AKU TERKENANG SEORANG TEMAN: ALI S.A.

Gambar: Dari Google search

Sebuah Catatan Kenangan
Oleh:
Fransiskus Borgias
Pengantar Singkat
Sekira lima tahun lalu, tepatnya pada tanggal 26 Juni
2020, masih di tengah kencangnya ancaman pandemi COVID-19, dan Indonesia masih
dalam keadaan lock-down yang ketat, saya mengisi waktu saya dengan membaca dan
menulis Buku Harian. Pada saat itu saya menulis setiap hari. Pokoknya saya
menulis tentang apa saja yang sedang melintas dalam pikiranku.
Begitulah cara saya mencoba melewatkan waktu agar
tidak tercengkeram di dalam belenggu kebosanan yang berkepanjangan akibat
situasi dan kondisi lock-down total yang, jika dibayangkan lagi dari sekarang
ini, sungguh terasa mencengkam dan mengerikan. Apalagi saya sendiri termasuk
salah satu orang yang mengidap penyakit berisiko di tengah terpaan pandemi itu.
Tetapi puji Tuhan, saya bisa melewatkan semuanya dengan cukup baik walupun
penuh dengan kecemasan dan ketakutan.
Aku Terkenang Ali
Lalu pada suatu hari, pada tanggal yang sudah saya
sebutkan di atas tadi, tiba-tiba saja pada hari itu, entah mengapa, saya teringat
seorang kawanku, teman kuliahku dulu di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Jakarta. Itu persisnya pada tahun 1983-1984. Nama temanku itu Ali
S.A. Awalnya saya tidak tahu nama belakangnya. Kemudian saya tahu A-nya; itu dari Alatas. Sedangkan
S-nya, saya masih tidak tahu hingga saat ini. Dari nama itu jelas dia adalah
seorang keturunan Arab, Arab Betawi tentu saja. Ia berbadan cukup tinggi,
tetapi kurus, agak sedikit membungkuk, dan berkulit putih. Hidungnya mancung. Rambutnya
cukup Panjang dan bergaya kribo seperti Ahmad Albar di masa jaya-jayanya dulu
sebagai salah satu Bintang rocker Indonesia pada masanya. Ya, Ali rada
berbadan kurus. Murah senyum, walaupun orangnya cenderung cukup pendiam.
Pada saat
itu kami sama-sama masuk STF Driyarkara pada bulan Agustus 1983. Kami memang
satu angkatan. Sejauh ingatan saya, Ali, orangnya itu cukup pendiam. Namun
demikian, ia seorang yang murah senyum; saat ia tersenyum, ia memancarkan warna
giginya yang putih. Walaupun rada pendiam, namun ia orangnya ramah juga jika
kita mengajak dia berbicara, bercengkerama. Saya tahu, pasti dia seorang
muslim, walaupun saya tidak pernah melihat ia pergi sholat pada hari Jumat di
Mesjid di sekitar Rawasari, Jembatan Serong.
Kalau datang
kuliah, ia selalu duduk di kursi paling belakang. Ataupun duduk di kursi dekat
tiang, sebab ada satu ruang kuliah kami waktu itu yang bertiang cukup besar dan
bulat. Duduk dekat tiang itu maksudnya agar mudah menyandarkan kepala, entah ke
belakang ataupupn ke samping jika sedang mengantuk atau pun sedang malas
mendengarkan kuliah.
Berkunjung ke Biara Padua
Pada saat
itu saya sendiri tinggal di biara Fransiskan di Padua. Rumah komunitas kami itu terletak
sangat dekat dengan kampus STF. Tinggal menyeberang jalan saja, sudah sampai di
rumah. Pada waktu itu, kami sangat biasa, kalau pas lagi istirahat kuliah,
pergi sebentar ke rumah untuk mencari makanan ringan atau sekadar minum air
dingin agar kerongkongan terasa lega. Saya biasanya juga mengajak teman-teman
yang mau ikut. Tetapi biasanya saya rada takut mengajak si Ali ke rumah
kami. Takutnya dia tidak suka, atau mungkin dilarang, ataupun tidak boleh.
Pokoknya saya takut saja.
