan detik-detik
terdengarnya bunyi ketukan itu. Lalu bunyi ketukan itu mengalami transformasi yanag
sangat penting. Ketukan itu tidak lagi hanya sekadar ketukan saja, melainkan
menjadi sebuah momen berharga. Dikatakan demikian, sebab si bapa tua itu mendengar
bunyi ketukan itu, ia menjadi merasa berharga, merasa dihargai, merasa dicinta
bahkan, juga di dalam himpitan sunyi dan sepi.
Aku Teringat Henri Nouwen
Ketika saya membaca hal itu pada bulan September itu, saya
tiba-tiba teringat sebuah catatan pengalaman kesunyian yang tiba-tiba datang
menimpa ke dalam diri seorang pastor yang bernama Henri Nouwen, si penulis
rohani yang amat terkenal itu. Saya membaca catatan pengalaman itu dalam sebuah
buku kecil yang ditulis oleh romo Nouwen itu, ketika ia mengiringi hari-hari
terakhir hidup ibunya di sebuah dusun kecil di sekitar Nijmegen. Saya sudah
pernah membaca buku itu pada pertengahan tahun 90an. Tetapi saya terdorong
membacanya lagi pada Agustus tahun 2000, karena pada saat itu saya akan
berangkat ke Nijmegen dan akan tinggal di sana selama dua tahun untuk studi
teologi di sana, almamaternya Pater Alex Lanur OFM, Pater Martin Harun OFM, dan
Pater Alfons Suhardi OFM (almarhum).
Saya pertama kali
membaca buku dalam versi bahasa Inggris. Dalam perjalanan penerbangan ke
Amsterdam, saya membaca versi terjemahannya. Saya lupa judul buku mungil itu,
kalau tidak salah, ya Requiem. Di dalam buku itu, dari awal hingga akhir, pater Nouwen melukiskan
pengalamannnya bertautan dengan maut, sunyi, sepi, cinta, dan misteri ti-ADA
lagi. Itu adalah sebuah buku yang sangat menarik. Buku sangat sederhana, tetapi
sangat mendalam.
Saya tidak akan
melukiskan semua aspek indah yang ada dalam buku itu. Saya hanya mau mengangkat
satu aspek saja yang sangat relevan terkait dengan postingan di atas tadi.
Setelah melewati perjuangan panjang dalam masa-masa perawatan di rumah sakit
Radboud, RS milik fakultas kedokteran Unika Nijmegen, akhirnya sang ibunda
tercinta meninggal dunia. Sang pastor tentu saja sangat sedih dengan pengalaman
itu.
Tetapi sang romo
Nouwen kemudian mengaku bahwa memang ia sedih karena ibunda wafat, tetapi yang
lebih membuat ia sedih ialah bahwa mulai saat ini, sang ayah akan tinggal
sendirian. Sang Romo kasihan kepada si ayahnya, karena menurut dia, si ayah
itulah yang paling tidak siap dengan keadaan ini. sang Romo sendiri merasa
bahwa, karena cara hidupnya yang selibat, sang Romo jauh lebih siap menghadapi
misteri kesendirian itu, dan mungkin kesunyian itu. Tetapi si ayah, ya, memang
ia sosok seorang ayah yang tangguh, sangat hebat, tetapi belum pernah terbukti,
bisa tangguh juga di dalam kesendirian, di dalam kesunyian setelah ditinggal
mati sang isteri tercinta.
Ketika membaca
hal itu, persis ketika pesawat yang membawaku ke Amsterdam terbang melintas di
atas wilayah Turki menjelang memasuki kawasan Eropa Timur, saya tiba-tiba
teringat akan ayahku sendiri, kesendirian dan kesunyian ayahku di kampung.
Empat tahun sebelum saya terbang ke Belanda, awal tahun 1996, ibu saya
meninggal dunia. Sejak itu ayahku tinggal sendirian. Sedih sekali
membayangkannya. Pater Nouwen sangat pandai, dengan rangkaian kata-katanya,
seperti mengulik-ulik rasa kita, sampai kita mau tidak mau mengakui bahwa
pengalaman itu sangat identik dengan pengalaman kita sendiri.
