AKU TERINGAT AKAN PATER CHRIST VERHAACK SJ

Salah satu buku karyanya... 


Sebuah Catatan Kenangan Akan Dia 


Oleh: Fransiskus Borgias

 

Pengantar Singkat

Hari ini, persisnya pada tanggal 14 Oktober 2024, secara tiba-tiba saja saya teringat akan Pater Christ Verhaack SJ. Ada beberapa hal menarik yang bisa ditulis tentang dia dalam rangka mengenangnya. Pertama sekali, ia adalah seorang imam Yesuit yang saleh dan cerdas dan juga rendah hati, termasuk salah satu imam yang rendah hati dalam Serikat Yesuit itu. Kedua, saya mengenalnya sebagai seorang dosen beberapa mata kuliah pada sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Antara lain ia mengampu mata kuliah Sejarah Gereja untuk kelas Angkatan saya dulu di STF Driyarkara Jakarta pada awal tahun 80an dulu. Ia juga mengampu mata kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.

Oh ya, ketiga, dia adalah seorang imam yang berasal dari negeri Belanda, walaupun saya tidak pernah tahu nama kota asalnya. Sebagai imam yang berasal dari Belanda, pater Verhaack, berbahasa Indonesia dengan baik. Hal itu tampak dalam komunikasi perkulihannya, maupupn juga di dalam koreksi-koreksi paper yang ia lakukan dalam rangka membimbing mahasiswa. Saya masih ingat, dalam rangka mata kuliah Reading Classic Texts of Philosophy, saya menulis paper tentang Santo Agustinus, di bawah bimbingannya. Koreksi Bahasa Indonesianya juga bagus.

 

Kuliah Boleh Tidur: Tidak Boleh Omong-omong

Sebelum saya menyampaikan informasi berikut ini, terlebih dahulu saya mohon maaf, karena ada kaitannya dengan fisik beliau. Sebenarnya orangnya masih menampakkan sisa-sisa badan tegap pada masa mudanya. Tetapi pada masa tuanya, beliau, maaf, berjalan agak pincang. Tetapi hal itu sama sekali tidak mengurangi semangat dia memberi kuliah, apalagi sampai mengurangi mutu perkuliahan yang ia ampu. Saya mendapat informasi (keterangan) bahwa penyebab kepincangan itu ialah karena ia mengidap semacam polio pada masa kecilnya. Ketika menginjak remaja dan pemuda dan dewasa, polio itu tidak menampakkan gejala.

Tetapi Ketika dia sudah cukup berumur, polio itu menampakkan diri lagi. Hal itulah yang menyebabkan dia menjadi pincang, karena salah satu tulang tungkainya mengkerut (semacam osteoporosis). Terkait dengan kondisi fisik itu, Pater Verhaack, yang pada dasarnya orangnya sangat baik dan sabar dalam mendengarkan mahasiswa, juga agak mudah tersinggung. Para senior dosen memberi penjelasan psikologis kepada kami. Katanya, dalam kondisi seperti itu, Pater Christ, selalu curiga terutama jika ada mahasiswa yang ribut dan berbicara di dalam kelas, sebab ia menganggap bahwa orang-orang yang ribut itu sedang membicarakan dia.

Oleh karena itu, salah satu poin pengantar awal perkuliahan, saya masih ingat, ia mengatakan bahwa di dalam kuliahnya, alias selama kamu berada dalam kelasnya, mahasiswa boleh ngantuk dan tidur, bahkan boleh sampai ngorok juga, tetapi sama sekali tidak boleh omong-omong dengan teman. Kalau mau omong, silahkan angkat tangan. Omong berarti mau bertanya, atau melontarkan bahan klarifikasi dan diskusi. Ngerumpi dengan teman, sama sekali tidak diperbolehkan. Kalau sampai ia sempat tahu ada mahasiswa yang omong-omong, ia akan sangat marah dan bisa juga meninggalkan kelas. Tetapi puji Tuhan, di kelas kami, tidak pernah sampai kejadian seperti itu.

 

Tentang Efikasi Sakramen dan Kepantasan Pelayannya

Tetapi ada satu poin penting secara teologis yang telah menyebabkan saya tiba-tiba teringat akan dia. Pada hari ini, karena kelas perkuliahan yang saya berikan di Fakultas Filsafat UNPAR Bandung, ada salah satu kelompok presentasi mahasiswa, yang menampilkan pembahasan tentang apa yang disebut efikasi sakramen. Dalam konteks itu, terkenallah distingsi teologis dari Santo Agustinus dari Hippo, yaitu antara ex opere operato dan ex opere operantis. Agustinus membuat distingsi ini dalam rangka memberi penjelasan teologis mengenai ajaran teolog iGereja tentang sakramen. Distingsi teologis ini dibuat dalam bingkai konteks polemik Agustinus sendiri melawan Montanisme dan Donatisme.

Montanisme, sebagaimana dikemukakan oleh Montanus dan kemudian didorong oleh tokoh seperti Tertullianus, memperjuangkan gereja yang murni (ecclesia pura, ecclesia puritana), gereja yang puritan, yaitu tanpa tercampur sedikitpun dengan para pendosa. Dengan dibaptis, demikian idealisme atau cita-cita ideal kaum puritan Montanisme itu, semua dosa sudah dihapuskan. Oleh karena itu, orang Kristen harus hidup dalam martabat baptisan tadi. Konkretnya, mereka tidak boleh berdosa lagi, sebab sakramen baptis itulah yang merupakan prima poenitentia (pertobatan pertama) dan satu-satunya juga. Tidak ada lagi peluang atau kesempatan bagi apa yang disebut secunda poenitentia (pertobatan kedua) dan seterusnya ke tertia poenitentia (pertobatan ketiga). Mereka berpendapat bahwa jika seseorang itu sudah berdosa pasca menerima sakramen baptis, maka celakalah orang itu, sebab dia jatuh dalam masa terkutuk, massa damnata.