Tetapi saya
ingat baik, pada suatu kali ia minta ijin kepada saya untuk ramai-ramai dengan
beberapa orang teman main ke biara kami. Tentu saja saya tidak menolak. Saya malah
merasa senang, karena ia sendiri berani berinisiatif menawarkan diri untuk
ikut. Kebetulan pada saat itu di biara kami ada kacang tanah “sisa” dari acara
rekreasi malam “komunitas” kami pada malam sebelumnya.
Saya
hidangkan saja, kacang itu dari dalam toffles yang saya buka di atas meja ruang
makan kami. Semua teman-teman merasa senang dengan tawaran itu. Mereka memakannya
dan saya juga senang bahwa si Ali pun ikut memakannya dan juga mengambil gelas
sendiri di lemari untuk minum air dingin dari kulkas. Saya juga mengamati bahwa
pada saat itu saya belum pernah melihat ada teman-teman kami yang pergi main,
atau diajak main ke Kolese Hermanum, milik Yesuit yang terletak di Seberang Padua
itu. Entahlah mengapa.
Seorang Pembaca Buku Yang Tekun
Oh ia, si
Ali ini sangat mengagumi dan mengidolakan hampir semua dosen di STF, apalagi
romo-romo yang Eropa, seperti Pater Franz von Magnis Suseno, Pater Martin Harun
OFM, Pater Kees Bertens, Pater Christ Verhaack SJ, dll. Itulah beberapa nama
romo-romo Eropa yang menjadi dosen kami pada masa itu. Tentu ia juga mengidolakan
para dosen romo-romo Indonesia yang ada pada masa itu (Pater Sastraprateja SJ,
Pater Witdarmono Pr, Pater Alex Lanur OFM, Pater Alfons Suhardi OFM, Pater
Mardiatmaja SJ, Pater Banawiratmo SJ, dll). Masih ada beberapa lagi dosen awam
lainnya.
Saya juga
perlu tambahkan bahwa Ali, temanku ini, adalah seorang pembaca buku yang sangat
tekun. Sebagian besar waktunya dilewatkan di perpustakaan STF. Ia membaca
buku-buku filsafat yang ada di sana. Suatu kali saya mendapati dia sedang
membaca buku-buku dari Nietschze dan Camus. Ketika saya tanya alasannya, dia mengaku,
ia merasa senang saja dengan kedua pemikir itu.
Saya juga
ingat dengan baik bahwa kami berhasil melewatkan semester pertama dengan penuh
perjuangan. Tetapi kami sukses. Pada awal semester kedua, di suatu pagi hari,
saya melihat Ali tampak lemas dan lesu seperti tidak bergairah, dan lebih banyak
murung dan semakin berdiam diri. Dalam hati saya berpikir bahwa pasti dia
sedang menghadapi sebuah masalah yang rumit dan pelik. Tetapi saya tidak tahu
masalah apa yang sedang dihadapinya.
Tiba-tiba Mohon Pamit
Sampai pada
suatu hari, ia berbuka hati kepada saya di sudut lapangan basket STF di bawah
sebuah pohon rindang dekat ring basket di lapangan itu. Tiba-tiba dengan air
muka rada sedih akhirnya ia buka suara di hadapan saya: “Frans, saya mau pamit.”
Spontan saya pun balik bertanya: “Emangnya kamu kenapa Ali?” Ia tidak segera menjawab
pertanyaan saya itu. Kemudian dengan cukup berat ia berkata: “Frans, aku akan
berhenti kuliah.” Saya kaget. Tetapi masih sempat bertanya: “Mengapa begitu
Ali?” Lalu terdiam lagi. Kemudian dia berkata: “Ga ada ongkos
lagi Frans.” Aku terdiam.
Tetapi saya
masih mencoba bertanya: “Kok bisa gitu Ali? Orang-tuamu bagaimana?” Sejenak Ali
terdiam, seperti mencoba menahan diri untuk tidak omong. Tetapi kemudian ia
berkata: “Itu dia soalnya, Frans. Ayahku marah besar.” Saya tidak mau bertanya
lagi lebih jauh, karena saya tidak tahu jalan keluar apa yang bisa saya
tawarkan kepada dia. Sebagai anak yang baru datang dari kampus, saya hampir
tidak tahu bahwa mungkin para dosen STF bisa mengupayakan beasiswa bagi dia.