Membuka Pintu Dari Luar
Akhirnya,
pengalaman sunyi dan sepi itu, yang tadinya oleh pater Nouwen hanya dilukiskan
terkait dengan si ayah, tiba-tiba menimpa dirinya sendiri. Dan Nouwen
melukiskan momen personal itu dengan sangat indah. Ketika kedua lelaki itu, si
ayah, dan anaknya yang adalah seorang imam yang melayani di sebuah kota jauh di
Amerika sana, di New York, pulang dari upacara penguburan di sebuah penguburan
katolik di sekitar Nijmegen. Mereka berdua pulang ke rumah mereka di dusun yang
bernama Kuijck, mohon maaf jika saya salah menulisnya.
Begitu mereka
tiba di rumah, kedua pria ini kebingungan. Tidak pernah terpikirkan oleh mereka
sebelumnya, bahwa sejak detik kebingungan itu dan selanjutnya, pintu rumah itu
tidak akan pernah lagi dibuka dari dalam. Selama ini, ketika kedua lelaki itu
pulang dari luar rumah, atau si anak romo pulang dari New York, dan balik ke
rumah, maka pintu rumah itu akan dibuka dari dalam oleh sang ibu. Semuanya
otomatis begitu. Begitu pintu terbuka, mereka, ia akan disambut dengan pelukan
hangat, dan sapaan penuh kasih seorang ibu, seorang isteri (bagi ayahnya). Tentu
saja aroma masakan kesukaan dan kue-kue bikinan si ibu yang selalu bikin rindu.
Sekarang, hal itu
tidak mungkin lagi terjadi. Keteika menyadari hal itu pada detik-detik itu,
barulah Nouwen merasakan gigitan, pagutan sunyi itu, benar-benar menukik ke
dalam kesadarannya yang paling dalam. Ah pintu rumah itu, untuk pertama kalinya
harus dibuka dari luar, oleh orang yang mau masuk ke dalam. Padahal selama ini,
pintu rumah itu seperti otomatis dibuka dari dalam oleh sebuah cinta, oleh sebuah
penantian. Karena ada seorang ibu yang setia menunggu mereka pulang “kandang”. Sekarang
si penunggu kandang itu sudah pulang. Ya sudah pulang.
Pada detik itulah
si Nouwen menyadari dan merasakan sunyi dan sepi itu. Menggigit. Memagut. dan
pagutannya mengandung racun dan racun itu memperparah sebuah luka. Rasa sunyi
dan sedih itu semakin terasa oleh Nouwen, tatkala untuk pertama kalinya si ayah
tampak benar-benar bingung setelah tiba di pintu rumahnya sendiri. Ia seperti
tidak tahu harus berbuat apa, sebab selama ini, ia tidak pernah mengalami fakta
itu, pintu rumah masih tertutup, dan harus dibuka dari luar. Pada saat itulah,
dengan bingung si ayah meraba-raba semua sakunya untuk mencari kunci. Dalam
kecemasan, ia tidak segera bisa menemukan kunci itu. Peristiwa bingung tidak
mudah mendapat kunci yang dicari itu juga membuat si Nouwen bisa melihat
kepedihan sunyi si ayah.
Ketika anak kunci
itu ditemukan, ia masih juga bingung tatkala harus memasukkan anak kunci itu ke
dalam lubang kunci, sesuatu yang belum pernah ia lakukan selama ini. Semuanya
seperti menjebloskan si ayah tua itu ke dalam ruang sunyi. Dalam hati, si Nouwen
merasa kasihan dengan ayahnya, sebab sebagai pastor yang selibat, ia merasa
jauh lebih siap menghadapi kesendirian ini. Sang ayah sama sekali tidak siap. Ia
harus menjadi seorang novis untuk sebuah cara hidup baru, hidup sendirian,
selibat. Ia mengalami transformasi,
mutasi, dari terlibat ke selibat. Dan itu pasti berdampak sunyi, sepi, dan
bingung. Kiranya tidak ada lagi pengalaman kesunyian dan kesepian yang sedramatis
seperti itu. Jika selama ini ia selalu merayakan kebersamaan, keberduaan, maka
sejak sekarang si ayah harus menikmati kesendirian, dan kesunyian. Betap hal
itu tidak mudah.