Dalam pandangan Santo Agustinus, visi teologis dan moral itu sangat keras, kaku, rigid. Jika visi moral seperti itu harus diterapkan secara kaku dan harfiah, maka pada akhirnya tidak akan ada lagi orang kristen, sebab semuanya bakal habis. Mengapa begitu? Karena sebagai manusia, kita semua mudah sekali jatuh dalam dosa, bahkan juga sesudah baptis. Dan jatuh itu tidak hanya sekali, melainkan bisa juga berkali-kali alias berulang-ulang. Berbeda dengan idealisme kaum montanis dan puritan itu, selalu ada kemungkinan bagi manusia untuk jatuh dan jatuh lagi pasca pembaptisan. Donatisme mengajarkan dan juga menganjurkan praksis agama yang juga sangat ketat, yaitu hanya mau menerima dan menerimakan sakramen oleh dan pada orang yang tepat saja.

 

Perjuangan dan Perlawanan Agustinus

Terhadap hal ini pun Agustinus memberi semacam kritik dan keberatan teologisnya. Kita tidak dapat tahu tentang hati manusia. Hati manusia itu misteri. Jangan ‘kan hati orang lain, hati sendiri pun juga adalah sebuah misteri besar. Benar kata filsuf Gabriel Marcel: bahwa manusia itu adalah misteri juga bagi dirinya sendiri.

Dalam rangka kesadaran itu, Agustinus pun membuat distingsi yang sudah disebutkan di atas tadi, antara ex opere operato dan ex opere operantis. Dalam pandangan santo Agustinus, sakramen itu bekerja berdasarkan prinsip ex opere operato. (Bukan berdasarkan prinsip ex opere operantis). Prinsip ex opere operato itu berarti bahwa efficacy sakramen itu tidak ditentukan oleh disposisi batin si pelayan (yang memberikan dan melayani pemberian atau penerimaan sakramen itu) dan si penerima. Disposisi batin si pelayan dan si penerima tidak menentukan efikasi sakramen.

Ekstremnya dapatlah dirumuskan demikian. Walaupun si imam pelayan sakramen itu, berada dalam keadaan dosa berat, namun sakramen yang ia layani itu tetaplah efektif. Efektifitas sakramen itu sama sekali tidak terhalang oleh disposisi batin si pelayan itu. Mengapa begitu? Karena sakramen itu adalah milik kepunyaan Kristus sendiri. Oleh karena itu jelaslah sudah bahwa Kristus sendiri yang bekerja dalam dan melalui sakramen tersebut. Di hadapan visi teologis yang minimalis seperti ini, orang bisa saja mengambil jalan pintas secara moral. Yaitu, pada malam minggu si pastor itu dugem dan mabuk, lalu besok paginya ia merayakan ekaristi tanpa rasa bersalah dan beban sama sekali. Ia mengambil sikap seperti itu karena toh ada ex opere operato nanti.

 

Himbauan Pater Christ Verhaack

Nah, di sinilah saya teringat akan sikap dan pandangan teologis Pater Christ Verhaack SJ. Dalam kuliahnya dulu, ia mengingatkan kami, para frater muda, walau kaum montanis dan donatis itu salah (dinyatakan salah dan dinyatakan sebagai bidaah), tetapi tuntutan dan perintah tegas dan jelas kepada mereka akan hidup suci, sebuah tuntutan dan perintah yang berlaku untuk semua orang Kristen, kiranya hal itu adalah sesuatu yang bersifat wajar-wajar saja. Mengapa begitu?

Menurut Pater Verhaack, seorang pelayan sakramen, hendaknya harus hidup menurut martabat sakramen yang dilayaninya. Memang efikasi sakramen itu tidak ditentukan oleh mutu hidup dia, tetapi tetap ada tuntutan kepatutan dan kepantasan moral bagi dia jika ia mau melayani penerimaan sakramen. Ekstremnya ialah demikian: sangatlah tidak pantas seorang imam mengampuni dosa, tetapi ia sendiri masih hidup dan berada dalam dosa itu sendiri. Itu saja masalahnya.

Jadi, mengikuti nasihat dan pendapat Pater Verhaack itu, walaupun sepenuhnya saya mengakui dan menerima prinsip ex opere operato, tetapi saya juga bisa menerima hukum dan tuntutan kepantasan dan kepatutan akan hidup etis dan hidup bermoral pada pihak para pelayan sakramen itu sendiri. Tanpa adanya sikap moral seperti itu, harusnya orang segan dan bahkan takut untuk melayani pemberian sakramen. Harus ada tremendum di sana. Tidak hanya fascinossum saja. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

RIP CHOAN-SENG SONG: PROPONENT OF "THIRD-EYE THEOLOGY"

FELIX WILFRED: MEMBANGUN TEOLOGI ASIA YANG KREATIF-KONSTRUKTIT

MENEROPONG PROSES BERPIKIR FILOSOFIS DI DALAM RUANG-RUANG IMAJINASI SOEKARNO