Tetapi kemungkinan itu baru terbayang jauh di kemudian hari. Pada saat itu saya
sama sekali tidak memikirkannya.
“Ya Frans, ayahku bukan orang yang tidak mampu. Ia
sangat mampu. Ayahku bekerja di Departemen Keuangan.” Terdiam lagi. “Jadi,
ya pasti ada duitlah. Tetapi ayahku kagak mau ongkos kuliah aku lagi.” Spontan
saya bertanya: “Kenapa begitu Ali?” Saya bertanya begitu, karena saya merasa
heran sekali bahwa ada seorang ayah yang tidak mau lagi membiayai ongkos kuliah
anaknya sendiri. “Itu tadi Frans. Dia marah besar.” “Tapi knapa Ali?”
Dengan rada
sedih Ali berkata: “Ayahku tidak suka saya belajar Filsafat.” Terdiam lagi. “Mungkin
Frans bertanya, mengapa begitu? Ya, menurut kata ayahku, dalam pengamatan dia,
sejak saya belajar Filsafat, saya dinilai sudah sangat berubah.” Dia terdiam
lagi. Dia seperti mengulang kata-kata ayahnya di hadapanku: “Dulu waktu kamu
masih esema, kamu masih rajin sholat lima waktu. Sekarang, sudah tidak lagi.
Itu sejak kamu belajar Filsafat.”
Karena Filsafat, Ia Tidak Sholat
Lalu saya iseng bertanya: “Emangnya elo ga sholat
lagi Ali?” “Tidak” katanya. “Mengapa?” tanya saya. “Hemmm…. Tidak mau saja. Entahlah
Frans. Serasa ada ruang kebebasan. Walau bukan kebablasan lho.” Kemudian kami
lama terdiam, seakan-akan memikirkan makna dari perkataan kami masing-masing
yang sudah terlontar dalam dialog itu.
Beberapa waktu sesudahnya, saya bertanya lagi di
bawah pohon itu: “Lalu bagaimana rencanamu sekrang Ali, setelah tidak lagi
kuliah di sini?” Dia terdiam lagi. Cukup lama. Kemudian: “Frans, aku mau pergi
merantau ke Brunei. Aku mau cari kerja di sana agar bisa bertahan hidup.”
Sedih juga aku mendengarnya. Sedih karena saya tidak bisa menawarkan solusi
bagi masalah temanku itu. Aku hanya bisa berempati, menyediakan waktu untuk
mendengar saja.
“Itu
berarti, kamu kagak belajar filsafat lagi yah Ali?” tanyaku. “Frans, dalam situasi seperti
ini, yang penting hidup dulu. Yang penting makan dulu.” Begitu katanya. “Mengenai
Filsafat? Hemmm….. Rasanya bekal hampir satu tahun di sini rasanya cukup untuk
kembangkan sendiri nantinya untuk bisa belajar terus.” Ia terdiam lagi. “Ya Frans,
seperti kata orang-orang, makan dulu baru berfilsafat. Itu yang terpenting bagi
saya saat ini.” Begitu katanya menutup percakapan kami.
Catatan Penutup
Ali tegar
sekali. Kuat. Sebab ia bisa menutup acara curhat itu dengan senyum. Sementara saya merasa sedih. Bahkan
hampir menangis menyaksikan ketegaran hatinya yang akan segera merantau. Ya, Ali
memang luar biasa. Sejak saat itu, Ali pergi, ia menghilang dari halaman STFD
dan juga dari Perpustakaan ruang baca STF yang sejuk cenderung dingin itu dan
hening (ini yang terpenting). Ya, sejak saat itu, si kepala gondrong, si badan ceking
itu tidak lada lagi. Sejak itu saya tidak tahu lagi kabar tentang dia.
Hari-hari
ini, tiba-tiba saja saya teringat akan dia. Bahkan sangat rindu dan kangen akan dia. Entah
jadi apa dia sekarang ini. Semoga dia sukses di perantauan di Brunei itu. Dalam
hati kecil saya tetap berharap, semoga dia menjadi filsuf yang tangguh, setelah
bisa makan kenyang. Begitulah doaku bagi seorang sahabat dari masa muda di STF
Driyarkara, Jakarta, in illo tempore.
Taman Kopo Indah II
Bandung, Medio Juni 2020.
Komentar
Posting Komentar