Dormitory dan Kolese Unik di Heemraadstraat 6
Masih ada satu lagi hal yang terlintas dalam benak saya
terkait cerita itu. Tatkala saya belajar teologi di Nijmegen, saya tinggal di
sebuah international dormitory, semacam kolese yang dipimpin oleh seorang
profesor missiology, seorang imam dari serikat SSCC, Pater Rogier van Rossum
SSCC. Menarik sekali bahwa
dormitorium kolese kami itu terletak dalam sebuah kawasan yang sangat simbolis.
Jika kita jalan kaki dari arah kampus, maka di sebelah kanan dari dormitory
kami ada dua apartemen bagus, tetapi sangat sunyi dan sepi.
Belakangan saya
baru tahu bahwa dua apartemen itu adalah apartemen mewah, tempat tinggal para
lansia, ada yang tinggal sendirian, ada yang tinggal bersama; bersama itu
berpasangan suami isteri. bersama juga bisa berarti kakak beradik entah dua
wanita ataupun dua pria. Yang paling banyak saya lihat ialah pasangan
suami-isteri. Di akhir pekan, saya melihat mereka dikunjungi anak-anak mereka
dan ada yang sudah membawa serta cucu. Selebihnya, sepanjang pekan,
mereka sunyi.
Terkadang terdengar bunyi ambulans, datang ke sana. Semula
saya mengira itu untuk membawa orang sakit. Ternyata itu adalah ambulans untuk
orang mati. Petugas datang, dan mengurus pemakaman, dan selesailah sudah,
consumatum est. Begitulah hidup. Di sebelah kiri asrama kami ada sebuah TK dan
Playgroup. Jadi ada sebuah kontras. yang di sebelah kanan adalah masa silam
hidup, yang sebelah kiri adalah masa depan hidup. Lalu di seberang jalan ada
lapangan bola kaki dan perlintasan lapangan atletik, tempat atlet-atleet muda
berlatih dan beraksi. ADa juga
lapangan tenis, semuanya untuk orang muda.
Penutup: Sunyi Para Lansia
Asrama tempat kami
tinggal terletak di tengah-tengah. Dari jalan masuk, jika kita menengok ke
sebelah kiri, kita secara otomatis akan membayangkan masa silam. Saya katakan
“memandang masa silam” sebab masa itu sudah menjadi silam bagi kita. Itulah
masa kanak-kanak kita. Di sebelah kiri memang ada sebuah sekolah taman
kanak-kanak yang setiap hari di pagi hari terdengar sangat ramai. Tetapi jika
kita menengok ke sebelah kanan, anda membayangkan sunyi masa depan. Sebab di
sana ada sebuah apartemen mewah tempat tinggal para jompo. Ada yang berpasangan
sebagai suami dan isteri, tetapi ada yang tinggal sendirian (entah kakek-kakek
maupun nenek-nenek). Jadi, letak dormitory kami itu sangat simbolik... sekaligus
mengingat kita akan masa silam. Dan
juga mengarahkan pandangan kita ke masa depan.
Mungkin ada di antara
para lansia itu yang merindukan “melanggan sebuah ketukan”. Saya pernah ingin
mengunjungi mereka. Beberapa teman juga mendukung tatkala saya sharing dengan
mereka. Tetapi karena kendala bahasa, akhirnya niat kami itu tidak terwujud. Akhirnya
saya, dan kami semua membawa mereka di dalam doa-doa kami.
Komentar
Posting Komentar